Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
TBC Mengintai, Regulasi Tertinggal
30 Desember 2024 9:34 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“TBC masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Regulasi yang ada, meskipun telah mengalami beberapa perbaikan, masih belum cukup efektif untuk menanggulangi kompleksitas permasalahan TBC.”
ADVERTISEMENT
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini umumnya menyerang paru-paru dan dapat juga memengaruhi organ lain seperti kelenjar getah bening, tulang, otak, dan ginjal. TBC menyebar melalui udara. TBC merupakan masalah kesehatan global. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TBC merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit menular di dunia. Jutaan orang terinfeksi TBC setiap tahunnya dan sebagian besar kasus TBC terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah serta menengah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TBC tertinggi di dunia. Indonesia menempati urutan ke-2 di dunia dengan kasus TBC terbanyak setelah India.
Menurut laporan WHO Global Tuberculosis Report 2022 dan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), insidensi TBC di Indonesia pada tahun 2021 diperkirakan sebesar 354 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 301 per 100.000 penduduk. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh gangguan layanan kesehatan akibat pandemi COVID-19 yang berdampak pada deteksi kasus TBC. Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis Tahun 2022 yang diterbitkan oleh TB Indonesia juga mencatat adanya peningkatan insiden TBC dari 819.000 kasus pada tahun 2020 menjadi 969.000 kasus pada tahun 2021. Data prevalensi TBC lebih sulit didapatkan dibandingkan data insidensi. Namun, berdasarkan estimasi WHO, Indonesia memiliki prevalensi TBC yang tinggi. WHO memperkirakan angka kematian akibat TBC di Indonesia pada tahun 2021 adalah 52 per 100.000 penduduk, dengan total kematian sekitar 144.000 jiwa (tidak termasuk kematian akibat TB/HIV). Angka ini juga menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Laporan Program Penanggulangan Tuberkulosis Tahun 2021 mencatat peningkatan angka kematian TBC sebesar 55% untuk data absolut, dari 93.000 kematian pada tahun 2020 menjadi lebih tinggi pada tahun 2021. TBC tersebar di seluruh wilayah Indonesia, tetapi terdapat beberapa daerah dengan beban TBC yang lebih tinggi. Faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, kemiskinan, akses layanan kesehatan, dan kondisi lingkungan berkontribusi terhadap perbedaan sebaran ini.
ADVERTISEMENT
Stigma negatif yang melekat pada TBC seringkali membuat penderita enggan memeriksakan diri atau melanjutkan pengobatan. Mereka takut dikucilkan oleh keluarga, teman, dan masyarakat. Hal ini menyebabkan penularan terus berlanjut dan sulit untuk mendeteksi kasus secara dini. Tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah tentang TBC, cara penularan, gejala, dan pentingnya pengobatan yang tuntas, berkontribusi pada penyebaran penyakit. Banyak yang masih percaya mitos yang salah tentang TBC, seperti penyakit kutukan atau keturunan.
Kemiskinan merupakan faktor risiko utama TBC. Orang dengan kondisi ekonomi yang sulit seringkali tinggal di lingkungan yang padat dan kumuh, dengan sanitasi yang buruk dan ventilasi yang kurang memadai. Mereka juga kekurangan gizi, yang melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko terinfeksi TBC. Akses yang sulit dan biaya pengobatan yang mahal dapat menghambat orang untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan TBC secara tepat waktu. Hal ini terutama menjadi masalah bagi masyarakat di daerah terpencil dan kurang mampu. Pekerjaan dengan kondisi lingkungan yang buruk, seperti pertambangan, konstruksi, atau pabrik dengan ventilasi yang buruk dan debu yang tinggi, dapat meningkatkan risiko terkena TBC.
ADVERTISEMENT
Tinggal di lingkungan yang padat penduduk meningkatkan risiko penularan TBC karena jarak antar individu yang dekat dan sirkulasi udara yang buruk. Sanitasi yang buruk, seperti kurangnya akses ke air bersih dan fasilitas sanitasi yang layak, dapat memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular, termasuk TBC. Rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang kurang memadai menciptakan lingkungan yang ideal bagi bakteri TBC untuk bertahan hidup. Sinar matahari dapat membunuh bakteri TBC, sehingga rumah yang gelap dan lembap lebih berisiko. Polusi udara, baik di dalam maupun di luar ruangan, dapat merusak paru-paru dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi TBC.
TBC dapat menyebabkan berbagai gejala, seperti batuk kronis (kadang disertai dahak berdarah), demam, keringat malam, penurunan berat badan, kelelahan, dan nyeri dada. Jika tidak diobati, TBC menyebabkan kerusakan paru-paru yang permanen dan komplikasi serius, seperti efusi pleura (penumpukan cairan di sekitar paru-paru), pneumotoraks (kolaps paru-paru), dan meningitis TBC (infeksi selaput otak). Gejala TBC dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, bersekolah, dan berinteraksi sosial. Hal ini dapat menurunkan kualitas hidup individu secara signifikan. Jika tidak diobati dengan benar, TBC dapat berakibat fatal.
