Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Regulasi di Tengah Jeratan Resistensi Antibiotik
28 Desember 2024 18:33 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Jeratan resistensi antibiotik menguat karena regulasi belum diimplementasikan secara efektif. Dibutuhkan lebih dari sekadar aturan di atas kertas. Pengawasan, edukasi, inovasi, dan kesadaran serta tindakan nyata dari seluruh elemen masyarakat adalah kunci untuk memutus rantai resistensi antibiotik.”
ADVERTISEMENT
Laporan WHO tentang Antimicrobial Resistance Global Report memberikan data tentang resistensi antibiotik di seluruh dunia. Laporan ini menunjukkan tren peningkatan resistensi berbagai jenis bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik. WHO memperkirakan resistensi antimikroba (AMR) secara langsung menyebabkan 1,27 juta kematian global pada tahun 2019 dan berkontribusi pada hampir 5 juta kematian. Data dari GLASS (Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System) WHO menunjukkan tingkat resistensi tinggi pada bakteri E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Staphylococcus aureus terhadap antibiotik. WHO menetapkan AMR sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan masyarakat global. Laporan OECD juga menyoroti peningkatan resistensi antibiotik, dengan perkiraan dampak ekonomi yang signifikan akibat resistensi ini. OECD memperkirakan resistensi antibiotik menyebabkan penurunan PDB global sebesar 3,8% pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan efektif. Berbagai penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah menunjukkan peningkatan resistensi antibiotik di Indonesia. Misalnya, penelitian tentang resistensi E. coli terhadap antibiotik pada pasien ISK, atau resistensi Staphylococcus aureus (termasuk MRSA). Penelitian BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menunjukkan resistensi antimikroba di air limbah fasilitas pelayanan kesehatan yang mengindikasikan penyebaran bakteri resisten.
ADVERTISEMENT
Bakteri mengembangkan resistensi terhadap antibiotik melalui beberapa mekanisme melalui mutasi genetik dan transfer genetik. Mutasi adalah perubahan acak pada materi genetik (DNA) bakteri. Perubahan ini terjadi secara spontan saat bakteri bereplikasi. Beberapa mutasi memberikan keuntungan bagi bakteri dalam menghadapi antibiotik. Mutasi mengubah struktur protein atau molekul yang menjadi target antibiotik. Akibatnya, antibiotik tidak dapat lagi berikatan dengan targetnya secara efektif dan bakteri tetap hidup. Mutasi meningkatkan produksi pompa efluks, yaitu protein yang memompa keluar antibiotik dari dalam sel bakteri. Dengan demikian, konsentrasi antibiotik di dalam sel bakteri menjadi rendah dan tidak efektif. Mutasi menyebabkan bakteri menghasilkan enzim yang mampu merusak atau memodifikasi antibiotik, sehingga antibiotik kehilangan kemampuannya untuk membunuh bakteri. Contohnya adalah enzim beta-laktamase yang memecah cincin beta-laktam pada antibiotik golongan penisilin. Ketika antibiotik digunakan, bakteri yang rentan akan mati, sementara bakteri yang memiliki mutasi resisten akan bertahan hidup dan berkembang biak. Proses ini disebut seleksi alam, di mana hanya bakteri yang paling kuat (resisten) yang akan mendominasi populasi. Transfer genetik adalah proses pemindahan materi genetik (termasuk gen resistensi antibiotik) antar bakteri. Transfer genetik memungkinkan penyebaran resistensi antibiotik dengan cepat di antara populasi bakteri, bahkan antar spesies bakteri yang berbeda. Bakteri yang awalnya rentan dapat dengan cepat memperoleh gen resistensi dari bakteri lain yang sudah resisten.
