Konten dari Pengguna

Regulasi Sebagai Garda Terdepan dalam Pemberantasan TBC

wahyu andrianto
Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
15 Februari 2025 12:22 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Darurat TBC belum usai. Regulasi adalah garda terdepan. Perkuat regulasi dan perbaiki implementasinya.”
ADVERTISEMENT
Data global mengenai TBC umumnya dirilis setiap tahun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Laporan TBC Global (Global Tuberculosis Report). Pada tahun 2022, diperkirakan ada 10,6 juta orang di seluruh dunia yang jatuh sakit karena TBC. Data ini sedikit meningkat dibandingkan tahun 2021 (10,3 juta). WHO memperkirakan 13,0 juta orang hidup dengan TBC pada tahun 2022. Pada tahun 2022, diperkirakan 1,3 juta orang meninggal karena TBC (termasuk 167.000 orang dengan HIV). Pada tahun 2021, diperkirakan ada 410.000 kasus baru TBC resistan rifampisin (RR-TB), yang merupakan bentuk TBC RO yang paling umum. Dari jumlah tersebut, 300.000 di antaranya adalah TBC Multidrug-Resistant (MDR-TB), yang resistan terhadap setidaknya rifampisin dan isoniazid, dua obat anti-TBC yang paling ampuh. WHO memiliki strategi global "End TB Strategy" dengan target ambisius untuk mengurangi kematian akibat TBC sebesar 90% dan insidensi TBC sebesar 80% pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TBC tertinggi di dunia. Pada tahun 2022, Indonesia diperkirakan memiliki 969.000 kasus TBC, menempatkannya sebagai negara dengan kasus TBC terbanyak kedua di dunia setelah India. Meskipun estimasi kasus mencapai 969.000, notifikasi kasus TBC di Indonesia pada tahun 2022 adalah sekitar 717.941 kasus. Diperkirakan sekitar 93.000 kematian akibat TBC terjadi di Indonesia pada tahun 2022. Indonesia juga menghadapi masalah TBC RO yang signifikan. Pada tahun 2022, jumlah kasus TBC RO yang diobati adalah 26.457 kasus. Pemerintah Indonesia memiliki target eliminasi TBC, sejalan dengan target global. Target eliminasi TBC di Indonesia tertuang dalam Rencana Strategis Nasional (Renstra) Penanggulangan TBC dan Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi TBC. Targetnya adalah menurunkan insidensi TBC menjadi 65 per 100.000 penduduk dan menurunkan angka kematian akibat TBC menjadi 6 per 100.000 penduduk pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri bernama Mycobacterium tuberculosis. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang bagian tubuh lain seperti kelenjar getah bening, tulang, otak, ginjal, dan usus. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui droplet (percikan air liur atau dahak) yang sangat kecil, berukuran 1-5 mikrometer. Ukuran droplet yang kecil ini memungkinkannya untuk tetap melayang di udara dalam waktu yang cukup lama, terutama dalam kondisi ventilasi yang buruk. Gejala utama TBC paru adalah batuk. Batuk adalah mekanisme alami tubuh untuk mengeluarkan dahak, namun pada penderita TBC paru aktif yang tidak diobati, batuk justru menjadi cara efektif bakteri untuk menyebar ke udara melalui droplet.
Anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap TBC, dan proporsi kasus TBC pada anak cukup signifikan. Namun, diagnosis TBC pada anak seringkali lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa. Anak-anak, terutama bayi dan balita, seringkali menunjukkan gejala TBC yang tidak khas dan mirip dengan penyakit anak-anak lainnya. Gejala klasik TBC paru seperti batuk berdahak kronis dan batuk berdarah lebih jarang ditemukan pada anak-anak. Gejala yang lebih umum pada anak-anak adalah demam ringan berkepanjangan, batuk (bisa kering atau berdahak sedikit), berat badan tidak naik atau turun, nafsu makan berkurang, lesu, mudah rewel, dan keringat malam. Gejala-gejala ini tidak spesifik dan bisa disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi lain yang umum pada anak-anak, seperti infeksi saluran pernapasan, pneumonia, atau infeksi virus.
ADVERTISEMENT
ODHIV memiliki risiko 20-37 kali lebih tinggi untuk mengembangkan TBC aktif dibandingkan orang yang tidak terinfeksi HIV. TBC merupakan penyebab utama kematian pada ODHIV. Infeksi HIV menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh (imunosupresi) yang signifikan. Kondisi ini meningkatkan risiko penyebaran bakteri TBC ke luar paru-paru dan menyebabkan TBC ekstrapulmoner (seperti TBC kelenjar getah bening, meningitis TB, TBC diseminata/milier). ODHIV rentan terhadap berbagai infeksi oportunistik lain selain TBC, seperti pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP), infeksi jamur (kriptokokosis, histoplasmosis), dan infeksi bakteri lain. Beberapa infeksi ini dapat memiliki gejala yang mirip dengan TBC, seperti batuk, demam, sesak napas, dan penurunan berat badan, sehingga menyulitkan diagnosis banding dan membedakan TBC dari infeksi oportunistik lain.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tidak secara spesifik memiliki satu bab atau pasal yang khusus berjudul "Tuberkulosis". Namun, regulasi mengenai TBC tersebar di berbagai bagian undang-undang ini, terutama dalam konteks Pengendalian Penyakit Menular dan Upaya Kesehatan. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 mengakui TBC sebagai salah satu jenis penyakit menular yang menjadi prioritas untuk dikendalikan dan diberantas di Indonesia. Hal ini merupakan penegasan bahwa TBC bukan hanya masalah kesehatan individu, tetapi juga masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan intervensi negara. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menegaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan upaya kesehatan, termasuk upaya pengendalian penyakit menular seperti TBC. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menekankan pentingnya upaya preventif dalam pengendalian penyakit menular. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan, termasuk informasi dan pelayanan terkait TBC.
