Konten dari Pengguna

Sengketa Medis dan Media Massa

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law, Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan
3 Mei 2024 18:08 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media massa yang profesional, dokter yang komunikatif, dan pasien yang cerdas merupakan pilar utama tindakan medis dan pelayanan medis yang bermutu. Peranan media massa dalam sengketa medis ibarat sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi, bisa positip atau negatip.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa perkara sengketa medis, dokter dan/atau Rumah Sakit telah terlanjur disebarluaskan atau diberitakan oleh media massa. Dalam pemberitaannya, dokter dan/atau Rumah Sakit divonis oleh media massa telah melakukan tindakan medis yang merupakan malpraktik medis, meskipun proses persidangan belum berakhir. Beberapa Putusan Pengadilan terkait dengan hal tersebut, di antaranya adalah: Putusan Peninjauan Kembali Nomor 699 PK/Pdt/2017; Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt; Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng; Putusan Pengadilan Nomor 176/Pdt.G/2021/PN Blb; dan Putusan Pengadilan Nomor 72/Pdt.G/2021/PN Pms.
Ada kalanya, pemberitaan di media massa memberikan manfaat dalam proses persidangan dan menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.JKT.BRT, dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemilik Rumah Sakit terbukti cenderung menutup mata atas kejadian yang menimpa pasien, yang telah secara jelas menjadi soroton media massa dan masyarakat luas seperti yang dimuat dalam media online Liputan 6.com tanpa melakukan tindakan pemberian sanksi terhadap kinerja ketidakprofesionalan dokter di Rumah Sakit. Putusan Pengadilan Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.JKT.BRT ini diperkuat dengan Putusan Pengadilan Nomor 614/Pdt/2016/PT.DKI dan Putusan Kasasi Nomor 42 K/Pdt/2018.
ADVERTISEMENT
Namun, seringkali, pemberitaan di media massa yang dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga pasien ditafsirkan sebagai tindakan pencemaran nama baik oleh dokter dan/atau Rumah Sakit karena belum terbukti bahwa dokter dan/atau Rumah Sakit telah melakukan kelalaian dalam tindakan medis serta pelayanan medis. Dalam Putusan Kasasi Nomor 3566/K/Pdt/2016, tergugat (dokter dan Rumah Sakit) mendalilkan bahwa penggugat (orang tua pasien) telah menyebarluaskan hal yang tidak sebagaimana mestinya melalui media massa. Penggugat telah dengan sengaja menyebarkan kabar yang tidak benar melalui berita di televisi nasional maupun di surat kabar yang terbit di Tangerang, seolah-olah luka yang dialami oleh pasien adalah luka ringan dan para tergugat telah bertindak tidak profesional.
Dalam Putusan Kasasi Nomor 1001 K/Pdt/2017, dokter, Rumah Sakit dan Pemilik Rumah Sakit mengajukan gugatan rekonvensi kepada keluarga pasien. Alasan utama dari gugatan rekonvensi tersebut adalah keluarga pasien telah membuat press release yang mencemarkan nama baik Rumah Sakit. Namun, Majelis Hakim menolak gugatan rekonvensi untuk seluruhnya dengan pertimbangan bahwa tidak ada kerugian yang diakibatkan oleh tindakan dari keluarga pasien tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam Putusan Pengadilan Nomor 71/Pdt.G/2012/PN.JBI. jo. Putusan Pengadilan Nomor 63/PDT/2013/PT.Jbi jo. Putusan Kasasi Nomor 1361 K/Pdt/2014, tergugat (dokter dan Rumah Sakit) menyatakan bahwa dirinya telah terlanjur dipublikasikan di media massa oleh penggugat (pasien). Pasien menyatakan bahwa dokter dan Rumah Sakit telah melakukan malpraktik medis. Dokter dan Rumah Sakit kemudian mengajukan gugatan rekonvensi karena merasa dirugikan dan beranggapan sudah terjadi pencemaran nama baik. Majelis Hakim dalam putusannya menolak gugatan rekonvensi dari dokter dan Rumah Sakit.
Pemberitaan terhadap dokter dan/atau Rumah Sakit di media massa seringkali dipersepsikan oleh pihak dokter dan/atau Rumah Sakit identik dengan pencemaran nama baik. Dokter dan/atau Rumah Sakit kemudian mengajukan gugatan rekonvensi kepada pasien dan/atau keluarganya karena merasa telah dirugikan akibat dari pemberitaan di media massa. Dalam Putusan Pengadilan Nomor 3/Pdt.G/2020/PN Mrt, Rumah Sakit mengajukan gugatan rekonvensi pencemaran nama baik kepada pasien dan gugatan ini dimenangkan oleh pengadilan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa gugatan rekonvensi (gugatan balik) diterima karena pasien telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit dan dokter. Pasien telah memviralkan dokter dan Rumah Sakit melalui media massa dan media sosial, dengan bukti web/tautan media massa elektronik Jambiotoritas.com tertanggal 24 September 2020: http://www.jambiotoritas.com/2020/09/24/manejemen-rsud-sts-tergugat-di-pengadilannegeri-tebo/. Dalam putusannya, Majelis Hakim menghukum pasien untuk meminta maaf kepada Rumah Sakit secara terbuka melalui surat kabar harian atau media massa selama 3 (tiga) hari berturut-turut terhitung 3 (tiga) hari setelah putusan pengadilan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
ADVERTISEMENT
Menyikapi berbagai hal tersebut maka penulis dalam kesempatan ini akan menyampakan beberapa hal agar terjalin hubungan yang harmonis dan konstruktif antara media massa, pasien, dokter dan Rumah Sakit.
