Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Peran Regulasi dan Dukungan Kesehatan Mental dalam Pencegahan Familicide
9 Januari 2025 10:40 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Familicide dapat dicegah. Regulasi yang komprehensif, didukung oleh sistem kesehatan mental yang kuat merupakan kunci utama. Regulasi, mulai dari identifikasi dini potensi kekerasan hingga penegakan hukum yang tegas, merupakan fondasi penting. Namun, fondasi tersebut tidak akan kokoh tanpa pilar dukungan kesehatan mental yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.”
ADVERTISEMENT
Familicide adalah tindakan pembunuhan di mana seorang individu membunuh beberapa anggota keluarga dekatnya, biasanya pasangan, anak-anak, orang tua, atau saudara kandung, dalam waktu yang relatif singkat. Seringkali, pelaku kemudian bunuh diri (murder-suicide).
Pada pembunuhan biasa, korban bisa siapa saja, tidak harus anggota keluarga. Familicide secara spesifik menargetkan anggota keluarga dekat. Motif pembunuhan biasa sangat beragam, bisa karena dendam, perampokan, persaingan, dan lain-lain. Pada familicide, motifnya lebih kompleks dan seringkali terkait dengan masalah psikologis atau tekanan mental yang dialami pelaku dalam konteks keluarga. Pada pembunuhan biasa, pelaku dan korban bisa saling mengenal atau tidak. Pada familicide, pelaku dan korban memiliki hubungan kekeluargaan yang erat.
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) mencakup berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, verbal, emosional, dan ekonomi, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Familicide adalah bentuk ekstrem dari kekerasan, yaitu pembunuhan, yang terjadi dalam konteks keluarga. KDRT seringkali berupa pola kekerasan yang berulang, dengan tujuan mengontrol atau mendominasi korban. Familicide merupakan tindakan tunggal (walaupun bisa direncanakan) dengan intensi menghilangkan nyawa anggota keluarga. KDRT dapat menyebabkan luka fisik dan trauma psikologis yang mendalam, tetapi tidak selalu berakibat kematian. Familicide selalu berakibat kematian bagi korban.
ADVERTISEMENT
Familicide, sebuah tragedi yang mengerikan, meninggalkan dampak yang mendalam dan luas, baik bagi keluarga yang ditinggalkan, masyarakat, maupun implikasi sosial yang lebih luas. Kehilangan anggota keluarga secara tiba-tiba dan tragis, apalagi dalam situasi kekerasan, menimbulkan trauma psikologis yang sangat mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Mereka mungkin mengalami gejala PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), seperti mimpi buruk, kilas balik, kecemasan berlebihan, dan kesulitan berkonsentrasi. Rasa kehilangan dalam kasus familicide sangat kompleks karena bercampur dengan rasa marah, kebingungan, rasa bersalah, dan bahkan rasa malu. Keluarga mungkin berjuang untuk memahami mengapa tragedi ini terjadi dan bagaimana cara melanjutkan hidup. Keluarga yang ditinggalkan seringkali menghadapi stigma dan isolasi sosial dari masyarakat. Mereka mungkin merasa malu atau takut dihakimi, sehingga menarik diri dari lingkungan sosial. Familicide dapat menimbulkan masalah keuangan, terutama jika pelaku adalah tulang punggung keluarga. Selain itu, proses hukum yang menyertainya juga dapat menambah beban emosional dan finansial keluarga. Anak-anak yang selamat dari familicide mengalami dampak yang sangat besar. Mereka kehilangan orang tua dan/atau saudara kandung secara tragis, dan mungkin mengalami trauma seumur hidup. Mereka juga membutuhkan dukungan psikologis dan sosial yang intensif.
ADVERTISEMENT
Familicide dapat menciptakan rasa tidak aman dan ketakutan di masyarakat, terutama di lingkungan tempat kejadian. Masyarakat mungkin merasa khawatir bahwa kejadian serupa dapat terulang kembali. Tragedi ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat pada institusi sosial, seperti lembaga penegak hukum dan layanan kesehatan mental, jika dianggap gagal mencegah kejadian tersebut. Familicide seringkali mendapat perhatian media yang luas, yang dapat memperburuk stigma terhadap masalah kesehatan mental dan kekerasan dalam rumah tangga.
