news-card-video
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Peran Regulasi dalam Penanganan Epilepsi di Indonesia

wahyu andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
21 Maret 2025 14:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE), diperkirakan sekitar 50 juta orang di seluruh dunia memiliki epilepsi. Hal ini menjadikan epilepsi sebagai salah satu penyakit neurologis yang paling umum secara global. Setiap tahun, diperkirakan ada 5 juta kasus baru epilepsi yang terdiagnosis di seluruh dunia. Epilepsi dapat terjadi pada usia berapa pun, tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, sekitar 70% orang dengan epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan. Di Indonesia, estimasi penderita epilepsi adalah 1,5 juta dengan prevalensi 0,5-0,6% dari penduduk Indonesia. Sama seperti tren global, kesenjangan pengobatan untuk epilepsi juga menjadi perhatian di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil dan dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan membawa perubahan dalam sistem kesehatan di Indonesia dan berpotensi meningkatkan akses serta kualitas layanan kesehatan bagi penyandang epilepsi. UU Kesehatan memperkuat hak setiap warga negara atas kesehatan. Hal ini mencakup hak atas pencegahan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi, yang relevan bagi penyandang epilepsi. UU ini menekankan pentingnya standar mutu dan keamanan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Hal ini mendorong peningkatan kualitas layanan epilepsi. UU Kesehatan bertujuan untuk mengurangi ketidaksetaraan akses terhadap layanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan penyandang epilepsi di daerah terpencil juga mendapatkan pelayanan yang memadai.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memberikan perhatian lebih pada penguatan layanan kesehatan primer sebagai garda terdepan. Hal ini dapat mempermudah akses awal bagi penyandang epilepsi untuk diagnosis dan penanganan awal. UU Kesehatan mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, termasuk dokter spesialis neurologi dan tenaga kesehatan lain yang relevan dengan penanganan epilepsi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memungkinkan diterbitkannya peraturan turunan (khususnya Peraturan Menteri Kesehatan) yang lebih detail mengenai standar pelayanan medis, termasuk prosedur diagnosis epilepsi. Hal ini dapat mencakup kewajiban penggunaan pedoman diagnosis yang berbasis bukti (evidence-based) dan rekomendasi penggunaan EEG, MRI, dan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai indikasi medis.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, meskipun fokus utamanya pada aspek pelayanan kesehatan, juga memiliki implikasi dalam melindungi hak dan meningkatkan kualitas hidup penyandang epilepsi secara lebih luas. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan epilepsi dalam konteks diskriminasi di luar layanan kesehatan, semangat umum UU ini yang menjunjung tinggi hak atas kesehatan yang setara bagi semua warga negara dapat menjadi landasan kuat untuk melarang diskriminasi terhadap penyandang epilepsi di berbagai aspek kehidupan. UU Kesehatan mempertegas bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Hal ini memberikan dasar filosofis untuk memastikan penyandang epilepsi mendapatkan perlakuan yang adil dan setara dalam semua bidang kehidupan. UU Kesehatan mendorong upaya peningkatan kesadaran dan edukasi masyarakat tentang berbagai penyakit, termasuk epilepsi, yang krusial untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, terdapat berbagai tantangan dalam implementasi regulasi epilepsi di Indonesia. Indonesia memiliki keragaman geografis, sosial, dan ekonomi antar daerah. Hal ini seringkali menyebabkan perbedaan dalam pemahaman, prioritas, dan kemampuan untuk mengimplementasikan regulasi. Daerah dengan sumber daya terbatas, infrastruktur kesehatan yang kurang memadai, atau tingkat kesadaran yang berbeda menghadapi kesulitan dalam menerapkan standar diagnosis, pengobatan, dan dukungan yang diamanatkan oleh regulasi. Contohnya, ketersediaan fasilitas EEG atau MRI yang sesuai standar terbatas di daerah terpencil, sehingga menyulitkan implementasi standar diagnosis.
Implementasi regulasi memerlukan alokasi anggaran yang memadai untuk berbagai keperluan, seperti pelatihan tenaga kesehatan, pengadaan peralatan medis, kampanye edukasi publik, dan pengawasan pelaksanaan regulasi. Keterbatasan anggaran kesehatan secara dapat menjadi kendala. Ketersediaan tenaga ahli, terutama dokter spesialis neurologi yang kompeten dalam menangani epilepsi, masih terbatas dan persebarannya belum merata. Kurangnya tenaga ahli dapat menghambat implementasi standar diagnosis dan pengobatan yang optimal. Selain tenaga medis, implementasi regulasi juga membutuhkan tenaga non-medis yang terlatih dalam memberikan dukungan psikososial, edukasi, dan advokasi bagi penyandang epilepsi.
ADVERTISEMENT
Implementasi regulasi membutuhkan kerja sama dan koordinasi yang baik antara berbagai pihak, termasuk kementerian dan lembaga pemerintah terkait (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dll), organisasi profesi, perhimpunan dokter (seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia-PERDOSSI), perkumpulan pasien epilepsi, dan masyarakat sipil. Kurangnya komunikasi, perbedaan prioritas, atau tumpang tindih kewenangan antar pihak dapat menghambat proses implementasi regulasi secara komprehensif dan terpadu.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain yang telah berhasil mengembangkan dan mengimplementasikan regulasi epilepsi secara komprehensif. Kolaborasi dengan organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO), International League Against Epilepsy (ILAE), dan International Bureau for Epilepsy (IBE) dapat memberikan akses ke pengetahuan, praktik terbaik, dan dukungan teknis. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akses ke informasi, edukasi, dan layanan kesehatan jarak jauh (telemedicine) bagi penyandang epilepsi.
ADVERTISEMENT
Organisasi pasien epilepsi dan kelompok masyarakat sipil memainkan peran penting dalam menyuarakan kebutuhan dan hak penyandang epilepsi, serta mendorong pemerintah dan pihak terkait untuk mengimplementasikan regulasi secara lebih baik. Advokasi yang kuat dari kelompok-kelompok ini dapat memberikan tekanan positif dan memastikan regulasi yang ada benar-benar bermanfaat bagi penyandang epilepsi. Semakin banyak informasi yang tersedia dan kampanye yang dilakukan oleh berbagai pihak, maka dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang epilepsi. Hal ini menciptakan momentum positif dan dukungan publik untuk implementasi regulasi yang lebih baik.
Regulasi yang tepat dan komprehensif adalah fondasi dalam penanganan epilepsi. Mulai dari standardisasi diagnosis dan pengobatan, perlindungan hak-hak penyandang epilepsi dari diskriminasi, hingga peningkatan kesadaran publik dan penyediaan dukungan sosial, regulasi memiliki kekuatan untuk mentransformasi kehidupan penyandang epilepsi. Dengan regulasi yang efektif, dapat dibangun sistem kesehatan yang responsif, masyarakat yang inklusif, dan pada akhirnya, memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik serta berkualitas bagi setiap individu yang berjuang melawan epilepsi di Indonesia.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/otak-tangan-abu-abu-abu-abu-otak-4961452/