Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Urgensi Regulasi untuk Kesehatan Mental Generasi Cemas
13 Januari 2025 17:05 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari wahyu andrianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kecemasan yang dialami generasi muda merupakan masalah serius yang membutuhkan tindakan segera. Regulasi yang komprehensif dan implementasi yang efektif merupakan kunci untuk melindungi kesehatan mental generasi muda. Investasi dalam layanan kesehatan mental dan promosi literasi kesehatan mental adalah sebuah keniscayaan.”
ADVERTISEMENT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa secara global, satu dari tujuh anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan jiwa. Ini setara dengan 13% dari beban global penyakit pada kelompok usia ini. Depresi adalah salah satu penyebab utama penyakit dan disabilitas di kalangan remaja. Bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor empat di antara remaja usia 15-19 tahun.
Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 menyatakan bahwa 15,5 juta (34,9%) remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir. 2,45 juta (5,5%) remaja Indonesia mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Gangguan mental yang paling banyak diderita remaja Indonesia adalah gangguan kecemasan (gabungan antara fobia sosial dan gangguan kecemasan umum) sebesar 3,7%, diikuti gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), PTSD dan ADHD (keduanya 0,5%). Dari jumlah remaja yang mengalami masalah kesehatan mental, hanya 2,6% yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.
ADVERTISEMENT
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang. Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki persentase depresi sebesar 6,2%. Data Riskesdas juga menunjukkan bahwa 80-90% kasus bunuh diri merupakan akibat dari depresi dan kecemasan.
Masa muda adalah periode transisi yang penting dalam kehidupan seseorang, ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan sosial yang signifikan. Kesehatan mental yang baik sangat penting bagi pemuda. Kesehatan mental yang baik memungkinkan pemuda untuk berkembang secara optimal dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial, dan pengembangan diri. Masa muda seringkali diwarnai dengan berbagai tekanan, seperti tekanan akademik, sosial, dan ekonomi. Kesehatan mental yang baik membantu pemuda untuk menghadapi dan mengatasi tekanan-tekanan ini dengan lebih efektif. Kesehatan mental yang baik memfasilitasi pembentukan dan pemeliharaan hubungan yang sehat dengan keluarga, teman, dan orang lain. Kesehatan mental yang baik memungkinkan pemuda untuk berpikir jernih, membuat keputusan yang tepat, dan memecahkan masalah dengan lebih efektif. Kesehatan mental yang baik memungkinkan pemuda untuk berpartisipasi secara aktif dan produktif dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan pekerjaan, serta memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Memprioritaskan kesehatan mental di masa muda dapat membantu mencegah perkembangan masalah kesehatan mental yang lebih serius di kemudian hari, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya.
ADVERTISEMENT
Tekanan akademik dan persaingan merupakan salah satu faktor utama yang memengaruhi kesehatan mental pemuda saat ini. Sistem pendidikan yang semakin kompetitif, tuntutan untuk berprestasi, dan persaingan yang ketat dapat menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan berpotensi memicu berbagai masalah kesehatan mental. Kurikulum yang semakin padat, materi pelajaran yang kompleks, dan standar penilaian yang tinggi menuntut pemuda untuk terus berupaya mencapai hasil yang maksimal. Ekspektasi yang tinggi ini, baik dari orang tua, guru, maupun diri sendiri, dapat menciptakan tekanan yang luar biasa. Sistem pendidikan yang seringkali terlalu fokus pada nilai dan prestasi akademik dapat membuat pemuda merasa bahwa nilai mereka menentukan harga diri dan masa depan mereka. Hal ini dapat memicu kecemasan, stres, dan rasa takut gagal. Persaingan untuk masuk perguruan tinggi favorit dan jurusan yang diminati semakin ketat. Tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi dalam ujian masuk dan memenuhi persyaratan pendaftaran dapat membebani kesehatan mental pemuda. Jadwal pelajaran yang padat, tugas yang menumpuk, kegiatan ekstrakurikuler, dan les tambahan seringkali membuat pemuda kekurangan waktu istirahat dan rekreasi. Kurangnya waktu untuk bersantai dan memulihkan diri dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Tekanan untuk terus belajar dan berprestasi dapat mengorbankan aspek lain dalam kehidupan pemuda, seperti waktu bersama keluarga dan teman, hobi, dan kegiatan sosial. Kurangnya keseimbangan ini dapat memicu stres, kelelahan, dan perasaan terisolasi.
ADVERTISEMENT
Pemuda seringkali merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan "cocok" dengan norma-norma yang berlaku di kelompok sebaya atau masyarakat. Tekanan ini dapat berupa tuntutan untuk memiliki penampilan tertentu, minat yang sama, atau perilaku yang sesuai dengan tren. Ketakutan untuk dikucilkan atau ditolak oleh kelompok sebaya dapat mendorong pemuda untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan atau yakini, yang dapat memicu stres dan kecemasan. FOMO (Fear of Missing Out) merupakan ketakutan untuk ketinggalan tren atau informasi terbaru di media sosial dapat mendorong pemuda untuk terus-menerus terhubung dan membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat memicu stres dan kecemasan.