Pertama, media massa harus menyampaikan pemberitaan terkait dengan sengketa medis secara proporsional. Hal fundamental yang harus dipahami oleh media massa adalah kegagalan dalam tindakan medis tidak identik dengan malpraktik medis. Ada berbagai faktor yang berpotensi menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis, di antaranya adalah adanya resiko medis dalam setiap tindakan medis, potensi terjadinya kecelakaan medis, dan potensi terjadinya contributory of negligence (kontribusi kesalahan) dari pihak pasien yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam tindakan medis.
Kedua, media massa harus memahami bahwa untuk mengkategorikan bahwa kegagalan dalam tindakan medis merupakan malpraktik medis, minimal harus dipertimbangkan 2 (dua) hal yaitu: Standar (baik Standar Pelayanan Medis, Standar Profesi, maupun Standar Operasional Prosedur) dan kebutuhan medis pasien. Penyimpangan terhadap standar dan/atau tindakan medis yang tidak relevan dengan kebutuhan medis pasien merupakan tindakan medis yang berpotensi menimbulkan malpraktik medis.
ADVERTISEMENT
Ketiga, media massa harus menyadari bahwa hakekat dari pelayanan medis dan tindakan medis adalah bersifat inspanningsverbintennis. Artinya, dalam hal ini, titik beratnya adalah upaya maksimal sesuai dengan standar dan kebutuhan medis pasien. Pelayanan medis dan tindakan medis bukan merupakan suatu hal yang bersifat resultaatsverbintennis, yaitu sebuah tindakan yang menjanjikan hasil atau memberikan garansi keberhasilan terhadap tindakan atau pelayanan medis yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena kondisi setiap pasien adalah spesifik dan unik serta keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis sehingga sampai dengan saat ini, pelayanan medis dan tindakan medis tidak memberikan garansi keberhasilan (resultaatsverbintennis).
Keempat, dokter harus mulai menyadari bahwa dalam hubungan antara dokter dan pasien, tidaklah semata-mata hanya menitikberatkan pada tindakan medis. Ada, satu hal yang sering dilupakan oleh dokter, yaitu pemenuhan hak pasien atas informasi. Mayoritas sengketa medis terjadi karena hak pasien atas informasi ini tidak terpenuhi karena informasi tidak disampaikan oleh dokter atau informasi disampaikan oleh dokter tetapi serba terbatas/sedikit atau informasi disampaikan oleh dokter dalam bahasa yang tidak dipahami oleh pasien. Dokter harus menyadari bahwa pasien yang mengakses pelayanan medis dan tindakan medis, mayoritas dalam kondisi depersonalisasi. Oleh karena itu, pola pendekatan yang humanis (misalnya, senyum, ramah, informasi tersampaikan dan dimengerti oleh pasien) sangat berperan dalam mewujudkan pola hubungan yang positip dan harmonis antara dokter dan pasien.
ADVERTISEMENT
Kelima, pasien harus mau berubah menjadi pasien cerdas. Ada beberapa karakteristik dari pasien cerdas. Pertama, pasien harus peduli dengan kondisi kesehatan dan pelayanan medis serta tindakan medis yang akan diaksesnya. Dalam hal ini, pasien harus aktif untuk meminta dan mengolah informasi (informed consent) terkait dengan pelayanan medis dan tindakan medis yang diaksesnya. Kedua, pasien harus mematuhi saran atau masukan medis dari dokter (misalnya adalah kontrol rutin, konsumsi obat teratur sesuai petunjuk, mematuhi anjuran dan larangan dari dokter). Hal ini dikarenakan, kegagalan dalam tindakan medis dapat disebabkan oleh contributory of negligence (kontribusi kesalahan pasien), misalnya adalah pasien tidak pernah kontrol lagi, pasien mengakses pengobatan alternatif yang bukan merupakan anjuran dari dokter, pasien berobat ke berbagai tempat lainnya, pasien mengkonsumsi obat yang bukan merupakan rekomendasi dari dokter.
ADVERTISEMENT
Keenam, pihak Rumah Sakit harus aktif memberikan klarifikasi apabila ada pemberitaan di media massa yang menyatakan bahwa telah terjadi malpraktik medis di Rumah Sakit tersebut. Klarifikasi ini penting karena merupakan hak jawab dari Rumah Sakit sebagaimana yang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang telah dicabut dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran. Klarifikasi ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan media massa terhadap rumah sakit. Hal ini dikarenakan, pondasi utama dari bisnis perumahsakitan adalah kepercayaan (trust) dari masyarakat terhadap pelayanan medis dan tindakan medis yang disediakan oleh rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Sumber Foto: https://pixabay.com/id/photos/search/media%20massa/