ADVERTISEMENT
Beberapa bakteri yang umum resisten terhadap antibiotik di antaranya adalah Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA), Enterococcus resisten Vancomycin (VRE), Bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), Neisseria gonorrhoeae resisten Penisilin, Pseudomonas aeruginosa, dan Acinetobacter baumannii. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang hidup di kulit atau hidung manusia tanpa menyebabkan masalah. Namun, jika bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui luka atau prosedur medis, menyebabkan infeksi, mulai dari infeksi kulit ringan hingga infeksi yang mengancam jiwa seperti infeksi aliran darah (bakteremia), pneumonia, dan infeksi luka operasi. Enterococcus adalah bakteri yang hidup di saluran pencernaan manusia. Biasanya tidak berbahaya, tetapi dapat menyebabkan infeksi jika masuk ke bagian tubuh, terutama pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. ESBL adalah enzim yang diproduksi oleh beberapa bakteri, terutama bakteri Gram-negatif seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. Bakteri penghasil ESBL menyebabkan berbagai infeksi, termasuk infeksi saluran kemih, infeksi paru-paru, dan infeksi aliran darah. Neisseria gonorrhoeae adalah bakteri penyebab penyakit menular seksual gonore. Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram-negatif yang menyebabkan berbagai infeksi, terutama pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah atau penyakit paru-paru kronis seperti fibrosis kistik. Acinetobacter baumannii adalah bakteri Gram-negatif menyebabkan infeksi di rumah sakit, terutama pada pasien di unit perawatan intensif (ICU).
ADVERTISEMENT
Resistensi antibiotik memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan manusia, terutama dalam hal meningkatnya angka kesakitan dan kematian, perpanjangan masa rawat inap, dan peningkatan biaya pengobatan. Ketika bakteri resisten terhadap antibiotik, infeksi yang sebelumnya mudah diobati menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin diobati dengan antibiotik yang tersedia. Hal ini menyebabkan infeksi berlangsung lebih lama dan berpotensi menjadi lebih parah. Infeksi yang tidak diobati dengan efektif menyebabkan komplikasi yang lebih serius, seperti sepsis (infeksi yang menyebar ke seluruh tubuh), kerusakan organ, dan kematian. Data global menunjukkan peningkatan angka kematian disebabkan oleh infeksi bakteri resisten antibiotik. WHO memperkirakan resistensi antimikroba menyebabkan lebih dari satu juta kematian setiap tahunnya. Resistensi terhadap berbagai jenis antibiotik menyebabkan munculnya "superbug," yaitu bakteri yang resisten terhadap hampir semua antibiotik yang tersedia. Infeksi yang disebabkan oleh superbug sangat sulit diobati dan sering berakibat fatal. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten antibiotik membutuhkan pengobatan yang lebih lama dibandingkan dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap antibiotik. Hal ini karena dokter harus mencari antibiotik alternatif yang kurang efektif atau memiliki efek samping yang lebih banyak. Pasien dengan infeksi resisten antibiotik membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit, seperti di ICU. Untuk mencegah penyebaran bakteri resisten antibiotik, pasien diisolasi di ruang khusus.
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik diterbitkan sebagai respons terhadap meningkatnya masalah resistensi antimikroba di Indonesia dan kebutuhan akan pedoman yang lebih komprehensif dalam penggunaan antibiotik. Namun, dalam implementasinya mengandung banyak kelemahan. Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum terkait penggunaan dan peredaran antibiotik merupakan masalah krusial yang berkontribusi terhadap meningkatnya resistensi antibiotik di Indonesia. Pengawasan yang lemah memungkinkan peredaran antibiotik secara ilegal, baik di apotek yang nakal, toko obat tanpa izin, warung, bahkan secara daring. Antibiotik dijual bebas tanpa resep dokter, melanggar peraturan. Hal ini memudahkan masyarakat untuk membeli antibiotik tanpa indikasi yang jelas dan tanpa dosis yang tepat, yang memicu resistensi. Pengawasan terhadap penggunaan antibiotik di fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas, masih perlu ditingkatkan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional, seperti pemberian antibiotik yang tidak sesuai indikasi, dosis yang tidak tepat, atau durasi yang terlalu lama, sering terjadi. Sanksi yang diberikan kepada pelanggar peraturan terkait penggunaan dan peredaran antibiotik kurang efektif dan tidak memberikan efek jera. Hal ini membuat pelanggaran terus berulang. Meskipun peraturan telah ada, implementasinya masih lemah, sehingga antibiotik masih mudah didapatkan tanpa resep.