Perundungan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik fisik (misalnya, memukul, mendorong), verbal (misalnya, mengejek, mengancam), sosial (misalnya, mengucilkan, menyebarkan gosip), maupun siber (cyberbullying). Perundungan, dalam bentuk apapun, dapat memiliki dampak yang sangat merusak pada kesehatan mental korban. Korban perundungan dapat mengalami rasa malu, rendah diri, isolasi sosial, kecemasan, depresi, sulit mempercayai orang lain, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Dengan semakin maraknya penggunaan media sosial, cyberbullying menjadi masalah yang semakin serius. Cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dan dampaknya dapat sangat luas karena penyebaran informasi yang cepat di internet.
ADVERTISEMENT
Kurangnya akses ke layanan kesehatan mental merupakan masalah krusial yang memperburuk kondisi kesehatan mental di kalangan pemuda. Stigma yang melekat pada masalah kesehatan mental, seperti anggapan bahwa masalah ini adalah "aib," "kelemahan," atau "kutukan," membuat banyak pemuda merasa malu, takut dihakimi, atau enggan untuk mencari bantuan. Stigma juga dapat menyebabkan diskriminasi terhadap orang dengan masalah kesehatan mental, baik di lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat. Hal ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental dan menghambat pemulihan. Pemuda yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin menginternalisasi stigma tersebut dan mulai mempercayai pandangan negatif tentang diri mereka sendiri. Hal ini dapat menyebabkan rasa rendah diri, isolasi sosial, dan kesulitan mencari bantuan.
Jumlah psikolog, psikiater, dan profesional kesehatan mental lainnya masih sangat terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil. Hal ini menyebabkan antrian panjang dan kesulitan untuk mendapatkan janji temu. Layanan kesehatan mental cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar, sehingga sulit diakses oleh pemuda yang tinggal di daerah pedesaan atau terpencil. Beberapa fasilitas kesehatan mungkin tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani masalah kesehatan mental, seperti ruang konseling yang nyaman dan privasi yang terjamin.
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan pemuda saat ini. Meskipun menawarkan banyak manfaat, seperti konektivitas dan akses informasi, media sosial juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental (perbandingan sosial, cyberbullying, paparan konten negatif). Oleh karena itu, regulasi yang tepat sangat penting untuk melindungi pemuda dari dampak negatif ini. Regulasi harus mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan "konten negatif" dan "ujaran kebencian." Definisi ini harus mencakup konten yang mempromosikan kekerasan, diskriminasi, ujaran kebencian berdasarkan ras, agama, gender, orientasi seksual, atau identitas lainnya, serta konten yang merendahkan, melecehkan, atau mengancam individu atau kelompok. Regulasi harus mewajibkan platform media sosial untuk memiliki mekanisme yang efektif untuk mendeteksi dan menghapus konten negatif dan ujaran kebencian. Mekanisme ini dapat berupa sistem pelaporan pengguna, moderasi konten oleh tim khusus, atau penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI).
ADVERTISEMENT
Regulasi harus mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan cyberbullying, termasuk berbagai bentuknya, seperti pelecehan online, penyebaran rumor palsu, pengungkapan informasi pribadi tanpa izin, dan pengucilan online. Regulasi harus menyediakan mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan dipahami oleh pemuda. Mekanisme ini harus memungkinkan korban untuk melaporkan insiden cyberbullying dengan cepat dan aman.
Program edukasi tentang literasi digital dan dampak media sosial terhadap kesehatan mental harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah dan program-program masyarakat. Kampanye kesadaran publik yang menargetkan pemuda, orang tua, dan guru dapat membantu meningkatkan pemahaman tentang risiko dan manfaat media sosial. Guru dan orang tua perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda masalah kesehatan mental yang mungkin timbul akibat penggunaan media sosial dan cara memberikan dukungan yang tepat. Promosi penggunaan media sosial yang bijak dan bertanggung jawab, termasuk pengaturan waktu penggunaan, pemilihan konten yang positif, dan interaksi yang sehat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk layanan kesehatan mental, baik di tingkat pusat maupun daerah. Anggaran ini dapat digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan mental, menyediakan layanan konseling dan terapi, serta mensubsidi biaya pengobatan. Layanan kesehatan mental perlu diperluas jangkauannya hingga ke daerah-daerah terpencil dan komunitas-komunitas yang kurang terlayani. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun puskesmas dengan layanan kesehatan mental, menyediakan layanan kesehatan mental berbasis komunitas, atau memanfaatkan teknologi telehealth. Biaya layanan kesehatan mental perlu diturunkan agar lebih terjangkau bagi masyarakat, terutama bagi pemuda yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan subsidi, menyediakan layanan gratis bagi kelompok masyarakat tertentu, atau bekerja sama dengan asuransi kesehatan untuk memperluas cakupan layanan kesehatan mental. Proses administrasi untuk mengakses layanan kesehatan mental perlu disederhanakan agar tidak memberatkan pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan mengurangi birokrasi.
ADVERTISEMENT