Familicide menyoroti pentingnya peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan mental. Masyarakat perlu lebih sadar akan pentingnya mencari bantuan profesional jika mengalami masalah kesehatan mental. Familicide juga menekankan perlunya edukasi yang lebih luas tentang kekerasan dalam rumah tangga, termasuk tanda-tanda peringatan dan cara mencari bantuan. Familicide menunjukkan pentingnya peran komunitas dan keluarga besar dalam memberikan dukungan sosial dan mencegah isolasi sosial yang dapat memperburuk kondisi mental seseorang. Tragedi ini seringkali memicu perdebatan tentang regulasi, misalnya terkait kekerasan dalam rumah tangga dan penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Penting untuk ditekankan bahwa tidak semua orang dengan gangguan mental melakukan tindakan kekerasan, termasuk familicide. Stigma terhadap orang dengan gangguan mental seringkali tidak berdasar dan merugikan. Namun, penelitian menunjukkan adanya korelasi antara beberapa gangguan mental dengan peningkatan risiko perilaku kekerasan, terutama dalam konteks tekanan dan situasi tertentu. Beberapa gangguan mental berpotensi memicu tindakan familicide yaitu depresi berat, psikosis, gangguan bipolar, dan gangguan kepribadian.
Depresi berat bukan sekadar perasaan sedih sesaat. Depresi berat adalah kondisi medis yang serius yang memengaruhi suasana hati, pikiran, dan perilaku seseorang. Dalam kasus yang parah, depresi dapat menyebabkan perasaan putus asa yang mendalam, kehilangan harapan, dan keyakinan bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi yang sulit. Dalam kondisi ini, seseorang mungkin merasa bahwa membunuh diri sendiri dan keluarganya adalah "solusi" untuk mengakhiri penderitaan. Psikosis adalah kondisi mental yang menyebabkan seseorang kehilangan kontak dengan realitas. Mereka mungkin mengalami halusinasi (melihat atau mendengar hal-hal yang tidak ada) dan delusi (keyakinan yang salah dan kuat yang tidak didasarkan pada kenyataan). Dalam keadaan psikosis, seseorang mungkin bertindak berdasarkan halusinasi atau delusi mereka, yang berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain. Misalnya, seseorang dengan delusi mungkin percaya bahwa keluarganya dalam bahaya besar dan satu-satunya cara untuk melindungi mereka adalah dengan membunuh mereka. Gangguan bipolar ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem, dari mania (keadaan sangat gembira, energik, dan impulsif) hingga depresi (keadaan sangat sedih dan putus asa). Selama episode mania, seseorang mungkin menunjukkan perilaku impulsif dan agresif yang berpotensi menyebabkan kekerasan. Beberapa gangguan kepribadian, seperti gangguan kepribadian antisosial dan gangguan kepribadian ambang, dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan. Orang dengan gangguan kepribadian antisosial cenderung kurang empati dan tidak peduli dengan hak atau perasaan orang lain. Mereka mungkin manipulatif, impulsif, dan agresif. Orang dengan gangguan kepribadian ambang mengalami kesulitan dalam mengatur emosi mereka dan mungkin menunjukkan perilaku impulsif dan merusak diri sendiri, termasuk agresi.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik sebagai korban maupun pelaku, merupakan faktor eksternal yang signifikan yang dapat memperburuk kondisi mental seseorang dan meningkatkan risiko terjadinya familicide. Keterlibatan dalam KDRT menciptakan lingkungan yang penuh tekanan, ketakutan, dan ketidakstabilan emosi, yang semuanya dapat berkontribusi pada tindakan kekerasan yang ekstrem. Korban KDRT sering mengalami trauma psikologis yang kompleks, termasuk PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), depresi, kecemasan, rasa tidak berdaya, dan rendah diri. Trauma ini dapat merusak kemampuan seseorang untuk mengatasi stres dan