ADVERTISEMENT
Regulasi yang baik dan komprehensif saja tidak cukup untuk memberantas TBC. Implementasi regulasi yang efektif di lapangan adalah kunci utama untuk mencapai tujuan pengendalian TBC. Namun, implementasi ini seringkali menghadapi berbagai tantangan yang kompleks dan multidimensional.
Sebagian masyarakat masih memiliki pemahaman yang minim atau bahkan keliru tentang TBC, cara penularan, pencegahan, pengobatan, dan pentingnya regulasi terkait TBC. Kurangnya pemahaman ini dapat menimbulkan resistensi terhadap regulasi yang dianggap membatasi atau tidak relevan. Masih banyak kepercayaan tradisional, mitos, dan stigma negatif yang melekat pada TBC di masyarakat. Beberapa masyarakat lebih percaya pada pengobatan tradisional daripada pengobatan medis modern, atau menganggap TBC sebagai penyakit kutukan atau aib keluarga. Kepercayaan ini dapat menghambat pencarian pengobatan dini dan kepatuhan terhadap pengobatan, serta regulasi terkait. Stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan TBC (ODTB) masih sangat kuat di masyarakat. Stigma ini dapat menyebabkan ODTB enggan memeriksakan diri, terbuka tentang status penyakitnya, atau patuh terhadap pengobatan karena takut dikucilkan, kehilangan pekerjaan, atau ditolak oleh keluarga dan lingkungan sosial. Regulasi yang bertujuan untuk melindungi hak-hak ODTB dan mengatasi stigma seringkali sulit diimplementasikan karena resistensi sosial.
ADVERTISEMENT
Program pengendalian TBC, termasuk implementasi regulasi, seringkali kekurangan anggaran dibandingkan dengan besarnya masalah dan target eliminasi yang ingin dicapai. Keterbatasan anggaran dapat menghambat berbagai aspek implementasi regulasi, seperti sosialisasi regulasi, pelatihan petugas kesehatan, pengadaan logistik, pengawasan implementasi, dan penegakan hukum. Anggaran kesehatan seringkali harus dibagi untuk berbagai program kesehatan lain yang juga penting. Program TBC harus bersaing dengan program lain untuk mendapatkan prioritas anggaran yang memadai.
Banyak fasilitas pelayanan kesehatan, terutama di tingkat primer dan daerah terpencil, belum memiliki infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk mendukung implementasi regulasi TBC, seperti laboratorium yang lengkap untuk diagnosis TBC, ruang isolasi yang memadai, sarana pengendalian infeksi, dan sistem informasi kesehatan yang terintegrasi. Akses ke teknologi diagnostik TBC yang lebih cepat dan akurat (seperti Tes Cepat Molekuler - TCM) dan obat-obatan TBC yang lebih baru dan efektif (terutama untuk TBC RO/XDR) belum merata di seluruh Indonesia. Implementasi regulasi yang efektif memerlukan ketersediaan teknologi dan obat-obatan modern yang memadai.
ADVERTISEMENT
Program TBC seringkali berjalan terpisah dari program kesehatan lain, seperti program HIV, program kesehatan ibu dan anak, program penyakit tidak menular, dan lain-lain. Kurangnya koordinasi antar program dapat menyebabkan duplikasi upaya, inefisiensi sumber daya, dan pelayanan yang tidak terintegrasi. Implementasi regulasi TBC yang efektif memerlukan koordinasi lintas program yang lebih baik, terutama dengan program-program yang relevan. Pengendalian TBC memerlukan kerjasama lintas sektor (kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, perumahan, lingkungan hidup, dll.). Namun, koordinasi lintas sektor seringkali lemah dan belum berjalan efektif. Implementasi regulasi TBC yang komprehensif memerlukan mekanisme koordinasi lintas sektor yang kuat dan berkelanjutan.
Darurat Tuberkulosis belum usai. Data dan fakta telah menggambarkan dengan jelas bahwa TBC tetap menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga global. Di tengah tantangan yang kompleks dan resistensi obat yang mengkhawatirkan, regulasi adalah benteng pertahanan terakhir, garda terdepan yang tak boleh lengah. Namun, regulasi tanpa implementasi yang kuat hanyalah kertas kosong.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/batuk-pria-tinju-saya-akan-virus-6929295/