ADVERTISEMENT
Meskipun UU No. 17/2023 tidak secara spesifik membahas TBC dalam pasal tersendiri, beberapa pasal di dalamnya memberikan kerangka hukum untuk upaya penanggulangan TBC. Hak atas kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 relevan dengan penanggulangan TBC karena menjamin akses masyarakat terhadap diagnosis, pengobatan, dan perawatan TBC yang berkualitas tanpa diskriminasi. Kewajiban pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5, mencakup penyediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, obat-obatan, dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk penanggulangan TBC, termasuk program-program pencegahan, deteksi dini, pengobatan, dan rehabilitasi. Upaya kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 mencakup seluruh aspek, mulai dari pencegahan penularan, deteksi dini dan pengobatan yang tuntas, hingga rehabilitasi bagi pasien yang mengalami dampak jangka panjang. Penyakit menular sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25, memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk melaksanakan program penanggulangan TBC secara terkoordinasi dan berkelanjutan. Sistem kesehatan nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 172-198 mengamanahkan bahwa penanggulangan TBC harus diintegrasikan ke dalam sistem ini agar berjalan efektif dan efisien. Meskipun tidak secara eksplisit membahas TBC dalam pasal tersendiri, UU No. 17 Tahun 2023 memberikan landasan hukum yang kuat bagi upaya penanggulangan TBC di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis merupakan tonggak penting dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia. Perpres ini mengatur secara komprehensif berbagai aspek penanggulangan TBC, antara lain adalah strategi nasional penanggulangan TBC, peran dan tanggung jawab lintas sektor, pendanaan, pencegahan dan pengendalian, penelitian dan pengembangan, dan kerjasama internasional. Perpres ini menetapkan arah dan strategi nasional dalam penanggulangan TBC, yang selaras dengan strategi global End TB Strategy.
Dengan adanya UU No. 17 Tahun 2023 dan Perpres No. 67 Tahun 2021, Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat dan komprehensif untuk penanggulangan TBC. UU Kesehatan memberikan kerangka umum, sementara Perpres 67/2021 memberikan arahan yang lebih spesifik dan terkoordinasi. Perpres 67/2021 secara eksplisit mengatur peran dan tanggung jawab berbagai kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penanggulangan TBC. Hal ini penting untuk memastikan koordinasi dan sinergi antar sektor dalam upaya penanggulangan. Regulasi menekankan pentingnya pencegahan penularan TBC, deteksi dini, diagnosis, pengobatan, dan perawatan pasien TBC. Hal ini mencakup berbagai aspek penanggulangan, dari promosi kesehatan hingga rehabilitasi. Perpres 67/2021 mengamanatkan alokasi anggaran yang memadai untuk penanggulangan TBC. Hal ini penting untuk memastikan keberlangsungan program dan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan. Regulasi mendorong penelitian dan pengembangan di bidang TBC untuk menghasilkan inovasi dalam diagnosis, pengobatan, dan pencegahan.
ADVERTISEMENT
Meskipun regulasi sudah cukup komprehensif, implementasi dan penegakan hukum di lapangan masih menjadi tantangan. Koordinasi antar sektor secara efektif, alokasi anggaran yang tepat sasaran, dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk memastikan regulasi dijalankan dengan baik. Perlu ada panduan yang jelas bagi SDM Kesehatan, masyarakat, dan penegak hukum tentang bagaimana mengatasi stigma dan diskriminasi. Perlu ada pemberdayaan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam program-program penanggulangan TBC. Meskipun Perpres 67/2021 mengamanatkan alokasi anggaran, harus ada mekanisme yang lebih kuat untuk memastikan pembiayaan yang berkelanjutan dan memadai untuk program penanggulangan TBC, terutama di tingkat daerah. Harus juga ada transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran. Regulasi perlu lebih menekankan pada upaya pemerataan akses layanan kesehatan TBC, terutama di daerah terpencil, sulit dijangkau, dan daerah dengan populasi rentan. Seharusnya, ada strategi khusus untuk menjangkau kelompok-kelompok ini. Penguatan sistem informasi dan surveilans TBC yang terintegrasi dan akurat merupakan keharusan untuk memantau epidemiologi TBC, efektivitas program, dan mendeteksi dini kejadian luar biasa. Harmonisasi antar regulasi terkait kesehatan dan penanggulangan penyakit menular harus dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih atau inkonsistensi.
ADVERTISEMENT
India telah berhasil meningkatkan deteksi dini TBC melalui pemanfaatan teknologi diagnostik baru seperti CB-NAAT secara luas. Indonesia dapat belajar dari pengalaman India dalam menerapkan teknologi ini di fasilitas kesehatannya. India juga telah melibatkan sektor swasta secara aktif dalam penanggulangan TBC yang dapat menjadi model bagi Indonesia untuk memperkuat kerjasama dengan sektor swasta.
Afrika Selatan memiliki pengalaman yang luas dalam menangani MDR-TB dan TB-HIV. Indonesia dapat belajar dari strategi dan program mereka dalam menghadapi tantangan ini. Program skrining massal yang diterapkan di Afrika Selatan dapat dipertimbangkan untuk diadaptasi di Indonesia, terutama di daerah dengan beban TBC yang tinggi.
Investasi yang besar dan berkelanjutan dalam penanggulangan TBC merupakan faktor kunci keberhasilan Australia. Indonesia perlu memastikan alokasi anggaran yang memadai dan mekanisme pembiayaan yang efisien. Australia menekankan pencegahan TBC melalui TPT dan pengendalian infeksi. Indonesia dapat memperkuat program pencegahan untuk mengurangi angka kejadian TBC baru. Koordinasi yang kuat antar sektor di Australia merupakan contoh yang baik bagi Indonesia untuk meningkatkan sinergi antar instansi. Pendekatan yang berpusat pada pasien di Australia, dengan dukungan komprehensif dan pemantauan ketat, dapat diadopsi untuk meningkatkan keberhasilan pengobatan di Indonesia.
ADVERTISEMENT