Konten dari Pengguna

Tantangan Regulasi dalam Penanganan Kasus Filisida di Indonesia

wahyu andrianto
Dosen Tetap FHUI, Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
22 Januari 2025 16:18 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini, media massa ramai memberitakan mengenai penganiayaan berujung kematian yang dilakukan oleh pasangan suami istri (AZR dan SD), orang tua korban, terhadap balita berusia 3 tahun 9 bulan (RMR) di Tambun Selatan, Bekasi. Korban dianiaya karena muntah di teras minimarket saat diajak mengemis oleh orang tuanya. Pelaku dalam kondisi di bawah pengaruh lem aibon saat melakukan penganiayaan. Kasus ini menyoroti dampak tekanan ekonomi dan kondisi sosial yang dapat memicu kekerasan terhadap anak, bahkan berujung pada kematian.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum Kasus RMR, pada tahun 1984 terjadi Kasus Arie Hanggara. Kasus Arie Hanggara adalah sebuah kasus kekerasan terhadap anak yang tragis dan mendapat perhatian luas di Indonesia. Arie Hanggara lahir pada 21 Desember 1977. Ia meninggal dunia pada 8 November 1984 di usia 7 tahun akibat penganiayaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya, Machtino, dan ibu tirinya, Santi. Kasus ini menjadi simbol pentingnya perlindungan anak dan mendorong perubahan dalam hukum dan kesadaran masyarakat.
Filisida, tindakan pembunuhan anak oleh orang tua sendiri, merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan dan menunjukkan adanya permasalahan serius dalam masyarakat. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyoroti fenomena ini dan menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi "darurat filisida". Pada tahun 2024, KPAI mencatat lebih dari 60 kasus filisida. Angka ini memberikan gambaran bahwa kasus filisida bukan merupakan kejadian yang terisolasi, melainkan sebuah masalah yang membutuhkan perhatian serius. Kasus filisida terjadi dalam berbagai konteks, mulai dari masalah ekonomi, tekanan sosial, masalah kesehatan mental, hingga masalah rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada satu penyebab tunggal dan penanganannya membutuhkan pendekatan multidisiplin.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan usia korban, filisida dibedakan menjadi neonatisida dan infantisida. Neonatisida adalah pembunuhan bayi baru lahir dalam 24 jam pertama kehidupannya. Biasanya terkait dengan kehamilan yang tidak diinginkan, kesulitan ekonomi, atau masalah kesehatan mental ibu pasca melahirkan (depresi postpartum).Infantisida merupakan pembunuhan anak di bawah usia satu tahun. Istilah ini sering digunakan secara umum untuk pembunuhan bayi, tetapi dalam konteks tipologi yang lebih spesifik, dibedakan dari neonatisida. Filisida dalam arti luas adalah istilah umum untuk pembunuhan anak oleh orang tua, mencakup semua usia anak. Dalam beberapa konteks, filisida digunakan untuk merujuk pada pembunuhan anak yang lebih tua, setelah melewati usia bayi.
Phillip Resnick mengklasifikasikan filisida berdasarkan motif pelaku, yaitu altruistic filicide, filicide-suicide, filicide to relieve or prevent suffering, acute psychotic filicide, unwanted child filicide, child maltreatment filicide, dan spousal revenge filicide. Altruistic filicide adalah pembunuhan anak dengan motif "altruistik" atau demi "kebaikan" anak. Kategori ini terbagi menjadi filicide-suicide dan filicide to relieve or prevent suffering. Filicide-suicide adalah Pembunuhan anak yang diikuti dengan bunuh diri orang tua. Motifnya bisa berupa keyakinan bahwa dunia ini jahat dan anak akan lebih baik mati daripada hidup menderita, atau karena orang tua merasa tidak mampu lagi merawat anak. Filicide to relieve or prevent suffering adalah pembunuhan anak untuk mencegah penderitaan yang nyata atau yang dibayangkan. Misalnya, membunuh anak yang sakit parah untuk mengakhiri penderitaannya, atau membunuh anak karena takut mereka akan menderita di masa depan.
ADVERTISEMENT
Acute psychotic filicide adalah pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tua yang mengalami psikosis akut atau gangguan mental berat. Pelaku mengalami halusinasi, delusi, atau gangguan realitas yang parah, sehingga tidak menyadari sepenuhnya tindakan mereka. Unwanted child filicide adalah pembunuhan anak karena anak tersebut tidak diinginkan. Biasanya disebabkan oleh faktor tekanan finansial, kehamilan di luar nikah, atau penolakan dari pasangan. Child maltreatment filicide adalah pembunuhan anak yang terjadi sebagai akibat dari penganiayaan atau kekerasan yang berlebihan. Anak meninggal karena luka-luka yang diderita akibat kekerasan fisik yang berulang. Spousal revenge filicide adalah pembunuhan anak sebagai bentuk balas dendam terhadap pasangan. Pelaku menggunakan anak sebagai alat untuk menyakiti atau membalas dendam pada pasangannya.
