Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Penurunan Angka Pernikahan dan Implikasinya terhadap Krisis Demografi Indonesia
9 April 2025 8:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebanyak 1.577.255 pasangan. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2022 yang tercatat sebanyak 1.705.348 pasangan. Dalam satu dekade terakhir, terjadi penurunan angka pernikahan sebesar 28,63 persen. Penurunan angka pernikahan dalam 6 tahun terakhir adalah: 2.016.171 (2018); 1.968.878 (2019); 1.792.548 (2020); 1.742.049 (2021); 1.705.348 (2022); 1.577.255 (2023). Penurunan angka pernikahan ini merupakan fenomena yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Negara-negara maju (contohnya, Jepang, Korea Selatan, Eropa, Amerika Serikat) secara umum telah mengalami penurunan angka pernikahan yang signifikan dan dalam periode waktu yang lebih lama dibandingkan Indonesia. Jepang dan Korea Selatan memiliki tingkat pernikahan yang sangat rendah dan menghadapi masalah depopulasi yang parah. Faktor-faktor seperti tekanan ekonomi yang tinggi, biaya membesarkan anak yang mahal, dan budaya kerja dengan tuntutan tinggi menjadi penyebab utama. Di Eropa dan Amerika Serikat, penurunan angka pernikahan juga terjadi, seiring dengan peningkatan angka hidup bersama tanpa jalinan pernikahan dan penundaan usia menikah. Negara-negara Asia lainnya (contohnya, Singapura, Taiwan, Thailand) juga menunjukkan tren penurunan angka pernikahan yang signifikan, dipengaruhi oleh faktor ekonomi, urbanisasi, dan perubahan nilai-nilai sosial. Singapura memiliki biaya hidup yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pernikahan dan memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Beberapa faktor menjadi penyebab penurunan angka pernikahan. Kondisi ekonomi yang tidak menentu menciptakan rasa tidak aman bagi banyak individu, terutama generasi muda yang baru memasuki pasar kerja. Ketidakpastian mengenai pendapatan dan prospek karir dapat membuat mereka menunda keputusan untuk menikah karena khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Di kota-kota besar dan bahkan di daerah, biaya hidup terus meningkat. Hal ini mencakup biaya perumahan, makanan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Membangun rumah tangga memerlukan persiapan finansial yang signifikan, dan biaya hidup yang tinggi dapat menjadi penghalang bagi banyak orang untuk segera menikah. Mereka merasa perlu mapan secara finansial terlebih dahulu sebelum mengambil komitmen pernikahan. Tingkat pengangguran atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi lebih tinggi di kalangan generasi muda. Tanpa pekerjaan yang stabil dan penghasilan yang memadai, mereka mungkin merasa belum siap secara finansial untuk menikah dan memikul tanggung jawab keluarga. Hal ini dapat menyebabkan penundaan usia menikah atau bahkan enggan menikah.
ADVERTISEMENT
Dulu, pernikahan dianggap sebagai suatu keharusan sosial dan langkah penting dalam kehidupan seseorang pada usia tertentu. Namun, nilai-nilai ini mulai bergeser. Masyarakat kini lebih menghargai individualisme, kebebasan pribadi, dan pilihan hidup yang beragam. Tekanan sosial untuk menikah di usia muda juga mulai berkurang. Generasi muda saat ini cenderung lebih fokus pada pendidikan yang lebih tinggi, pengembangan karir, dan pencapaian tujuan pribadi sebelum mempertimbangkan pernikahan. Mereka ingin mencapai stabilitas karir dan finansial, serta mengeksplorasi potensi diri sebelum memasuki kehidupan berumah tangga yang dianggap memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Pandangan tentang pernikahan juga mengalami evolusi. Beberapa orang memandang pernikahan bukan lagi sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebahagiaan atau keberhasilan dalam hidup. Alternatif seperti hidup sendiri, hidup bersama tanpa menikah, atau fokus pada komunitas dan persahabatan juga semakin diterima. Konsep keluarga menjadi lebih beragam.
ADVERTISEMENT
Pendidikan membuka lebih banyak peluang karir dan kemandirian finansial bagi perempuan. Hal ini dapat menyebabkan mereka menunda pernikahan untuk fokus pada pendidikan dan karir, atau bahkan memilih untuk tidak menikah jika mereka merasa sudah mandiri dan bahagia dengan pilihan hidup mereka. Dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, ketergantungan ekonomi pada pasangan menjadi berkurang. Perempuan memiliki lebih banyak pilihan dan kontrol atas hidup mereka, termasuk keputusan untuk menikah atau tidak. Mereka lebih selektif dalam memilih pasangan atau tidak terburu-buru untuk menikah. Peningkatan kesadaran akan kesetaraan gender juga berperan. Perempuan kini lebih menyadari hak-hak mereka dan tidak lagi merasa pernikahan adalah satu-satunya tujuan hidup atau cara untuk mendapatkan status sosial. Mereka memiliki aspirasi yang lebih luas di luar peran tradisional sebagai istri dan ibu.
ADVERTISEMENT
Beberapa individu merasa lebih nyaman dan bahagia dengan hidup sendiri. Mereka menghargai kebebasan dan otonomi yang mereka miliki dan tidak merasa membutuhkan pernikahan untuk merasa lengkap atau bahagia. Semakin banyak pasangan yang memilih untuk hidup bersama tanpa menikah. Hal ini bisa menjadi pilihan untuk menguji kecocokan sebelum menikah, atau sebagai alternatif permanen untuk “pernikahan”. Beberapa orang merasa bahwa komitmen dalam suatu hubungan tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk pernikahan formal. Individu saat ini memiliki lebih banyak pilihan untuk menghabiskan waktu dan energi mereka, seperti fokus pada hobi, perjalanan, pengembangan diri, dan interaksi sosial di luar ikatan pernikahan.
