Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Regulasi untuk Mengatasi Persebaran Dokter yang Tidak Merata di Indonesia
10 Maret 2025 13:44 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Secara umum, rasio dokter per penduduk di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan standar internasional yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). WHO merekomendasikan rasio 1 dokter per 1.000 penduduk sebagai standar minimal untuk pelayanan kesehatan yang memadai. Sebagian besar dokter di Indonesia terkonsentrasi di wilayah perkotaan, terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa dan beberapa kota besar di pulau lain. Fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, peluang karir yang lebih baik, dan kualitas hidup yang dianggap lebih tinggi menjadi daya tarik utama. Sebaliknya, wilayah perdesaan dan daerah terpencil mengalami kekurangan dokter.
ADVERTISEMENT
Persebaran dokter yang tidak merata di Indonesia memiliki dampak yang signifikan, terutama bagi daerah terpencil. Kekurangan dokter di daerah terpencil bukan hanya sekadar angka statistik, tetapi memiliki konsekuensi nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya angka kematian dan kesakitan (mortalitas dan morbiditas) adalah dampak langsung yang terjadi. Tanpa rasio dokter yang memadai, penyakit sederhana yang seharusnya bisa diobati dengan mudah di perkotaan dapat menjadi fatal di daerah terpencil. Penyakit menular cenderung lebih sulit dikendalikan, dan penyakit tidak menular seringkali terlambat dideteksi serta ditangani. Hal ini berkontribusi pada peningkatan angka kematian dan kesakitan.
Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama di daerah terpencil seringkali kekurangan dokter, atau bahkan tidak memiliki dokter sama sekali. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan pelayanan dasar seperti pemeriksaan umum, pengobatan penyakit ringan, imunisasi, dan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang ditangani secara langsung oleh dokter. Akses terhadap layanan kesehatan adalah hak asasi manusia. Kekurangan dokter di daerah terpencil adalah bentuk pelanggaran terhadap hak ini. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan semua warga negara, tanpa terkecuali, memiliki akses ke layanan kesehatan yang layak.
ADVERTISEMENT
Prinsip pemerataan tenaga kesehatan, tenaga medis dan akses layanan kesehatan yang merata diamanatkan dalam berbagai pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 2 huruf (a) (b) menyebutkan asas kemanusiaan, etika dan moral, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan martabat manusia, tidak diskriminatif, dan keadilan gender. Asas tidak diskriminatif secara implisit mengamanatkan bahwa layanan kesehatan, termasuk ketersediaan dokter, harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat tanpa memandang lokasi geografis. Pasal 17 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Pemerataan dokter adalah salah satu kunci untuk mewujudkan akses pelayanan kesehatan yang terjangkau secara geografis, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil. Pasal 11 ayat (1) secara spesifik menyebutkan bahwa salah satu tugas Pemerintah Pusat dan Daerah adalah "memenuhi kebutuhan tenaga Kesehatan". Hal ini menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dalam pemerataan dokter. Pasal 213 ayat (1) menyebutkan bahwa pendayagunaan tenaga kesehatan bertujuan untuk "memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu bagi seluruh masyarakat". Tujuan ini secara eksplisit menggarisbawahi pentingnya pemerataan dalam kebijakan tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan memiliki landasan filosofis yang kuat dengan mengedepankan asas pemerataan, keadilan, dan hak atas kesehatan. Hal ini memberikan legitimasi moral dan etis bagi upaya pemerataan dokter. UU Kesehatan secara jelas menetapkan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah dalam merencanakan, mengatur, dan memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, serta menyelenggarakan layanan kesehatan secara merata. Hal ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk mengambil inisiatif dalam pemerataan dokter. UU Kesehatan mengakui pentingnya pendayagunaan tenaga kesehatan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu. Hal ini membuka ruang bagi kebijakan dan program yang lebih terarah untuk pemerataan dokter.
Untuk mewujudkan pemerataan dokter, Pemerintah harus segera menyusun dan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang lebih rinci dan operasional tentang pemerataan SDM Kesehatan, khususnya dokter. Regulasi turunan ini harus mengatur secara spesifik mekanisme penempatan, insentif-disinsentif, pendidikan kedokteran yang berorientasi pemerataan, dan pengawasan yang efektif.
ADVERTISEMENT
Regulasi harus mewajibkan semua lulusan baru program pendidikan dokter umum dan spesialis (baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri) untuk menjalani masa wajib kerja di fasilitas kesehatan yang ditentukan pemerintah. Penugasan harus didasarkan pada analisis kebutuhan riil di setiap wilayah, dengan mempertimbangkan rasio dokter-populasi, indikator kesehatan, karakteristik geografis, dan ketersediaan fasilitas kesehatan. Sistem penugasan harus transparan, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Proses seleksi penempatan dokter wajib kerja dan penugasan harus terbuka, transparan, dan berbasis merit (misalnya mempertimbangkan preferensi wilayah, kompetensi, dan kebutuhan fasilitas kesehatan).
