Konten dari Pengguna

Undang-Undang Kesehatan dan Marwah Kode Etik Kedokteran Indonesia

wahyu andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
2 Maret 2024 14:59 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2023. Namun, hingga saat ini, berbagai polemik dan perdebatan terhadap substansinya masih terus berlangsung. Salah satu materi atau pengaturan dalam Undang-Undang Kesehatan yang menjadi perdebatan adalah pengaturan mengenai organisasi profesi. Di dalam Undang-Undang Kesehatan, hanya terdapat sebuah pasal yang mengatur mengenai organisasi profesi, yaitu Pasal 311 Undang-Undang Kesehatan yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
(1) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat membentuk organisasi profesi.
(2) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal tersebut dipergunakan kata “dapat.” Penggunaan kata “dapat”, dalam implementasinya menimbulkan berbagai isu:
1. Dimungkinkan terdapat lebih dari 1 (satu) organisasi profesi untuk setiap jenis tenaga medis dan tenaga kesehatan (bersifat multi bar). Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, di mana organisasi profesi bagi tiap jenis tenaga medis dan tenaga kesehatan adalah tunggal (bersifat single bar), misalnya: IDI untuk dokter, PDGI untuk dokter gigi, PPNI untuk perawat, IAI untuk apoteker, IBI untuk bidan, dsb;
2. Dimungkinkan terdapat lebih dari 1 (satu) kode etik yang berlaku bagi tiap jenis tenaga medis dan tenaga kesehatan apabila organisasi profesi bersifat multi bar dan berpotensi terjadinya tumpang tindih kode etik;
ADVERTISEMENT
3. Dimungkinkan terdapat lebih dari 1 (satu) lembaga yang berwenang untuk menegakkan kode etik apabila organisasi profesi bersifat multi bar dan berpotensi terjadinya tumpang tindih dalam penegakan kode etik.
Isu tersebut semakin dipertajam dengan ketidakjelasan mengenai apakah yang dimaksud dengan organisasi profesi karena hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai definisi dari organisasi profesi dalam bidang kesehatan. Mempertimbangkan keterbatasan ruang dalam pembahasan berbagai isu tersebut maka dalam hal ini penulis hanya akan menitikberatkan pada pembahasan terhadap isu kedua dan ketiga. Penulis juga hanya akan berfokus untuk membahas mengenai dokter (tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi, baik umum, spesialis, maupun subspesialis).
Penulis mengambil sikap dan pendirian bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lembaga yang berwenang untuk menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia haruslah tunggal. Hal ini dikarenakan Kode Etik Kedokteran Indonesia merupakan inti dari profesionalitas dokter sehingga harus ada standar tunggal yang disepakati bersama mengenai parameter atau ukuran atau standar terhadap profesionalitas dokter. Kode Etik Kedokteran Indonesia merupakan ruh atau nyawa dari keluhuran profesi dokter. Begitu pentingnya kedudukan Kode Etik Kedokteran Indonesia ini, sehingga pada berbagai kesempatan, penulis selalu menekankan kepada dokter agar menjunjung tinggi Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam mengemban profesinya.
ADVERTISEMENT
Pada berbagai kesempatan, penulis seringkali mendapatkan pertanyaan dari dokter, khususnya mengenai sengketa medis dan cara yang efektif agar dokter terhindar dari sengketa medis. Menurut penulis, agar dokter terhindar dari sengketa medis, harus diwujudkan profesionalitas dokter dalam mengemban profesinya. Pondasi dalam mewujudkan profesionalitas tersebut adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Artinya, Kode Etik Kedokteran Indonesia secara konsisten harus dipahami, diterapkan dan ditegakkan oleh dokter.
Jawaban yang disampaikan oleh penulis ini, seringkali mengejutkan dokter. Hal ini karena penulis sama sekali tidak mempunyai latar belakang ilmu kedokteran, tetapi murni berlatar belakang ilmu hukum. Namun, dalam hal ini, justru penulis selalu menekankan pentingnya pemahaman dan penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia secara komprehensif serta penegakan Kode Etik Kedokteran Indonesia secara tegas dan konsisten. Hal yang mendasari penulis menyampaikan jawaban seperti ini adalah mempertimbangkan substansi dan sifat serta ruang lingkup dari Kode Etik Kedokteran Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari substansinya, Kode Etik Kedokteran Indonesia memiliki substansi yang komprehensif untuk mewujudkan profesionalitas dokter. Seluruh substansinya bersifat kewajiban, tidak hanya kewajiban yang bersifat eksternal dalam hubungannya dokter dengan pihak atau orang lain, tetapi juga kewajiban yang bersifat internal, yaitu dalam hubungannya dokter dengan diri sendiri. Artinya, Kode Etik Kedokteran Indonesia menekankan kewajiban dokter dalam berbagai dimensinya, baik internal maupun eksternal, untuk mewujudkan bangunan yang kokoh dalam bentuk profesionalitas dokter. Substansi Kode Etik Kedokteran Indonesia meliputi Kewajiban Umum (diterjemahkan dalam 13 Pasal beserta penjelasannya), Kewajiban Dokter Terhadap Pasien (diterjemahkan dalam 4 Pasal beserta penjelasannya), Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat (diterjemahkan dalam 2 Pasal beserta penjelasannya), dan Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri (diterjemahkan dalam 2 Pasal beserta penjelasannya).