Dengan adanya berbagai informasi dan pengaruh dari media sosial, ekspektasi terhadap pasangan hidup bisa menjadi sangat tinggi. Individu mungkin mencari pasangan yang ideal dalam berbagai aspek, seperti penampilan, kepribadian, status sosial, pendidikan, dan nilai-nilai. Sulitnya menemukan seseorang yang memenuhi semua ekspektasi ini dapat menyebabkan penundaan atau kesulitan dalam menemukan pasangan. Meskipun teknologi memudahkan interaksi, terkadang hal ini juga dapat menimbulkan tantangan dalam membangun hubungan yang mendalam dan bermakna. Interaksi online bisa jadi dangkal dan tidak selalu mengarah pada hubungan yang serius. Dalam proses mencari pasangan, seringkali ditemui ketidakcocokan dalam nilai-nilai, visi hidup, atau kepribadian. Hal ini dapat menjadi penghalang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
ADVERTISEMENT
Depopulasi secara sederhana dapat diartikan sebagai penurunan jumlah penduduk suatu wilayah atau negara dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi ketika jumlah orang yang meninggal lebih banyak daripada jumlah orang yang lahir dalam periode tertentu, dan tidak diimbangi oleh migrasi masuk yang signifikan. Dengan kata lain, populasi secara alami menyusut karena lebih banyak kematian daripada kelahiran. Konsep depopulasi lebih dari sekadar penurunan angka penduduk. Hal ini melibatkan perubahan dalam struktur usia populasi, potensi dampak sosial, ekonomi, dan politik dalam jangka panjang.
Depopulasi berarti jumlah generasi muda dan usia produktif semakin sedikit. Hal ini akan secara langsung mengurangi jumlah angkatan kerja yang tersedia untuk mengisi berbagai sektor ekonomi. Sektor-sektor yang membutuhkan banyak tenaga kerja, seperti manufaktur, pertanian, dan jasa, dapat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia mereka. Kekurangan tenaga kerja dapat menghambat pertumbuhan bisnis, investasi, dan inovasi karena kurangnya sumber daya untuk menjalankan operasional dan mengembangkan usaha.
ADVERTISEMENT
Dengan berkurangnya jumlah tenaga kerja produktif, potensi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan menurun. Lebih sedikit orang yang bekerja berarti lebih sedikit produksi barang dan jasa, yang pada akhirnya akan berdampak pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan per kapita. Inovasi dan kewirausahaan juga dapat terhambat karena berkurangnya jumlah populasi usia muda yang menjadi motor penggerak ide-ide baru dan pembentukan usaha. Konsumsi domestik juga berpotensi menurun karena jumlah konsumen yang lebih sedikit.
Depopulasi seringkali disertai dengan penuaan populasi, di mana proporsi penduduk usia lanjut (di atas 65 tahun) meningkat. Populasi usia lanjut umumnya membutuhkan lebih banyak layanan kesehatan dan dukungan pensiun. Dengan jumlah tenaga kerja produktif yang lebih sedikit, beban untuk membiayai layanan ini akan semakin berat bagi generasi muda yang bekerja. Sistem jaminan sosial dan pensiun negara dapat mengalami tekanan finansial yang besar jika jumlah penerima manfaat terus meningkat sementara kontributor (pekerja) semakin sedikit. Biaya perawatan kesehatan untuk populasi yang menua juga akan meningkat, membebani anggaran negara dan individu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu secara berkala meninjau dan mengevaluasi efektivitas kebijakan kependudukan yang saat ini berlaku. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut masih relevan dan mampu menjawab tantangan demografi terkini, termasuk tren penurunan angka pernikahan dan potensi depopulasi. Hasil evaluasi ini harus menjadi dasar untuk melakukan penyesuaian atau perumusan kebijakan baru yang lebih responsif dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Misalnya, kebijakan yang sebelumnya fokus pada pengendalian pertumbuhan penduduk, perlu diubah atau dilengkapi dengan kebijakan yang mendorong pembentukan keluarga yang stabil dan sehat.
Masa depan demografi Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Lesunya angka pernikahan bukan sekadar tren sosial, melainkan sinyal bahaya yang mengindikasikan ancaman depopulasi. Namun, di tengah tantangan ini, tetap ada harapan. Sektor kesehatan, dengan fokus pada kesehatan reproduksi, keluarga berencana, dan peningkatan kesadaran akan nilai keluarga, memegang kunci untuk membalikkan tren penurunan angka kelahiran. Di sisi lain, regulasi dan kebijakan pemerintah yang responsif, mulai dari insentif pernikahan dan anak, dukungan keseimbangan karir dan keluarga, hingga penciptaan stabilitas ekonomi, akan menjadi fondasi bagi terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pembentukan keluarga yang sejahtera. Menghadapi krisis demografi bukanlah tugas yang bisa dipikul sendiri oleh pemerintah. Dibutuhkan sinergi dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan setiap individu warga negara. Dengan langkah-langkah yang terukur, inovatif, dan berpihak pada keluarga, Indonesia memiliki peluang untuk menghindari jurang depopulasi dan mengamankan masa depan yang gemilang bagi generasi penerus.
ADVERTISEMENT