Sentuhan Hukum dalam Penggunaan Antibiotik

wahyu andrianto
Aktivitas: Anggota Aktif World Association for Medical Law (WAML), Dosen Tetap Fakultas Hukum UI, Dosen Tidak Tetap beberapa Perguruan Tinggi Swasta, Pendiri dan Ketua Unit Riset Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UI,
Konten dari Pengguna
25 Maret 2024 18:37 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Antibiotik bagai obat sapu jagat. Hal ini dikarenakan hingga saat ini, antibiotik menjadi konsumsi publik sebagai obat untuk mengobati berbagai penyakit yang sehari-hari lazim diderita oleh masyarakat. Antibiotik seolah-olah menjadi solusi untuk segala jenis penyakit. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi dimana pada saat ini, dokter dengan mudahnya meresepkan antibiotik meskipun tanpa ada indikasi infeksi bakteri ddalam tubuh pasien. Masyarakat juga cenderung melakukan swamedikasi dengan mengonsumsi antibiotik yang dibeli secara bebas di pasaran pada saat mengalami sakit.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, antibiotik merupakan obat untuk melawan infeksi bakteri. Cara kerja antibiotik adalah dengan membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik tidak efektif untuk mengatasi penyakit akibat infeksi virus, seperti flu atau influenza. Penggunaan antibiotik tidak boleh sembarangan karena dapat menyebabkan resistensi dan membuat pengobatan menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik harus sesuai anjuran atau resep dari dokter.
Penggunaan antibiotik secara serampangan dapat menyebabkan resistensi antimikroba yang disebut dengan Antimicrobial Resistance/AMR, dimana reaksinya adalah memunculkan bakteri kebal. Mempertimbangkan potensi bahaya dalam penggunaan antibiotik secara serampangan maka Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Ada 2 (dua) alasan yang mendasari diterbitkannya peraturan ini, yaitu: Pertama, terjadinya peningkatan kejadian dan penyebaran mikroba yang resisten terhadap antimikroba di Rumah Sakit disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan rendahnya ketaatan terhadap kewaspadaan standar; Kedua, dalam rangka mengendalikan mikroba resisten di Rumah Sakit maka perlu dikembangkan program pengendalian resistensi antimikroba di Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
Resistensi antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Penyebab resistensi antimikroba adalah penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan tidak sesuai dengan standar serta kebutuhan medis pasien. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit merupakan acuan bagi Rumah Sakit dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba agar Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit berlangsung secara baku, terukur, dan terpadu. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit bertujuan untuk mencegah dan/atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten.
Agar Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit dapat berjalan secara efektif, tentunya diperlukan strategi dalam mengimplementasikan program tersebut. Strategi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dilakukan dengan cara: mengendalikan berkembangnya mikroba resisten akibat tekanan seleksi oleh antibiotik, melalui penggunaan antibiotik secara bijak; dan mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi. Penggunaan antibiotik secara bijak merupakan penggunaan antibiotik secara rasional dengan mempertimbangkan dampak muncul dan menyebarnya mikroba (bakteri) resisten. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan melalui tahapan: meningkatkan pemahaman dan ketaatan staf medis fungsional dan tenaga kesehatan dalam penggunaan antibiotik secara bijak; meningkatkan peranan pemangku kepentingan di bidang penanganan penyakit infeksi dan penggunaan antibiotik; mengembangkan dan meningkatkan fungsi laboratorium mikrobiologi klinik dan laboratorium penunjang lainnya yang berkaitan dengan penanganan penyakit infeksi; meningkatkan pelayanan farmasi klinik dalam memantau penggunaan antibiotik; meningkatkan pelayanan farmakologi klinik dalam memandu penggunaan antibiotik; meningkatkan penanganan kasus infeksi secara multidisiplin dan terpadu; melaksanakan surveilans pola penggunaan antibiotik, serta melaporkannya secara berkala; dan melaksanakan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik, serta melaporkannya secara berkala.
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit mewajibkan kepada setiap rumah sakit untuk melaksanakan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba secara optimal. Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba tersebut dilakukan melalui: pembentukan tim pelaksana program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA); penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik; melaksanakan penggunaan antibiotik secara bijak; dan melaksanakan prinsip pencegahan pengendalian infeksi. Pembentukan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah sakit (Tim PPRA) bertujuan untuk menerapkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi.
Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah sakit (Tim PPRA) dibentuk melalui keputusan kepala/direktur Rumah Sakit. Susunan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) terdiri atas ketua, wakil ketua, sekretaris dan anggota. Kualifikasi ketua tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba rumah sakit (Tim PPRA) merupakan seorang klinisi yang berminat di bidang infeksi. Dalam melaksanakan tugasnya, tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) bertanggung jawab langsung kepada kepala/direktur Rumah Sakit. Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) paling sedikit terdiri atas unsur: klinisi perwakilan SMF/bagian; keperawatan; instalasi farmasi; laboratorium mikrobiologi klinik; komite/tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI); dan Komite/tim Farmasi dan Terapi (KFT). Keanggotaan tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) harus merupakan tenaga kesehatan yang kompeten.