ADVERTISEMENT
Kewajiban Umum, di antaranya meliputi: kewajiban dokter untuk mengamalkan sumpah dan atau janji dokter (Pasal 1 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk menjaga independensinya dan menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri dalam mengemban profesinya (Pasal 2, 3, dan 4 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian dan jujur dalam mengemban profesinya (Pasal 6, 7, dan 9 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk menghormati hak-hak pasien, teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (Pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk melindungi hidup makhluk insani (Pasal 11 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk memperhatikan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam memberikan pelayanan kesehatan (Pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesia). Kewajiban Dokter Terhadap Pasien, di antaranya meliputi: kewajiban dokter untuk merujuk ketika tidak mampu dalam melakukan pengobatan atau pemeriksaan (Pasal 14 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran (di antaranya meliputi segala sesuatu yang diketahui oleh dokter pada saat melakukan pemeriksaan dan segala sesuatu yang secara sadar maupun tidak disadari disampaikan oleh pasien kepada dokter) (Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk melakukan pertolongan darurat (Pasal 17 Kode Etik Kedokteran Indonesia). Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat, di antaranya meliputi: kewajiban dokter memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (Pasal 18 Kode Etik Kedokteran Indonesia); larangan bagi dokter untuk mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis (Pasal 19 Kode Etik Kedokteran Indonesia). Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri, di antaranya meliputi: kewajiban dokter untuk memelihara kesehatannya (Pasal 20 Kode Etik Kedokteran Indonesia); kewajiban dokter untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan (Pasal 21 Kode Etik Kedokteran Indonesia).
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari sifatnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dapat dideskripsikan sebagai seperangkat peraturan yang mempunyai sifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini berbeda dengan ketentuan hukum yang lebih menitikberatkan pada aspek kuratif (misalnya adanya kelalaian yang menyebabkan kerugian/adanya hubungan kausa antara kelalaian dan kerugian yang timbul untuk aspek hukum perdata dan adanya kelalaian yang menimbulkan luka berat atau meninggal dunia untuk aspek hukum pidana). Sebelum terjadi sengketa medis atau permasalahan dalam hubungan antara dokter dengan pasien, sebenarnya Kode Etik Kedokteran telah memberikan pengaturan yang bersifat promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya sengketa medis atau permasalahan tersebut.
Ketentuan di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mengandung makna promotif, di antaranya adalah:
ADVERTISEMENT
1. Kewajiban dokter untuk selalu memelihara kesehatannya (Pasal 20 Kode Etik Kedokteran Indonesia)
Kewajiban dokter untuk selalu memelihara kesehatannya bertujuan agar dokter dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan baik kepada masyarakat. Dokter yang mempunyai kondisi fisik dan psikhis yang sehat, diharapkan dapat memberikan pelayanan yang prima kepada pasien. Salah satu aspek pelayanan prima adalah pelayanan kesehatan yang selalu mengutamakan ketelitian dan kehati-hatian (zorgvuldig handelen) sebagaimana disampaikan oleh Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie." Selain itu, dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dalam kondisi fisik dan psikhis yang sehat, diharapkan dapat menjadi panutan bagi pasien dan masyarakat serta dapat mencegah bahaya dan penularan penyakit bagi pasiennya.
ADVERTISEMENT
2. Kewajiban dokter untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 21 Kode Etik Kedokteran Indonesia)
Perkembangan permasalahan dalam bidang kesehatan dan penyakit sangat dinamis. Hal ini menuntut dokter agar senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuannya adalah untuk meminimalisir terjadinya sengketa medis yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan (lack of skill) dari dokter.
