Konten dari Pengguna

Risiko Medis dan Tanggung Jawab Hukum Dokter

wahyu andrianto
Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
9 Februari 2025 10:56 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Risiko medis bukan merupakan faktor atau alasan yang menghapuskan tanggung jawab hukum dokter. Justru, risiko medis memunculkan tanggung jawab hukum dokter. Tanggung jawab hukum seorang dokter apabila dihadapkan dengan risiko medis adalah meliputi 2 (dua) hal, yaitu meminimalisir terjadinya risiko medis dan melakukan upaya pertolongan darurat semaksimal mungkin untuk mengatasi risiko medis.”
ADVERTISEMENT
Mayoritas hubungan antara pasien dengan dokter berada dalam ruang lingkup tindakan medis yang mempunyai karakteristik sebagai perikatan yang berbentuk inspanningsverbintennis. Inspanningsverbintennis merupakan perikatan yang berdasarkan pada upaya maksimal sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Dalam implementasinya, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus sesuai dengan Standar (yang meliputi Standar Profesi, Standar Pelayanan Medis, dan Standar Operasional Prosedur - SOP).
Karakteristik tindakan medis yang bersifat inspanningsverbintennis ini berbanding terbalik dengan persepsi masyarakat yang memandang tindakan medis sebagai resultaatsverbintenis. Resultaatsverbintenis merupakan perikatan yang menitikberatkan pada hasil. Masyarakat beranggapan bahwa tindakan medis harus memberikan hasil yang terbaik menurut persepsinya, dalam hal ini adalah kesembuhan.
Inspanningsverbintennis mendasari hubungan antara dokter dan pasien dalam tindakan medis. Sifat hubungan hukum antara dokter dan pasien bukan merupakan resultaatsverbintennis karena tidak ada jaminan keberhasilan dalam tindakan medis. Tindakan medis bersifat inspanningsverbintennis karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis, faktor dan kondisi pasien, faktor risiko medis, faktor kecelakaan medis, dan sumbangsih contributory of negligence dari pihak pasien Risiko medis merupakan salah satu faktor yang berpotensi menyebabkan kegagalan tindakan medis.
ADVERTISEMENT
Risiko medis merupakan faktor internal yang berasal dalam diri atau tubuh pasien yang menyebabkan tindakan medis mengalami kegagalan. Meskipun tindakan medis telah sesuai dengan standar, potensi munculnya risiko medis tetap ada. Dalam setiap tindakan medis, selalu terkandung risiko medis. Risiko medis tidak dapat dihilangkan. Namun, risiko medis dapat diupayakan untuk diminimalisir dan diupayakan upaya pertolongan darurat untuk mengatasi risiko medis.
Risiko medis yang beberapa kali muncul dalam tindakan medis adalah Steven Jhonson Syndrome (SJS). Dalam Putusan Pengadilan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI, dokter telah menanyakan riwayat alergi terhadap pasien sebelum dilakukan tindakan medis. Selain itu, obat-obatan yang diberikan kepada pasien tidak ada perubahan, sama seperti obat-obatan yang sebelumnya telah diberikan kepada pasien saat berobat di rumah sakit tersebut. Pasien rutin berobat di rumah sakit itu dan diberikan obat yang sama dan tidak pernah terjadi risiko medis. Namun, dalam kunjungan terakhir, pasien mengalami Steven Jhonson Syndrome (SJS) dan kemudian pasien mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap rumah sakit serta dokter yang telah melakukan tindakan medis.
ADVERTISEMENT
Selain Steven Jhonson Syndrome (SJS), terjadinya pendarahan pada batang otak merupakan kondisi pasien yang memerlukan penanganan khusus karena sangat berisiko secara medis. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk jo. Putusan Pengadilan Nomor 22/PDT/2020/PT.Ptk, majelis hakim menolak gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Majelis hakim menyatakan bahwa tindakan dokter sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kegagalan tindakan medis merupakan akibat dari terjadinya risiko medis. Dalam kasus ini, pasien merupakan rujukan dari rumah sakit lain dan kondisi pasien mengalami pendarahan di batang otak.
