Konten dari Pengguna

Urgensi Pembenahan Regulasi Pasca Kasus Dokter PPDS PAP

wahyu andrianto
Konsultan Hukum Kesehatan, Anggota Aktif WAML, Counsel Beberapa Lawfirm, Wakil Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia.
13 April 2025 13:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) PAP menjadi perhatian publik karena dalam konteks pendidikan kedokteran dan pelayanan medis, seharusnya kepercayaan terhadap dokter adalah faktor yang paling utama. Dokter, dan terlebih lagi dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis, diharapkan memiliki standar etika dan moral yang tinggi. Profesi ini sangat dipercaya oleh masyarakat karena berkaitan langsung dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Tindakan pelecehan seksual oleh seorang calon dokter spesialis mencoreng citra profesi dan menimbulkan kekecewaan yang mendalam di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pelecehan seksual adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan dapat menyebabkan trauma mendalam bagi korban. Kasus pelecehan seksual mendapatkan perhatian besar dari publik karena adanya kesadaran tentang pentingnya untuk melindungi korban dan menindak pelaku. Ketika sebuah kasus pelecehan seksual terungkap, seringkali muncul korban-korban lain yang sebelumnya mungkin takut atau tidak berani untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. Hal ini dapat memperbesar skala kasus dan meningkatkan perhatian publik. Masyarakat menuntut agar pelaku pelecehan seksual diproses secara hukum dan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Kelemahan regulasi yang ada terkait mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, dan terpercaya bagi korban pelecehan seksual merupakan isu krusial yang memiliki dampak signifikan terhadap korban. Korban pelecehan seksual mengalami trauma, rasa malu, takut, dan kebingungan. Mekanisme pelaporan yang aman dan terpercaya dapat memberikan keberanian dan keyakinan bagi korban untuk menceritakan pengalaman mereka tanpa takut akan konsekuensi negatif. Tanpa mekanisme pelaporan yang efektif, pelaku pelecehan seksual dapat terus melakukan tindakan mereka tanpa terdeteksi dan dihukum. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak adil dan tidak aman. Seharusnya, lingkungan pendidikan kedokteran, khususnya PPDS menjadi tempat yang aman dan kondusif untuk belajar dan berkembang.
ADVERTISEMENT
Seringkali, tidak ada prosedur yang jelas dan mudah dipahami oleh korban pelecehan seksual mengenai bagaimana cara melaporkan kasus pelecehan seksual. Informasi mengenai ke mana harus melapor, kepada siapa, dan apa saja bukti yang dibutuhkan mungkin tidak tersedia atau sulit ditemukan. Korban mungkin merasa takut untuk melapor karena tidak yakin bahwa laporan mereka akan ditangani secara profesional dan privasi mereka akan dilindungi. Korban mungkin tidak percaya bahwa laporan mereka akan ditangani dengan serius, adil, dan efektif karena adanya riwayat penanganan kasus pelecehan seksual yang tidak memuaskan atau tidak transparan dalam penanganannya di institusi penegak hukum. Padahal, ketidakmauan atau ketidakmampuan korban untuk melapor dapat melanggengkan budaya diam di mana pelecehan seksual dianggap sebagai hal yang tabu atau tidak perlu dibicarakan. Oleh karena itu, pembenahan regulasi yang mencakup pembentukan mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, dan terpercaya merupakan langkah penting untuk melindungi para korban pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Kelemahan regulasi yang ada terkait pengawasan yang tidak efektif terhadap perilaku dan etika peserta PPDS dan staf pengajar merupakan masalah serius yang dapat berkontribusi pada terjadinya pelanggaran, termasuk pelecehan seksual. Tanpa evaluasi berkala yang terstruktur, perilaku dan etika peserta PPDS dan staf pengajar cenderung tidak terpantau secara proaktif. Institusi baru menyadari adanya masalah setelah insiden terjadi atau adanya laporan dari korban. Ketidakjelasan dalam proses pengawasan dapat mempersulit pertanggungjawaban individu atas perilaku dan etika mereka. Jika tidak ada kejelasan mengenai standar perilaku yang diharapkan dan konsekuensi dari pelanggaran, sulit untuk menegakkan akuntabilitas. Tanpa transparansi, ada risiko bahwa proses pengawasan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Proses pengawasan yang transparan dapat menjadi kesempatan untuk pembelajaran bagi seluruh komunitas PPDS.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kasus Dokter PPDS PAP, potensi atau realitas sanksi yang dianggap ringan atau tidak sesuai dengan beratnya pelanggaran pelecehan seksual dapat menimbulkan masalah serius. Jika sanksi yang diberikan hanya bersifat administratif (misalnya, surat peringatan, skorsing ringan, atau kewajiban mengikuti pelatihan etika) dan tidak mencerminkan dampak traumatis yang dialami korban, hal ini dapat diartikan sebagai meremehkan keseriusan tindakan pelecehan seksual. Masyarakat dan korban akan merasa bahwa keadilan tidak ditegakkan. Sanksi yang tidak tegas tidak memberikan efek jera yang signifikan bagi pelaku maupun calon pelaku lainnya. Jika pelaku merasa bahwa konsekuensi dari tindakan pelecehan seksual tidak terlalu berat, mereka tidak akan takut untuk melakukannya lagi di kemudian hari. Begitu pula, orang lain yang memiliki kecenderungan serupa tidak merasa terancam oleh hukuman yang ringan. Korban pelecehan seksual seringkali mengalami trauma psikologis yang mendalam dan berkepanjangan. Jika pelaku hanya mendapatkan sanksi administratif yang ringan, korban dapat merasa bahwa penderitaan mereka tidak diakui dan keadilan tidak berpihak pada mereka. Hal ini dapat memperburuk trauma dan menghambat proses pemulihan.