3. Kewajiban dokter untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri (Pasal 4 Kode Etik Kedokteran Indonesia)
Pada dasarnya, pelayanan kesehatan bersifat inspanningsverbintennis dan bukan merupakan resultaatsverbintennis. Seorang dokter yang melakukan perbuatan bersifat memuji diri sendiri (misalnya: mengiklankan diri, mengiklankan kemampuan/kelebihan yang dimiliki), berpotensi untuk mengubah paradigma atau hakekat dari pelayanan kesehatan yang seharusnya bersifat inspanningsverbintennis menjadi resultaatsverbintennis. Selanjutnya, hal ini berpotensi untuk menimbulkan gugatan secara perdata dari pasien yang merasa telah dijanjikan keberhasilan atas hasil tindakan medisnya oleh dokter.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, ketentuan di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mengandung makna preventif, di antaranya adalah:
1. Kewajiban dokter untuk bekerja secara independen dan profesional dalam ukuran yang tertinggi (Pasal 2 Kode Etik Kedokteran Indonesia)
Artinya, dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter harus senantiasa melakukan tindakannya sesuai dengan ukuran medis yang tertinggi. Ukuran medis ini adalah berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis. Kode Etik Kedokteran Indonesia mengatur suatu hal yang sifatnya ideal, standar tertinggi. Hal ini berbeda dengan hukum yang hanya mewajibkan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis sekurang-kurangnya berdasarkan kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie) sebagaimana disampaikan oleh Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul "Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie."
ADVERTISEMENT
2. Kewajiban dokter untuk menghormati hak-hak pasien (Pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indonesia)
Salah satu hak pasien yang beberapa kali dilupakan oleh dokter adalah hak atas informasi. Mayoritas sengketa medis terjadi karena hak pasien atas informasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, di antaranya disebabkan karena: dokter enggan atau tidak memberikan penjelasan; dokter memberikan penjelasan dengan “bahasa” yang tidak dimengerti dan dipahami oleh pasien; dokter minim dalam memberikan penjelasan. Hak pasien atas informasi merupakan pondasi dalam pelayanan kesehatan. Hal ini biasanya disebut sebagai informed consent (persetujuan tindakan medis yang diberikan oleh pasien atas dasar informasi yang diberikan oleh dokter).
Ketentuan di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dapat mengandung makna kuratif dan rehabilitatif bagi dokter. Kuratif tercermin dari sanksi yang diberikan kepada dokter apabila terbukti telah melakukan pelanggaran etika. Sanksi bagi dokter yang terbukti telah melakukan pelanggaran Kode Etik Kedokteran Indonesia dapat bersifat: murni Pembinaan; Penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan; Penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan; pemberhentian keanggotaan tetap (Pasal 29 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia). Sedangkan rehabilitatif, wujudnya adalah pemulihan hak-hak profesi bagi dokter yang tidak terbukti melakukan pelanggaran etika atau bagi dokter yang telah selesai menjalani sanksi etika (Pasal 31 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia).
ADVERTISEMENT
Ditinjau dari ruang lingkup pengaturannya, Kode Etik Kedokteran Indonesia mempunyai ruang lingkup pengaturan yang sangat luas, melampaui ketentuan hukum. Kode Etik Kedokteran Indonesia mengatur pelanggaran etik murni (tidak berimplikasi hukum) dan pelanggaran etik yang berimplikasi hukum. Pelanggaran etik murni, misalnya adalah larangan bagi dokter untuk mengiklankan diri dan kemampuan/kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (Pasal 4 (2) (3) Kode Etik Kedokteran Indonesia); larangan bagi dokter membuat papan nama dengan ukuran dan ketentuan yang tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (Pasal 4 (4) (a) Kode Etik Kedokteran Indonesia); larangan bagi dokter untuk mengambil alih pasien dari teman sejawat, tanpa persetujuan teman sejawat dan tidak berdasarkan prosedur yang etis (Pasal 19 Kode Etik Kedokteran Indonesia); larangan bagi dokter berpraktik dalam kondisi kesehatan yang tidak prima (Pasal 20 (7) Kode Etik Kedokteran Indonesia). Sedangkan pelanggaran etik yang berimplikasi hukum, misalnya adalah: dokter yang mempublikasikan rahasia tentang kondisi kesehatan pasien tanpa adanya alasan pembenar (Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia); dokter yang melakukan abortus (Pasal 11 (2) Kode Etik Kedokteran Indonesia), dokter yang melakukan euthanasia (Pasal 11 (2) Kode Etik Kedokteran Indonesia).
ADVERTISEMENT
Harapan penulis, semoga Undang-Undang Kesehatan dapat menjaga marwah dari Kode Etik Kedokteran Indonesia dan penegakannya karena ruh atau nyawa dari profesionalitas dokter adalah terletak pada penghormatannya terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Sumber: https://pixabay.com/id/photos/search/dokter/