news-card-video
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Undang-Undang Kesehatan Sebagai Senjata Utama di Hari TBC Sedunia

wahyu andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
23 Maret 2025 11:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data WHO di tahun 2020, delapan negara menyumbang dua pertiga dari total kasus TBC baru, yaitu India, Tiongkok, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Data tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 7,5 juta orang baru didiagnosis dengan TBC secara global dan TBC menyebabkan sekitar 1,30 juta kematian di seluruh dunia. Tanpa pengobatan, angka kematian akibat TBC akan tinggi, yaitu mencapai sekitar 50%.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari hellosehat.com, pada tahun 2023, diperkirakan sekitar 1.060.000 kasus TBC ditemukan di Indonesia. Angka kematian akibat TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 134.000 jiwa pada tahun 2023. Ini berarti sekitar 17 orang meninggal setiap jam akibat TBC. Laporan tahun 2022 menyebutkan insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk.
TBC menyebabkan berbagai gejala fisik yang melemahkan, seperti batuk kronis (kadang disertai dahak berdarah), demam, keringat malam, penurunan berat badan, dan kelelahan. Jika tidak diobati atau tidak diobati dengan benar, TBC dapat menyebabkan komplikasi serius dan permanen pada paru-paru dan organ tubuh lainnya, bahkan berujung pada kematian. Gejala fisik yang berkepanjangan secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderita, membatasi aktivitas sehari-hari, dan mengurangi kemampuan untuk menikmati hidup.
ADVERTISEMENT
Diagnosis TBC dan proses pengobatan yang panjang menimbulkan efek samping dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Penderita TBC merasa terisolasi karena stigma dan ketakutan akan menularkan penyakit kepada orang lain. Stigma masyarakat terhadap TBC dapat membuat penderita merasa malu dan rendah diri. Penderita TBC menghadapi stigma dan diskriminasi di masyarakat, tempat kerja, bahkan dalam keluarga. Hal ini dapat menghambat akses mereka ke dukungan sosial, pekerjaan, dan pendidikan. Karena kondisi fisik yang lemah dan potensi penularan, penderita TBC harus membatasi interaksi sosial dan aktivitas yang biasa mereka lakukan.
Ketidakmampuan untuk bekerja karena sakit dapat menyebabkan kehilangan pendapatan bagi penderita dan keluarganya. Meskipun pengobatan TBC di Indonesia umumnya ditanggung oleh pemerintah, penderita dan keluarga masih harus mengeluarkan biaya untuk transportasi, makanan tambahan, atau kebutuhan lainnya. Riwayat penyakit TBC dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan.
ADVERTISEMENT
TBC yang tidak diobati akan terus merusak paru-paru dan organ tubuh lainnya. Gejala seperti batuk parah, nyeri dada, sesak napas, dan kelelahan akan semakin memburuk. Kualitas hidup penderita akan menurun drastis akibat gejala yang semakin parah dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. TBC adalah penyakit yang berpotensi mematikan jika tidak diobati dengan benar. Tanpa pengobatan, angka kematian akibat TBC sangat tinggi. Penderita TBC yang tidak diobati akan tetap menular dalam jangka waktu yang lama, menyebarkan bakteri TBC ke orang-orang di sekitarnya melalui udara saat batuk, bersin, atau berbicara. Pengobatan TBC yang tidak tuntas atau tidak teratur dapat menyebabkan bakteri TBC menjadi resisten terhadap obat-obatan yang biasa digunakan. TBC resisten obat (MDR-TB atau XDR-TB) jauh lebih sulit dan mahal untuk diobati, serta memiliki tingkat keberhasilan pengobatan yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Jika banyak individu yang tidak diobati, TBC akan menyebar dengan cepat di dalam komunitas, menyebabkan peningkatan jumlah kasus baru. Hal ini akan menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang serius. Peningkatan jumlah kasus TBC akan membebani fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan sumber daya yang tersedia. Sistem kesehatan akan kesulitan untuk memberikan perawatan yang memadai kepada semua pasien. Banyaknya orang yang sakit TBC akan menyebabkan penurunan produktivitas kerja di komunitas tersebut, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada perekonomian lokal. Ketika TBC merajalela, stigma terhadap penyakit ini dapat meningkat, menyebabkan diskriminasi terhadap penderita dan orang-orang yang terkait dengan mereka. Hal ini dapat menghambat upaya pencegahan dan pengobatan. Anak-anak, orang dengan HIV/AIDS, dan orang dengan kondisi kesehatan lain yang melemahkan sistem kekebalan tubuh akan menjadi lebih rentan terhadap infeksi TBC jika penyakit ini tidak terkendali.