ADVERTISEMENT
Program PPDS adalah masa pendidikan yang intens, penuh tekanan, dan tuntutan. Individu dengan kondisi kesehatan mental yang tidak stabil atau memiliki riwayat masalah kesehatan mental yang tidak tertangani dengan baik, lebih rentan terhadap stres ekstrem dan berpotensi menunjukkan perilaku yang tidak profesional atau bahkan membahayakan, termasuk pelecehan. Dengan mengenali potensi risiko sejak awal, institusi dapat mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman dan kondusif bagi semua peserta, baik sesama residen, staf pengajar, maupun pasien. Program PPDS memiliki tingkat burnout dan masalah kesehatan mental yang tinggi. Seleksi yang mempertimbangkan kesehatan mental dapat membantu mengidentifikasi individu yang memerlukan dukungan tambahan selama masa pendidikan mereka. Kesehatan mental yang baik sangat penting untuk menjaga standar etika dan profesionalisme dalam praktik kedokteran. Individu dengan masalah kesehatan mental yang tidak terkontrol dapat mengalami kesulitan dalam membuat keputusan yang tepat, berinteraksi secara profesional, dan menjaga batasan yang sehat.
ADVERTISEMENT
Calon peserta PPDS dapat diminta untuk mengisi kuesioner atau melakukan asesmen mandiri mengenai riwayat kesehatan mental dan kondisi psikologis mereka. Bagian dari proses seleksi dapat melibatkan wawancara dengan psikolog atau psikiater untuk mengevaluasi kesehatan mental calon peserta secara lebih mendalam. Meminta riwayat kesehatan mental dari calon peserta (dengan memperhatikan aspek kerahasiaan dan persetujuan atau informed consent) dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap. Meskipun terbatas, observasi perilaku calon peserta selama proses wawancara atau tes lain juga dapat memberikan indikasi mengenai kondisi mental mereka.
Proses evaluasi kesehatan mental harus dilakukan dengan memperhatikan kerahasiaan informasi pribadi calon peserta dan menghindari stigmatisasi terhadap individu dengan masalah kesehatan mental. Tujuannya adalah untuk memberikan dukungan, bukan untuk mendiskriminasi. Institusi perlu memastikan ketersediaan profesional kesehatan mental yang kompeten untuk melakukan evaluasi dan memberikan dukungan yang dibutuhkan. Kriteria evaluasi kesehatan mental harus jelas, objektif, dan didasarkan pada standar profesional yang berlaku. Tujuan utama dari evaluasi ini seharusnya adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan dukungan dan mencegah masalah, bukan semata-mata untuk menolak calon peserta PPDS.
ADVERTISEMENT
Agar kasus seperti yang dialami Dokter PPDS PAP tidak terulang lagi, diperlukan pembenahan regulasi dan langkah-langkah konkret. Yang pertama adalah penguatan mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, dan terpercaya. Harus disediakan mekanisme pelaporan yang mudah dipahami dan diakses serta adanya kebijakan yang tegas untuk melindungi pelapor dari segala bentuk intimidasi maupun diskriminasi.
Berikutnya adalah perlunya peningkatan pengawasan dan evaluasi perilaku dan etika terhadap peserta PPDS. Mengimplementasikan evaluasi berkala yang tidak hanya fokus pada kompetensi klinis, tetapi juga pada perilaku etis dan profesional peserta PPDS dan staf pengajar. Hal ini bisa mencakup umpan balik dari berbagai pihak (rekan sejawat, junior, pasien, staf lain). Harus dirumuskan dan disosialisasikan kode etik dan standar perilaku yang jelas, termasuk definisi yang tegas mengenai pelecehan seksual dan konsekuensinya. Perlu dilakukan audit berkala terhadap budaya dan iklim etika di lingkungan PPDS untuk mengidentifikasi potensi risiko dan area yang perlu diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah penerapan sanksi yang tegas, proporsional, dan transparan bagi pelaku pelecehan seksual. Harus dipastikan bahwa sanksi diterapkan secara konsisten dan adil tanpa pandang bulu, menghindari adanya impunitas bagi pelaku. Proses investigasi dan penjatuhan sanksi harus dikomunikasikan secara transparan (dengan tetap menjaga privasi korban) untuk membangun kepercayaan terhadap sistem. Korban pelecehan seksual juga harus diberikan perlindungan dan dukungan. Harus disediakan akses mudah dan gratis ke layanan konseling profesional bagi korban pelecehan seksual. Selain itu juga perlu diterapkan protokol yang ketat untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan korban selama dan setelah proses pelaporan. Perlunya disediakan akses ke pendampingan hukum bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum.
Dalam proses penerimaan peserta PPDS harus diintegrasikan evaluasi kesehatan mental untuk mengidentifikasi potensi risiko dan kebutuhan dukungan sejak awal. Peserta PPDS memiliki akses mudah ke layanan kesehatan mental selama masa pendidikan mereka. Dikembangkan program dukungan kesehatan mental yang proaktif untuk membantu peserta PPDS mengatasi stres dan tekanan dalam program pendidikan PPDS.
ADVERTISEMENT
Menyusul terungkapnya aib dalam kasus Dokter PPDS PAP, regulasi yang ada tidak lagi memadai untuk menjamin keamanan dan etika di lingkungan pendidikan kedokteran. Kasus ini bukan sekadar noda hitam pada seorang individu, melainkan cerminan retaknya fondasi sistem yang seharusnya menjaga marwah profesi. Pembenahan regulasi adalah urgen.
Sumber foto: https://pixabay.com/id/photos/tekanan-darah-stetoskop-medis-1584223/