ADVERTISEMENT
Motif dan faktor penyebab filisida biasanya merupakan kombinasi dari faktor psikologis, sosial, ekonomi, dan situasional berkontribusi terhadap terjadinya tindakan filisida. Gangguan mental pada orang tua, seperti depresi postpartum (khususnya pada ibu), psikosis, gangguan bipolar, gangguan kepribadian antisosial, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD), dapat meningkatkan risiko filisida. Depresi postpartum dapat menyebabkan perasaan putus asa, tidak berdaya, dan bahkan kebencian terhadap bayi. Psikosis dapat menyebabkan halusinasi dan delusi yang memerintahkan atau mendorong orang tua untuk membunuh anak mereka. Orang tua yang pernah mengalami kekerasan atau pelecehan di masa kecil lebih mungkin untuk melakukan kekerasan terhadap anak mereka, termasuk filisida.
Lingkungan rumah tangga yang penuh kekerasan dan konflik, baik antara pasangan maupun antara orang tua dan anak, merupakan faktor risiko yang signifikan untuk filisida. Anak dapat menjadi korban langsung kekerasan atau menjadi sasaran kemarahan dan frustrasi orang tua. Tekanan ekonomi yang berat, pengangguran, dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar dapat menciptakan stres dan frustrasi yang besar pada orang tua, yang dapat meningkatkan risiko filisida.
ADVERTISEMENT
Pengaturan mengenai filisida di Indonesia tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, terutama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Perlindungan Anak, meliputi Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penting untuk dicatat bahwa KUHP tidak secara eksplisit menggunakan istilah "filisida," tetapi mengatur perbuatan pembunuhan secara umum, yang mencakup pula pembunuhan anak oleh orang tua.
UU Perlindungan Anak memberikan penekanan pada perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh orang tua. Meskipun tidak secara eksplisit menyebut "filisida", beberapa pasalnya relevan. Pasal 76C UU Perlindungan Anak melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Kekerasan yang dimaksud dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Pasal 80 ayat (3) dan (4) UU Perlindungan Anak mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan luka berat atau kematian. Jika pelaku adalah orang tua, ancaman pidananya dapat ditambah sepertiga, sesuai dengan Pasal 80 ayat (4) UU Perlindungan Anak.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan definisi eksplisit "filisida" dalam peraturan perundang-undangan Indonesia menyebabkan interpretasi yang beragam di kalangan penegak hukum. Hal ini menyulitkan identifikasi kasus dan penerapan pasal yang tepat. Membuktikan motif pelaku dalam kasus filisida seringkali sulit, terutama jika pelaku mengalami gangguan mental. Pembuktian unsur kesengajaan atau perencanaan dalam tindak pidana pembunuhan juga menjadi tantangan tersendiri. Penerapan pasal-pasal dalam KUHP (misalnya Pasal 338, 340, 341, 342) dan UU Perlindungan Anak (Pasal 76C dan 80) dapat menimbulkan perbedaan interpretasi di kalangan penegak hukum. Aparat penegak hukum, termasuk penyidik, jaksa, dan hakim, belum memiliki pemahaman yang memadai tentang filisida, termasuk tipologi, motif, dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
Sebagai bahan perbandingan, Inggris memiliki undang-undang khusus tentang infanticide, yaitu Infanticide Act 1938. Undang-undang ini awalnya ditujukan untuk kasus pembunuhan bayi di bawah usia 12 bulan oleh ibu yang mengalami gangguan keseimbangan mental akibat efek melahirkan atau laktasi. Undang-undang ini mengurangi dakwaan dari pembunuhan menjadi infanticide, yang membawa hukuman lebih ringan. Selain Infanticide Act 1938, Inggris juga menerapkan Homicide Act 1957 dan Coroners and Justice Act 2009. Homicide Act 1957 merupakan undang-undang yang mengatur pembunuhan secara umum, termasuk filisida yang tidak termasuk dalam Infanticide Act. Coroners and Justice Act 2009 memperkenalkan konsep loss of control sebagai pembelaan parsial untuk pembunuhan, yang dapat relevan dalam beberapa kasus filisida di mana pelaku kehilangan kendali diri karena keadaan tertentu. Pendekatan Inggris menekankan pada kondisi mental ibu pasca melahirkan dan memberikan keringanan hukuman dalam kasus infanticide.
ADVERTISEMENT
Regulasi terkait filisida di Indonesia, meskipun telah diatur dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak, masih belum optimal dalam memberikan landasan hukum yang komprehensif. Ketiadaan definisi eksplisit mengenai filisida, kompleksitas pembuktian motif, dan potensi tumpang tindih antar pasal menjadi tantangan dalam penegakan hukum. Implikasinya, penanganan kasus filisida seringkali menghadapi kendala dalam proses investigasi, penuntutan, dan penjatuhan hukuman yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan revisi dan penguatan regulasi, termasuk mempertimbangkan definisi eksplisit filisida dan memperjelas koordinasi antar lembaga, guna menjamin keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/sejajarkan-jari-jari-telunjuk-tangan-71282/