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan cedera kepala berat, pasien tidak dilakukan operasi karena mempertimbangkan adanya risiko medis yang lebih besar dibandingkan manfaatnya terhadap pasien apabila dilakukan tindakan operasi. Pasien dalam kondisi GCS (Glasgow Coma Scale) di bawah 6 dan risiko kematian besar (80%). Hal ini juga diperkuat dengan hasil CT Scan yang menunjukkan adanya tampak memar otak di beberapa bagian otak kiri dan kanan, terutama batang otak pasien. Dalam hal ini, rumah sakit berusaha untuk meminimalisir risiko medis dan hanya melakukan terapi konservatif berupa pemberian obat-obatan kepada pasien. Pasien mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam kasus ini, dokter tidak dapat menghindar dari risiko medis dan berusaha untuk memilih risiko medis yang berpotensi menimbulkan dampak negatif paling kecil terhadap kondisi kesehatan pasien.
ADVERTISEMENT
Risiko medis juga dapat terjadi karena kondisi kanker yang telah menyebarluas sehingga diperlukan dilakukan tindakan perluasan operasi untuk menyelamatkan pasien. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt, dokter menyatakan bahwa telah terjadi risiko medis terhadap pasien, yaitu kanker telah menyebar dan 2 (dua) indung telur (ovarium) pasien juga terkena kanker sehingga 2 (dua) indung telur (ovarium) pasien harus diangkat untuk meminimalisir dampak dari terjadinya risiko medis. Hal ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan Dokter Spesialis Patologi Anatomi yang menyatakan bahwa 2 (dua) indung telur (ovarium) pasien telah terkena kanker.
Salah satu tindakan medis yang mengandung risiko medis tinggi dalam tindakan pembedahan (operasi) adalah tindakan medis yang berupa anestesi. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng, terjadi risiko medis saat tindakan anestesi spinal, sehingga kemudian rumah sakit merujuk pasien ke rumah sakit lain untuk mengatasi risiko medis yang muncul setelah dilakukan anestesi spinal. Risiko medis ini disebabkan karena adanya tumor yang tidak terdeteksi. Sebelum dilakukan tindakan anestesi, dokter melakukan anamnese terhadap pasien dan tidak menemukan keluhan serta gejala klinis terkait dengan adanya gejala tumor. Pasien tidak menjelaskan adanya trauma, berdasarkan pemeriksaan fisik, pasien tidak ada keluhan serta gejala klinis.
ADVERTISEMENT
Tindakan dokter dan Rumah Sakit sudah sesuai dengan standar. Dalam hal ini, berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis, dokter tidak lazim untuk melakukan screening sebelum dilakukan penyuntikan anestesi spinal maupun tindakan operasi caesar. Hal ini juga diperkuat dengan hasil pemeriksaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang menyatakan tidak ada pelanggaran disiplin yang telah dilakukan oleh dokter. Keberadaan tumor dalam tubuh pasien menimbulkan risiko medis.
Risiko medis dapat terjadi karena kondisi pasien mengalami pendarahan dan komplikasi. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb, pasien mengalami risiko medis berupa pendarahan (Suspect Disseminated Intravascular Coagulation) dan komplikasi. Selain itu, keluarga pasien menolak pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan dan minta agar pasien dirujuk ke rumah sakit lain sesuai dengan keinginan keluarga pasien. Kondisi ini menyebabkan waktu terbuang sekitar 2 (dua) jam karena rumah sakit yang sesuai dengan keinginan pasien, saat itu kondisinya sedang penuh dan tidak tersedia bed untuk pasien dalam kondisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, pasien kondisinya dropp dan meninggal dunia, meskipun pihak rumah sakit telah melakukan upaya pertolongan untuk mengatasi kondisi gawat darurat secara semaksimal mungkin. Dalam kasus ini, dokter telah melakukan upaya terbaik untuk mengatasi kondisi darurat akibat terjadinya risiko medis.