emosi negatif secara efektif. Anak-anak yang menyaksikan KDRT di rumah mereka dapat mempelajari dan meniru perilaku kekerasan tersebut. Mereka mungkin menginternalisasi gagasan bahwa kekerasan adalah cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik, yang dapat meningkatkan risiko mereka untuk menjadi pelaku atau korban KDRT di kemudian hari, dan dalam beberapa kasus, bahkan melakukan familicide. Pelaku KDRT seringkali memiliki masalah dengan pengendalian amarah, impulsivitas, dan kurangnya empati. Mereka mungkin menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengontrol atau mendominasi pasangannya. Ketidakmampuan untuk mengelola emosi dan perilaku ini dapat meningkat hingga tindakan kekerasan yang lebih ekstrem, seperti familicide. Penyalahgunaan zat, termasuk narkoba dan alkohol, merupakan faktor eksternal yang signifikan yang dapat memperburuk kondisi mental seseorang dan meningkatkan risiko familicide. Zat-zat ini memiliki efek langsung pada otak dan perilaku, dan juga dapat berkontribusi pada masalah lain yang meningkatkan risiko kekerasan.
ADVERTISEMENT
Peran regulasi sangat penting dalam mencegah familicide, karena regulasi yang efektif dapat memberikan kerangka hukum untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan anak-anak, serta menindak pelaku. Kebutuhan regulasi yang lebih komprehensif, khususnya hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sangat mendesak untuk mencegah terjadinya familicide dan melindungi korban secara efektif. Meskipun Indonesia telah memiliki UU PKDRT, masih terdapat celah dan kelemahan yang perlu diatasi. Sanksi pidana yang diatur dalam UU PKDRT terkadang dianggap kurang berat dan kurang memberikan efek jera bagi pelaku. Perlu dipertimbangkan peningkatan ancaman hukuman, baik pidana penjara maupun denda, untuk memberikan efek jera yang lebih signifikan dan mencegah pelaku mengulangi tindakannya. Selain beratnya hukuman, penegakan hukum yang konsisten dan tegas juga sangat penting. Aparat penegak hukum perlu dilatih secara khusus untuk menangani kasus KDRT dengan sensitif dan profesional, serta memastikan bahwa pelaku diproses sesuai hukum yang berlaku. Dalam kasus-kasus KDRT yang berulang atau menyebabkan luka berat atau kematian, perlu dipertimbangkan penerapan hukuman yang progresif, yaitu hukuman yang semakin berat jika pelaku melakukan pelanggaran yang sama berulang kali.
ADVERTISEMENT
Peran sistem dukungan kesehatan mental sangat krusial dalam mencegah KDRT dan familicide. Masalah kesehatan mental yang tidak tertangani, seperti depresi, kecemasan, gangguan bipolar, atau gangguan kepribadian, dapat meningkatkan risiko perilaku kekerasan, baik sebagai korban maupun pelaku. Akses yang mudah dan terjangkau ke layanan kesehatan mental dapat membantu individu mengelola kondisi mereka dan mencegah eskalasi kekerasan. Skrining berkala memungkinkan deteksi dini masalah kesehatan mental, bahkan sebelum gejala yang signifikan muncul. Deteksi dini ini krusial karena intervensi yang diberikan pada tahap awal umumnya lebih efektif dan dapat mencegah masalah berkembang menjadi lebih parah. Skrining dapat membantu mengidentifikasi individu yang berisiko melakukan atau menjadi korban KDRT dan familicide. Misalnya, skrining dapat mengungkap masalah seperti gangguan pengendalian impuls, penyalahgunaan zat, depresi berat, atau riwayat kekerasan dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Peran sistem dukungan kesehatan mental sangat penting dalam mencegah KDRT dan familicide. Salah satu pilar pentingnya adalah program pencegahan dan edukasi yang ditujukan untuk masyarakat umum. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental dan KDRT, sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan dan memberikan dukungan yang tepat bagi korban.