ADVERTISEMENT
Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) mempunyai tugas dan fungsi: membantu kepala/direktur Rumah Rakit dalam menetapkan kebijakan tentang pengendalian resistensi antimikroba; membantu kepala/direktur Rumah Sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan panduan penggunaan antibiotik di Rumah Sakit; membantu kepala/direktur Rumah Sakit dalam pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba; membantu kepala/direktur Rumah Sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikoba; menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi; melakukan surveilans pola penggunaan antibiotik; melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik; menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan
pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan; mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba; dan melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada Direktur/Kepala Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
Rumah Sakit bertanggung jawab untuk menyelenggarakan audit kuantitas penggunaan antibiotik dan audit kualitas penggunaan antibiotik. Audit tersebut bertujuan sebagai: evaluasi penggunaan antibiotik; dan pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten. Indikator mutu Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit meliputi: perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik; perbaikan kualitas penggunaan antibiotik; perbaikan pola kepekaan antibiotik dan penurunan pola resistensi antimikroba; penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang disebabkan oleh mikroba multiresisten; dan peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin, melalui forum kajian kasus infeksi terintegrasi.
Kepala/direktur Rumah Sakit wajib melaporkan pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit kepada Menteri melalui Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) adalah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan di masyarakat. Pelaporan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit dilakukan secara berkala setiap akhir tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Pemerintah berfungsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan melalui: advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; monitoring dan evaluasi. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat memberikan sanksi administratif terhadap rumah sakit yang melanggar ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sanksi administratif tersebut dapat berupa: teguran lisan; dan teguran tertulis.
Faktanya, implementasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit ternyata masih jauh dari harapan. Indikasinya adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Pertama, hingga saat ini masih banyak dokter yang serampangan dalam meresepkan antibiotik. Berdasarkan data yang dimuat dalam Harian Kompas pada tanggal 25 Maret 2024, angka kematian terkait dengan resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR) masih tinggi. Pada tahun 2019, terdapat 34.500 kematian yang disebabkan resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR) dan 133.800 kematian yang terkait resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR). Selain itu, prevalensi bakteri resisten/kebal pada Rumah Sakit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu: 9,0% (2005); 40,0% (2013); 60,0% (2016); 62,2% (2019); 66,7% (2020); dan 67,0% (2022).
Kedua, Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) secara formal ada di Rumah Sakit, tetapi tidak menjalankan tugasnya. Berdasarkan data yang dimuat dalam Harian Kompas pada tanggal 25 Maret 2024, ditemukan fakta bahwa sejumlah Rumah Sakit tidak mempunyai Tim Penatagunaan Antimikroba (PGA) di susunan Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA). Sejumlah Rumah Sakit tersebut, di antaranya, ialah RS Umi Barokah di Boyolali, Jawa Tengah; Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bung Karno di Surakarta, Jawa Tengah; dan RSUD Depati Hamzah, Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. Nihilnya Tim Penatagunaan Antimikroba (PGA) dalam struktur Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) merupakan pengingkaran Rumah Sakit pada program Pemerintah untuk menekan pertumbuhan bakteri kebal. Tahun 2021, Kementerian Kesehatan menerbitkan Panduan Penatagunaan Antimikroba di Rumah Sakit. Dalam panduan itu, Rumah Sakit diminta membentuk Tim Penatagunaan Antimikroba (PGA) untuk memperkuat fungsi Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) yang ada sejak tahun 2015. Tim Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang berisi gabungan dokter spesialis dan apoteker dapat mencegah pemberian antibiotik serampangan. Sebab, dokter yang ingin meresepkan antibiotik golongan tinggi harus mendapat izin dari mereka.
ADVERTISEMENT
Ketiga, adanya kendala terkait dengan dukungan anggaran dari manajemen Rumah Sakit. Berdasarkan data yang dimuat dalam Harian Kompas pada tanggal 25 Maret 2024, ditemukan beberapa fakta terkait dengan hal ini. Misalnya, di RS Umi Barokah Boyolali, hinga saat ini Tim pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) belum mempunyai tempat untuk berkantor. Selain itu, Sumber Daya Manusia yang berkompeten juga sangat terbatas karena baru ada satu tenaga kesehatan yang telah mengikuti pelatihan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba. Kondisi yang sama juga terjadi di RSUD Depati Hamzah dimana rencana penyusunan peta kuman pada tahun 2021 kandas karena manajemen Rumah Sakit tidak menyiapkan dana yang dibutuhkan. (Sumber: Harian Kompas tanggal 25 Maret 2024).
ADVERTISEMENT
Keempat, adanya pemangkasan dalam kurikulum pendidikan kedokteran, terutama muatan kurikulum yang berkaitan dengan munculnya bakteri resisten sehingga para dokter tidak cukup cermat dalam menggunakan antibiotik. (Sumber: Harian Kompas tanggal 25 Maret 2024).
Kelima, kebiasaan peresepan obat yang salah oleh dokter. Kebiasaan ini ditiru oleh dokter dari para dokter seniornya. Kebiasaan ini dianggap sebagai kebenaran. (Sumber: Harian Kompas tanggal 25 Maret 2024).
Keenam, adanya faktor bias relasi dalam hubungan antara dokter dengan perusahaan farmasi yang membuat dokter tidak independen. Celah yang masih dipelihara, yaitu diperbolehkannya perusahaan farmasi mensponsori para dokter untuk mengikuti seminar atau simposium kesehatan. Dokter perlu secara reguler mengikuti kegiatan tersebut dalam rangka mengumpulkan poin SKP (Satuan Kredit Profesi) untuk memenuhi syarat kompetensi dalam rangka memperpanjang Surat Izin Praktik. Seminar-seminar kesehatan berbayar yang cukup mahal, di hotel mewah, kerap disponsori oleh perusahaan farmasi. Biaya akomodasi dokter tersebut, tak jarang keluarganya ikut, juga ditanggung oleh perusahaan farmasi. (Sumber: Harian Kompas tanggal 25 Maret 2024).
ADVERTISEMENT
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/search/antibiotik/