Risiko medis dapat terjadi karena tindakan medis yang tergolong sederhana, yaitu pemasangan infus. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 13/Pdt.G/2020/PN Mrt, majelis hakim menolak gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan menyatakan bahwa kondisi pembengkakan di tangan kanan pasien disebabkan karena risiko medis akibat pemasangan infus. Majelis hakim mempertimbangkan pendapat ahli yang dihadirkan dalam persidangan oleh pihak tergugat.
Ahli menjelaskan mengenai kriteria risiko medis dalam pemasangan infus, yaitu: kondisi tubuh setiap orang berbeda-beda, orang yang terlalu gemuk, terlalu kurus, dan faktor usia bisa menjadi faktor yang menyebabkan sulitnya pemasangan infus; terhadap pasien yang demam dan menggigil bisa juga menjadi kendala untuk pemasangan infus, risikonya bisa menyebabkan pendarahan dan terjadinya pembengkakan. Dalam kasus ini, terjadinya pembengkakan akibat pemasangan infus yang gagal, merupakan risiko medis dan bukan merupakan malpraktik medis.
ADVERTISEMENT
Usia pasien dapat mempengaruhi timbulnya risiko medis. Risiko medis dapat timbul karena usia pasien yang terlalu tua pada saat dilakukan tindakan medis. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 415/Pdt.G/2019/PN Sby jo. Putusan Pengadilan Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY, ahli dari Perdami (Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia) Cabang Jawa Timur yang dihadirkan dalam persidangan oleh pihak tergugat menyatakan bahwa ada 6% (enam persen) operasi katarak mengalami capsule belakang robek karena usia tua. Robeknya capsule belakang saat operasi katarak merupakan risiko medis yang terjadi akibat faktor usia yang terlalu tua dari pasien. Dalam putusan ini, majelis hakim menyatakan tidak terbukti telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh dokter. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter sudah sesuai dengan standar.
ADVERTISEMENT
Keberadaan risiko medis, semakin mempertegas bahwa hubungan antara pasien dan dokter bersifat inspanningsverbintennis, bukan merupakan resultaatsverbintennis, karena tidak dapat diberikan jaminan keberhasilan terhadap hasil dari suatu tindakan medis. Salah satu penyebab kegagalan dalam tindakan medis adalah adanya risiko medis.
Beberapa risiko medis yang terjadi, disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu kondisi fisik pasien (misalnya: usia pasien yang terlalu tua), kondisi permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pasien (misalnya; kondisi kanker yang telah menyebar sehingga perlu dilakukan tindakan perluasan operasi – termasuk pengangkatan organ atau jaringan tubuh – untuk melokalisir persebaran kanker); kondisi pendarahan yang telah menyerang organ vital dalam kehidupan, misalnya adalah pendarahan di batang otak sehingga dokter dihadapkan dengan berbagai risiko medis dan harus memilih risiko medis yang dampak negatifnya terkecil terhadap pasien. Risiko medis terdapat dalam setiap tindakan medis, bahkan untuk tindakan medis yang tergolong sederhana (misalnya adalah pemasangan infus) juga mengandung risiko medis.
ADVERTISEMENT
Risiko medis bukan merupakan faktor atau alasan yang menghapuskan tanggung jawab hukum dokter. Justru, risiko medis memunculkan tanggung jawab hukum dokter. Tanggung jawab hukum seorang dokter apabila dihadapkan dengan risiko medis adalah meliputi 2 (dua) hal, yaitu meminimalisir terjadinya risiko medis dan melakukan upaya pertolongan darurat semaksimal mungkin untuk mengatasi risiko medis.
Hal ini selaras dengan Doktrin Life Saving sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Van der Mijn yang pada intinya menyatakan bahwa tindakan medis harus memperhatikan kebutuhan medis pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. Dokter berkewajiban untuk menyelamatkan pasien dengan upaya dan usaha terbaiknya berdasarkan ilmu pengetahuan serta pengalaman dalam bidang medis.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/palu-buku-hukum-piring-pengacara-719066/