Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Saatnya Regulasi Menjadi Garda Terdepan dalam Darurat Skabies
29 Desember 2024 13:53 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Skabies masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang membutuhkan perhatian serius. Dengan regulasi yang tepat sebagai garda terdepan, didukung oleh implementasi yang efektif dan partisipasi aktif masyarakat, maka dapat diwujudkan visi Indonesia bebas skabies. Regulasi bukan hanya sekadar aturan, tetapi sebuah investasi jangka panjang untuk kesehatan masyarakat, kualitas hidup yang lebih baik, dan masa depan yang lebih cerah.”
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta kasus skabies terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa beban global penyakit ini cukup besar. Prevalensi skabies bervariasi di berbagai wilayah di dunia. Prevalensi tertinggi ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di negara berkembang dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi berkisar antara 0,2% hingga 71%, dengan prevalensi tertinggi di wilayah Pasifik dan Amerika Latin. WHO memperkirakan bahwa setidaknya 200 juta orang menderita skabies pada tahun 2020. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa skabies termasuk dalam tiga penyakit kulit tersering di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2016, angka kejadian skabies di Indonesia berkisar antara 4,60% hingga 12,95% dari 261,6 juta penduduk. Data lain menunjukkan angka yang bervariasi, misalnya pada tahun 2020 berkisar antara 3,9% - 6% atau 5,6% - 12,9%. Perbedaan angka ini disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data dan populasi yang diteliti. Beberapa data menunjukkan adanya penurunan prevalensi skabies di Indonesia dari tahun ke tahun. Misalnya, ada data yang menunjukkan penurunan dari 5,60%-12,96% pada tahun 2018 menjadi 3,9-6% pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada kelompok populasi tertentu, antara lain adalah anak-anak, penghuni pondok pesantren dan penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Prevalensi skabies cenderung lebih tinggi pada anak-anak, terutama usia sekolah. Lingkungan pondok pesantren seringkali memiliki tingkat kepadatan hunian yang tinggi dan sanitasi yang kurang memadai, sehingga memfasilitasi penyebaran skabies. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi skabies yang tinggi di lingkungan pesantren. Kondisi serupa dengan pondok pesantren juga ditemukan di lapas, di mana kepadatan hunian dan sanitasi yang kurang baik meningkatkan risiko penularan skabies. Contohnya, penelitian di Lapas Kelas IIA Jember pada tahun 2015 menunjukkan angka prevalensi skabies sebesar 57%. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan bahwa skabies termasuk dalam 10 besar penyakit di seluruh Puskesmas Kabupaten Tasikmalaya, dengan angka kejadian pada tahun 2021 sebanyak 19.047 kasus.
ADVERTISEMENT
Skabies dapat memicu berbagai komplikasi kesehatan, antara lain Infeksi Bakteri Sekunder, Impetigo, Eksim (Dermatitis Atopik), Penyakit Ginjal (Glomerulonefritis Poststreptokokus), dan Skabies Krusta (Norwegian Scabies). Garukan akibat gatal memicu luka yang menjadi pintu masuk bakteri (seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes). Hal ini dapat menyebabkan impetigo, selulitis, bisul, dan abses. Impetigo merupakan infeksi kulit menular dengan luka lepuh bernanah yang mudah pecah dan membentuk kerak kuning kecoklatan. Komplikasi lebih lanjut dari impetigo bisa berupa ektima (bentuk impetigo yang lebih dalam) dan glomerulonefritis poststreptokokus (peradangan ginjal akibat infeksi streptokokus). Skabies dapat memperburuk eksim yang sudah ada atau memicu munculnya pada orang yang rentan, dengan gejala seperti kulit kering dan gatal, ruam merah, serta kulit pecah-pecah dan bersisik. Komplikasi serius meskipun jarang, berupa peradangan pada glomerulus ginjal akibat infeksi streptokokus. Gejalanya antara lain urin berwarna merah/coklat, pembengkakan, tekanan darah tinggi, dan penurunan fungsi ginjal. Bentuk skabies yang lebih parah, umumnya terjadi pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah (misalnya, penderita HIV/AIDS, lansia, atau orang yang mengonsumsi obat imunosupresan). Ditandai dengan kulit yang tebal, bersisik, dan berkerak, serta mengandung ribuan bahkan jutaan tungau. Sangat menular dan sulit diobati.
ADVERTISEMENT
Skabies disebabkan oleh infestasi tungau mikroskopis bernama Sarcoptes scabiei var. hominis. Tungau ini berukuran sangat kecil, hanya sekitar 0,3-0,4 mm, sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Skabies sangat menular dan penularannya terjadi dengan beberapa cara, yang paling utama adalah melalui kontak langsung dan berbagi barang pribadi. Penularan terjadi ketika seseorang melakukan kontak kulit yang berkepanjangan dengan orang yang terinfeksi skabies. Hubungan seksual merupakan salah satu cara penularan skabies yang umum pada orang dewasa. Anggota keluarga yang tinggal serumah dan sering berinteraksi fisik, seperti berpelukan, bermain bersama, atau menggendong anak kecil, berisiko tinggi tertular skabies jika salah satu anggota keluarga terinfeksi. Pasien atau penghuni yang dirawat dalam jangka waktu lama di fasilitas kesehatan, panti jompo, atau lembaga pemasyarakatan (lapas) juga berisiko tinggi tertular skabies karena potensi kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. Meskipun lebih jarang dibandingkan kontak langsung, skabies juga dapat menular melalui berbagi barang pribadi dengan orang yang terinfeksi.