Gaji pokok dan tunjangan kinerja dokter yang bertugas di daerah terpencil harus dinaikkan secara signifikan, misalnya 2-3 kali lipat dibandingkan standar di perkotaan. Besaran insentif harus berjenjang, semakin terpencil dan sulit daerahnya, semakin tinggi insentifnya. Paket tunjangan harus mencakup tunjangan lokasi terpencil, tunjangan transportasi (termasuk transportasi rutin ke kota besar untuk kebutuhan pribadi dan keluarga), tunjangan perumahan yang layak, tunjangan pendidikan anak, tunjangan keluarga, tunjangan risiko kerja, dan tunjangan khusus lainnya yang relevan. Pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) yang signifikan bagi dokter yang bekerja di daerah terpencil, bahkan mungkin pembebasan pajak selama masa tugas. Bonus tahunan atau penghargaan khusus bagi dokter yang berprestasi dan loyal bertugas di daerah terpencil, sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan negara. Alokasi dana khusus untuk pengembangan karir dokter yang bertugas di daerah terpencil, termasuk beasiswa studi lanjut, pelatihan, dan kesempatan riset.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dapat menetapkan kuota khusus di Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Negeri bagi calon mahasiswa kedokteran yang berasal dari daerah terpencil dan kurang terlayani di Indonesia. Kriteria seleksi harus mempertimbangkan aspek sosio-ekonomi, latar belakang keluarga, motivasi untuk melayani daerah asal, dan potensi akademik, bukan hanya nilai ujian semata. Pemerintah dapat menyediakan program persiapan dan matrikulasi bagi calon mahasiswa dari daerah terpencil untuk membantu mereka agar berhasil dalam menempuh pendidikan kedokteran. Pemerintah menyediakan beasiswa penuh yang mencakup biaya pendidikan, biaya hidup, dan tunjangan lainnya bagi mahasiswa kedokteran dari daerah terpencil serta mewajibkan lulusan program kuota afirmasi untuk kembali dan berpraktik di daerah asal mereka setelah lulus.
Kurikulum pendidikan dokter umum harus lebih menekankan pada kompetensi yang dibutuhkan untuk pelayanan primer (deteksi dini, penanganan penyakit umum, promosi kesehatan, pencegahan penyakit, rujukan yang tepat) dan pengelolaan masalah kesehatan yang umum di daerah terpencil. Kurikulum memasukkan muatan lokal yang relevan dengan masalah kesehatan spesifik di berbagai daerah di Indonesia, termasuk penyakit tropis, masalah gizi, dan isu kesehatan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus mendorong dan mendukung pendirian program pendidikan spesialisasi di universitas dan rumah sakit daerah di luar kota-kota besar, terutama untuk jenis spesialis dasar yang paling dibutuhkan di daerah terpencil (spesialis penyakit dalam, anak, bedah, kandungan). Kerjasama antara institusi pendidikan di daerah dengan universitas dan rumah sakit pendidikan unggulan di kota besar harus diwujudkan untuk pengembangan program spesialisasi yang berkualitas di daerah.
Kementerian terkait harus menyediakan sistem pemantauan dan pelaporan digital yang terintegrasi. Pengembangan sistem basis data digital terpadu mencatat data secara real-time mengenai dokter, meliputi data demografi, pendidikan, spesialisasi, lokasi kerja, status wajib kerja, insentif-disinsentif, pelanggaran regulasi, dan indikator kinerja pemerataan. Sistem harus mampu menghasilkan laporan otomatis dan terintegrasi mengenai berbagai aspek pemerataan dokter, termasuk analisis kesenjangan rasio dokter-populasi di berbagai wilayah, tingkat kepatuhan terhadap wajib kerja, efektivitas program insentif dan disinsentif, dan dampak regulasi terhadap indikator kesehatan. Sebagian data dan laporan (yang tidak bersifat rahasia pribadi) harus dapat diakses secara terbuka oleh publik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Regulasi pemerataan dokter harus dievaluasi secara periodik (misalnya setiap 3-5 tahun) untuk mengukur efektivitasnya, mengidentifikasi kelemahan, serta menilai dampaknya terhadap pemerataan dokter dan indikator kesehatan. Evaluasi dilakukan secara independen oleh pihak eksternal yang kompeten. Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar untuk merevisi dan mengadaptasi regulasi agar lebih efektif dan responsif terhadap perubahan kebutuhan dan tantangan di lapangan. Proses revisi regulasi melibatkan konsultasi publik dan partisipasi dari berbagai pemangku kepentingan.