Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Sudahkah UU Kesehatan Memberikan Pelindungan Hukum bagi Dokter?
22 Maret 2025 13:41 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berlaku sejak tanggal 8 Agustus 2023. Undang-Undang ini mencabut 11 (sebelas) Undang-Undang di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Implikasinya, banyak hal baru yang diatur di dalam Undang-Undang Kesehatan ini.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan pelindungan hukum bagi dokter, terdapat Majelis yang mempunyai posisi dan peran vital dalam penegakan disiplin serta hukum. Majelis ini diatur di dalam Pasal 304-310 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada dasarnya, terdapat 2 (dua) kewenangan Majelis, yaitu: (1) menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan, (2) memberikan rekomendasi atas pelanggaran hukum (baik pidana dan/atau perdata) yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Menarik untuk dikaji kewenangan Majelis ini.
Disiplin merupakan aturan penerapan keilmuan bagi dokter. Ruang lingkup pelanggaran disiplin telah diatur di dalam Pasal 3 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Pelanggaran disiplin tidak identik dengan pelanggaran hukum. Oleh karena itu, Pasal 66 (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyatakan bahwa pengaduan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk menggugat kerugian perdata ke Pengadilan. Namun, dalam implementasinya, Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) menimbulkan kebimbangan bagi Majelis Hakim Pengadilan sehingga muncul berbagai Putusan Pengadilan:
ADVERTISEMENT
1. Putusan Pengadilan yang mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di pengadilan;
2. Putusan Pengadilan yang tidak mempersyaratkan adanya pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) terlebih dahulu sebelum pemrosesan gugatan di pengadilan;
3. Putusan Pengadilan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkverklaard) karena belum ada pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebelum pemrosesan gugatan di pengadilan;
4. Putusan Pengadilan yang mempergunakan pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan;
5. Putusan Pengadilan yang tidak mempergunakan (mengesampingkan) pemeriksaan dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memproses dan memutus gugatan;
ADVERTISEMENT
6. Dissenting Opinion dalam Putusan Pengadilan karena ada Hakim yang mempertimbangkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan ada Hakim yang mengesampingkan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Inkonsistensi ini tentunya berdampak bagi dokter karena tidak adanya kepastian hukum dalam menjalankan profesinya. Dampak lanjutannya, tidak hanya dirasakan oleh dokter, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat/pasien dan/atau fasilitas kesehatan, baik klinik maupun Rumah Sakit. Dampak tersebut di antaranya: proses penyelesaian sengketa medis menjadi panjang dan melelahkan karena ada campur baur antara hukum dan disiplin; panjangnya proses penyelesaian sengketa medis berdampak terhadap bisnis rumah sakit dan/atau klinik karena terlanjur diberitakan oleh media massa, sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan/atau fasilitas kesehatan; berpotensi menimbulkan defensive medicine (praktik kedokteran defensif) karena dokter dan/atau fasilitas kesehatan kuatir dituduh malpraktik medis apabila tindakan medis tidak sesuai dengan harapan pasien; terjadinya defensive medicine dapat menimbulkan dampak berupa peningkatan biaya kesehatan yang ditanggung oleh pasien.
ADVERTISEMENT
Semoga hal ini tidak terjadi dengan Majelis yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Terkait dengan kewenangan Majelis untuk memberikan rekomendasi atas pelanggaran hukum (baik pidana dan/atau perdata) yang dilakukan oleh dokter, hal ini mirip dengan dismissal prosedur sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 62 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Dismissal prosedur bertujuan untuk mematangkan perkara dan menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan untuk diperiksa dalam proses persidangan. Oleh karena itu, dalam dismissal prosedur, minimal ada 5 (lima) hal yang diperiksa, yaitu: apakah pokok gugatan merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, apakah syarat gugatan telah terpenuhi, apakah gugatan didasarkan pada alasan yang layak, apakah yang dituntut dalam gugatan telah terpenuhi dalam Keputusan Tata Usaha Negara, apakah jangka waktu pengajuan gugatan terpenuhi. Dismissal prosedur mempunyai posisi yang vital dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara karena menyaring atau memfilter apakah perkara tersebut dapat diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara ataukah tidak. Oleh karena itu, tidak salah jika dinyatakan bahwa salah satu ujung tombak penegakan keadilan dalam proses penyelesaian perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara terletak di dismissal prosedur.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan Majelis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Majelis ini merupakan ujung tombak dalam penegakan keadilan karena Majelis ini berwenang memberikan rekomendasi apakah terdapat pelanggaran hukum (baik pidana dan/atau perdata) yang dilakukan oleh dokter pada saat mengemban profesinya.
Kembali ke judul artikel ini, “Sudahkah Undang-Undang Kesehatan Memberikan Pelindungan Hukum bagi Dokter?” Jawabannya adalah: Belum.
Agar Undang-Undang Kesehatan memberikan pelindungan hukum bagi dokter, keberadaan dan kewenangan Majelis ini harus dirumuskan secara komprehensif serta proporsional dalam Peraturan Pemerintah. Beberapa hal yang harus dirumuskan adalah: (1) Definisi dan ruang lingkup pelanggaran disiplin bagi dokter; (2) Korelasi antara pelangaran disiplin dengan pelanggaran etika dan pelanggaran hukum; (3) Sumber Daya Manusia yang mumpuni yang duduk di Majelis – minimal harus memahami mengenai ruang lingkup pengaturan pelanggaran disiplin, pelanggaran etika dan pelanggaran hukum serta irisan atau hubungan di antara ketiga hal tersebut; (4) Hukum materiil dan formil dalam Majelis; (5) Kedudukan hukum rekomendasi Majelis; (6) Sarana prasarana pendukung agar Majelis dapat melaksanakan tugas secara profesional.
ADVERTISEMENT
Semoga Majelis dapat memberikan kemanfaatan hukum bagi dokter, masyarakat (khususnya pasien), dan fasilitas kesehatan. Kemanfaatan ini dalam bentuk dokter dan fasilitas kesehatan yang profesional dalam mewujudkan derajat kesehatan yang baik bagi masyarakat.