ADVERTISEMENT
Tiga gejala utama skabies adalah gatal hebat (terutama malam hari), ruam, dan terowongan di kulit. Gatal yang disebabkan oleh skabies sangat intens dan seringkali digambarkan sebagai rasa gatal yang tak tertahankan. Gatal biasanya lebih parah pada malam hari (pruritus nokturna). Hal ini karena tungau lebih aktif pada suhu yang hangat dan lembap, seperti di bawah selimut saat tidur. Selain malam hari, gatal juga bisa meningkat saat berkeringat atau setelah mandi air hangat. Gatal disebabkan oleh reaksi alergi tubuh terhadap tungau, telur, dan kotorannya yang berada di dalam kulit. Ruam skabies biasanya berupa bintik-bintik kecil berwarna merah (papula) yang dapat menyerupai gigitan serangga, jerawat kecil, atau lecet. Ruam sering muncul di area-area sela-sela jari tangan dan kaki, pergelangan tangan dan kaki, siku dan ketiak, area sekitar pusar (umbilikus), area sekitar puting susu (areola mammae) pada wanita, area genital (penis dan skrotum pada pria), dan lipatan kulit, seperti di bawah payudara, selangkangan, dan bokong.
ADVERTISEMENT
Sanitasi yang buruk merupakan faktor risiko utama penyebaran skabies. Air bersih sangat penting untuk menjaga kebersihan diri, seperti mencuci tangan, mandi, dan mencuci pakaian. Kurangnya akses air bersih menyulitkan penerapan kebersihan diri yang optimal, sehingga meningkatkan risiko penyebaran skabies. Fasilitas sanitasi yang tidak memadai, seperti toilet dan kamar mandi yang kotor, tidak berfungsi dengan baik, atau jumlahnya tidak mencukupi, juga berkontribusi terhadap penyebaran skabies. Lingkungan yang kotor, lembap, dan kurang ventilasi menciptakan kondisi yang ideal bagi tungau skabies untuk bertahan hidup dan menyebar.
UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak secara eksplisit mengatur tentang skabies. Namun, beberapa pasal dalam undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi upaya pengendalian penyakit menular secara umum, yang dapat diinterpretasikan mencakup skabies. Misalnya, Pasal 4 (Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Upaya pengendalian penyakit menular, termasuk skabies, merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan ini), Pasal 25 ayat (1) (Setiap orang berhak atas kesehatan. Hak ini mencakup hak atas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit), Pasal 27 ayat (1) (Setiap orang berkewajiban turut serta dalam mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kewajiban ini dapat diwujudkan melalui partisipasi dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular, termasuk skabies), Bab V tentang Upaya Kesehatan (Mengatur berbagai upaya kesehatan, termasuk upaya pencegahan penyakit, penyehatan lingkungan, dan pengendalian penyakit menular. Meskipun tidak spesifik menyebut skabies, bab ini memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk melaksanakan upaya-upaya tersebut).
ADVERTISEMENT
Terdapat celah atau kekurangan dalam regulasi yang ada terkait pengendalian skabies di Indonesia. Ketiadaan regulasi yang spesifik dan komprehensif adalah celah utama. Regulasi yang ada lebih berfokus pada pengendalian penyakit menular secara umum, tanpa memberikan perhatian khusus pada skabies. Hal ini menyebabkan kurangnya panduan yang detail dan terarah mengenai penanganan skabies. Tidak adanya definisi operasional yang jelas tentang skabies dalam regulasi menyebabkan interpretasi yang beragam di lapangan, yang dapat menghambat upaya standardisasi diagnosis, pengobatan, dan pelaporan kasus. Regulasi yang ada tidak menetapkan indikator kinerja yang spesifik untuk pengendalian skabies, sehingga sulit untuk mengukur efektivitas program dan mengevaluasi dampaknya. Pengaturan tentang aspek-aspek penting dalam pengendalian skabies juga masih kurang. Tidak ada sistem surveilans yang terstruktur dan terpadu untuk memantau kejadian skabies secara nasional. Hal ini menyulitkan pemetaan masalah, perencanaan intervensi, dan evaluasi program. Meskipun ada panduan klinis, regulasi belum mengatur secara detail tentang standar diagnosis, tatalaksana, dan penggunaan obat-obatan untuk skabies, termasuk penanganan kasus resisten dan skabies krusta. Regulasi belum secara komprehensif mengatur tentang upaya pencegahan dan promosi kesehatan terkait skabies, seperti edukasi masyarakat tentang kebersihan diri, sanitasi lingkungan, dan cara penularan skabies. Regulasi belum memberikan perhatian khusus pada pengendalian skabies di populasi rentan, seperti anak-anak di pesantren, warga binaan di lapas, dan lansia di panti jompo, yang memerlukan pendekatan khusus. Regulasi belum secara optimal mengatur koordinasi dan keterlibatan lintas sektor terkait dalam pengendalian skabies, seperti sektor pendidikan, sosial, dan lingkungan hidup. Implementasi dan penegakan hukum belum optimal. Sosialisasi regulasi yang ada masih kurang, sehingga pemahaman dan implementasi di tingkat daerah dan masyarakat belum optimal. Pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran regulasi terkait sanitasi dan kebersihan lingkungan yang berkontribusi terhadap penyebaran skabies masih lemah. Keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia, anggaran, maupun sarana dan prasarana, dapat menghambat implementasi program pengendalian skabies. Penelitian mengenai skabies di Indonesia masih terbatas sehingga data prevalensi, faktor risiko, dan dampak skabies belum sepenuhnya dipahami. Perlu adanya penelitian dan pengembangan untuk menemukan metode diagnosis yang lebih cepat dan akurat, serta pengobatan yang lebih efektif dan terjangkau untuk skabies.
ADVERTISEMENT