ADVERTISEMENT
Lemahnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengendalian resistensi antibiotik merupakan salah satu tantangan utama yang menghambat efektivitas upaya penanggulangan masalah ini. Beberapa instansi memiliki kewenangan yang tumpang tindih dalam pengaturan dan pengawasan antibiotik, seperti Kementerian Kesehatan, BPOM dan pemerintah daerah. Ketidakjelasan pembagian tugas dan tanggung jawab menyebabkan kebingungan dan kurangnya efisiensi dalam pelaksanaan. Misalnya, dalam pengawasan peredaran antibiotik di apotek, terkadang tidak jelas apakah kewenangan utama berada di BPOM atau Dinas Kesehatan daerah. Hal ini menyebabkan pengawasan yang tidak optimal dan potensi terjadinya celah hukum.
Edukasi yang belum optimal kepada masyarakat mengenai penggunaan antibiotik merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap masalah resistensi antibiotik. Masyarakat belum memahami dengan benar apa itu antibiotik, bagaimana cara kerjanya, dan kapan antibiotik dibutuhkan. Mereka menganggap antibiotik sebagai obat "serba bisa" yang dapat menyembuhkan semua penyakit, termasuk yang disebabkan oleh virus seperti flu dan pilek. Masyarakat kurang menyadari bahaya resistensi antibiotik dan bagaimana perilaku penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat memicu masalah ini. Mereka tidak tahu bahwa resistensi antibiotik dapat menyebabkan infeksi yang sulit diobati dan bahkan mengancam jiwa.
ADVERTISEMENT
Pengembangan antibiotik baru menghadapi tantangan yang signifikan, salah satunya adalah kurangnya insentif bagi perusahaan farmasi untuk berinvestasi dalam riset dan pengembangan (R&D) antibiotik baru. Perusahaan farmasi cenderung lebih memprioritaskan investasi pada pengembangan obat-obatan untuk penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker, yang memiliki pasar yang lebih besar dan potensi keuntungan yang lebih tinggi. Pengembangan obat-obatan untuk penyakit kronis dan kanker memberikan keuntungan yang lebih cepat dibandingkan dengan pengembangan antibiotik, yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menghasilkan keuntungan.
Membandingkan regulasi antibiotik di Indonesia dengan negara lain yang berhasil dalam pengendalian resistensi antimikroba (AMR) memberikan wawasan untuk perbaikan. Beberapa negara yang sering dijadikan contoh keberhasilan dalam pengendalian AMR antara lain Swedia, Belanda, dan Inggris. Swedia memiliki sistem pengawasan yang ketat terhadap peresepan dan penggunaan antibiotik. Terdapat pedoman nasional yang jelas dan dipatuhi oleh tenaga kesehatan. Edukasi masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang bijak juga digalakkan. Swedia memiliki sistem surveilans AMR yang kuat dan terintegrasi, yang memantau resistensi antibiotik pada manusia, hewan, dan lingkungan. Data surveilans ini digunakan untuk merumuskan kebijakan dan intervensi yang tepat. Belanda menerapkan pendekatan "One Health" yang kuat, yang melibatkan kerjasama lintas sektor antara kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan. Hal ini penting untuk mengatasi AMR secara holistik. Belanda memiliki program stewardship antibiotik yang efektif di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, bertujuan untuk mempromosikan penggunaan antibiotik yang rasional. Inggris memiliki strategi nasional AMR yang komprehensif, mencakup berbagai aspek seperti pengawasan penggunaan antibiotik, pencegahan infeksi, pengembangan antibiotik baru, dan edukasi masyarakat. Inggris memanfaatkan data surveilans AMR dan data penggunaan antibiotik untuk merumuskan kebijakan dan intervensi berbasis bukti. Inggris melakukan kampanye publik yang intensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya resistensi antibiotik dan pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak.
ADVERTISEMENT
Beberapa poin penting yang harus diperhatikan Indonesia adalah memperkuat regulasi dan pengawasan penggunaan antibiotik, meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam penanganan AMR melalui pendekatan "One Health", memperkuat sistem surveilans AMR dan memanfaatkan data untuk pengambilan keputusan, meningkatkan intensitas dan efektivitas edukasi masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang bijak, memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait penggunaan dan peredaran antibiotik.