ADVERTISEMENT
Hari TBC Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 24 Maret. Tanggal ini dipilih untuk memperingati hari ketika Dr. Robert Koch mengumumkan penemuan bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberculosis, pada tahun 1882. Penemuan ini merupakan langkah revolusioner dalam memahami dan akhirnya memerangi penyakit yang saat itu menjadi salah satu penyebab utama kematian. Tema peringatan Hari TBC Sedunia tahun 2025 adalah "Yes! We can end TB!" Tema ini merupakan kelanjutan dan penguatan dari tema tahun 2023 dan 2024, yang menekankan optimisme dan urgensi dalam mengakhiri epidemi TBC. Tema ini bertujuan untuk memberikan harapan dan memotivasi semua pihak untuk terus bekerja sama dan berinovasi dalam upaya mencapai target eliminasi TBC.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan merupakan landasan hukum yang komprehensif untuk sektor kesehatan di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan beberapa undang-undang kesehatan sebelumnya dan bertujuan untuk melakukan reformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Beberapa poin penting dalam UU No. 17/2023, relevan dengan pengendalian TBC.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan memberikan payung hukum yang lebih tinggi dan luas untuk pengendalian TBC sebagai bagian dari upaya kesehatan masyarakat dan pengendalian penyakit menular. Hal ini memberikan legitimasi dan prioritas yang lebih besar dibandingkan dengan peraturan di tingkat menteri. UU ini membuka peluang untuk penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang lebih spesifik dan rinci mengenai berbagai aspek pengendalian TBC, mulai dari surveilans, pencegahan, diagnosis, pengobatan, hingga eliminasi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menekankan upaya promotif dan preventif, yang relevan untuk pengendalian TBC melalui skrining aktif, peningkatan kesadaran masyarakat, dan intervensi pada faktor risiko. Peraturan turunan dapat lebih detail mengatur program pencegahan seperti pemberian profilaksis pada kontak erat, pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan dan komunitas, serta upaya mengatasi faktor sosial ekonomi. UU Kesehatan mendorong standarisasi pelayanan kesehatan, termasuk diagnosis dan pengobatan TBC. Hal ini berpotensi meningkatkan kualitas dan pemerataan layanan TBC di seluruh Indonesia. Peraturan turunan dapat memperkuat implementasi standar nasional untuk diagnosis, pengobatan (termasuk DOTS dan manajemen TBC resisten obat), serta pemantauan dan evaluasi program.
ADVERTISEMENT
UU Kesehatan memperjelas peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan kesehatan, termasuk pengendalian TBC. Hal ini dapat meningkatkan koordinasi dan efektivitas program di berbagai tingkatan administrasi. Peraturan turunan dapat mengatur mekanisme koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasilitas kesehatan, dan pihak terkait lainnya dalam upaya pengendalian TBC. UU Kesehatan mendorong peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam upaya kesehatan. Ini sangat penting untuk keberhasilan program pengendalian TBC di tingkat komunitas. Peraturan turunan dapat mengatur mekanisme untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pencegahan, deteksi dini, dukungan bagi pasien, dan mengatasi stigma TBC.
Meskipun demikian, kekuatan regulasi akan sia-sia jika tidak didukung oleh kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk implementasi dan penegakan di semua tingkatan (pusat, daerah, fasilitas kesehatan). Hal ini termasuk sumber daya manusia, anggaran, dan infrastruktur. Pengendalian TBC membutuhkan koordinasi yang kuat antar berbagai sektor (kesehatan, sosial, ekonomi, pendidikan, dll). Regulasi TBC harus bersifat adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru dalam diagnosis, pengobatan, dan pencegahan TBC. Proses penyusunan dan implementasi peraturan turunan yang terlalu birokratis dapat menghambat respons yang cepat dan efektif terhadap perubahan situasi epidemiologi TBC.
ADVERTISEMENT
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/batuk-pria-tinju-saya-akan-virus-6929295/