Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peristiwa 1965: Menguatnya Fakta, Meluruhnya Harapan
27 September 2018 17:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Wahyudi Akmaliah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua tahun setelah pemerintahan Jokowi terpilih, ada secercah harapan untuk membuka kabut misteri yang selama ini menjadi hantu bagi masyarakat Indonesia yang terus menakuti dengan stigma komunis, yaitu adanya inisiatif untuk mengungkapkan kembali atas apa yang terjadi pada 1965-1966.
ADVERTISEMENT
Inisiatif ini dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden dan Komnas HAM, dengan mengangkat tema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan”, diadakan pada 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Sejak awal, dalam pembukaan simposium tersebut, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, menegaskan pemerintah tidak akan meminta maaf kepada korban peristiwa 1965, tapi akan menyelesaikan semua pelanggaran HAM dengan “cara yang lain,” di mana medium ini adalah langkah pertama untuk menyelesaikannya.
Meskipun demikian, kesimpulan hasil simposium yang disampaikan Sidarto Danusbroto, penasihat panitia dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, cukup melegakan para pakar sejarah, sosial, aktivis HAM sekaligus para penyintas. Ini karena, menurut Sidarto, tragedi yang mengakibatkan jumlah korban yang sangat besar bukan hanya karena konflik horizontal, melainkan juga adanya keterlibatan aparat negara (Affan, 2016).
ADVERTISEMENT
Harapan untuk mengawal pengungkapan tragedi tersebut kemudian dimuntahkan sendiri oleh Presiden Jokowi satu tahun kemudian, saat mengisi pidato di Universitas Muhamadiyah Malang. Dengan tegas ia mengatakan bahwasanya negara melarang keberadaan PKI, khususnya dengan adanya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966. Karena itu, “kalau bisa tunjukkan pada kita, tunjukkan pada saya, saya akan gebuk (PKI) detik itu juga!” (www.detik.com, 3 Juni 2017).
Harus diakui, penegasan ucapan Jokowi tersebut ini ada faktor utama yang melatarbelakanginya, yaitu "gorengan" pelbagai kelompok oposisi untuk menggerogoti pemerintahannya terkait dengan berita hoaks kebangkitan PKI. Secara afirmasi politik, ungkapan tersebut memang meredakan hoaks tersebut yang selalu hadir di bulan September dan menjelang politik elektoral.
ADVERTISEMENT
Repetisi penegasan yang disampaikan Jokowi di pelbagai daerah dan kemudian memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil Presiden dalam Pilpers 2019 semakin meluruhkan "gorengan" tersebut. Karena itu, di level akar rumput, masyarakat Indonesia mulai percaya bahwasannya isu tersebut memang ada yang memanas-manaskan, mengingat mulai tidak bangkitnya hantu komunis di bulan September ini.
Namun, akibat ucapan dan sikap yang ditunjukkan Jokowi tersebut semakin menyempitkan harapan untuk pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi selama dua tahun periode “yang tidak pernah berakhir” bagi kelompok korban dan keluarga korban yang mengalami.
Padahal, mendiskusikan dan mengangkat kembali peristiwa 1965 merupakan langkah awal tidak hanya upaya untuk melakukan rekonsiliasi, melainkan menjelaskan “watak Indonesia saat ini”.
ADVERTISEMENT
Misalnya, kekerasan yang berulang, militansi kebencian terhadap yang lain, normalisasi kejahatan, ekspansi dan munculnya kapitalisme, masifnya korupsi melalui politik dinasti, kehancuran, dan hilangnya gerakan berbasis kelas dan teori kelas, perubahan drastis bangsa Indonesia dari sikap anti-kolonialisme menuju anti-komunis (Heryanto, 2012; Roosa, 2012; Farid, 2013).
Selain itu, pengungkapan tersebut juga memungkinkan untuk mengetahui hilangnya generasi emas orang-orang pintar Indonesia, baik yang dikirim oleh Sukarno melalui program Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) dan calon pegawai negeri sipil (Duta Ampera), serta mereka yang sedang menjalankan tugas kenegaraan dan delegasi Indonesia. Tidak ada yang dapat memastikan jumlahnya, namun menurut Hill (2008), jumlah mereka ribuan.
Namun, akibat instruksi Presiden Suharto yang diwakili Menteri Pendidikan pada 7 Mei 1966 untuk menjalani pemeriksaan dan menunjukkan loyalitas kepada rejim baru tersebut membuat mereka yang harus kehilangan kewarganegaraannya dan menjadi eksil. Ini karena, mereka mengikuti kata hatinya untuk setia terhadap Indonesia melalui nasionalisme yang sedang dibangun Sukarno (Hill, 2010).
ADVERTISEMENT
Di tengah menyempitnya harapan tersebut, fakta empirik baru terus bermunculan terkait peristiwa tersebut. Hal ini bisa dilihat dengan kemunculan tiga buku baru dalam edisi bahasa Inggris yang muncul kurun 2017-2018. Pertama, The Indonesian Genocide of 1965: Causes, Dynamic, and Legacies, diedit oleh Khatarine McGregor, Jess Melvin, dan Annie Pohlman, diterbitkan oleh Palgrave.
Kedua, The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966, ditulis oleh Geoffrey B. Robinson diterbitkan oleh Princenton. Ketiga, The Army and the Indonesian Genocide Mechanics of Mass Murder, ditulis oleh Jess Melvin, diterbitkan Routledge.
Buku pertama tersebut merupakan bagian buku yang ditulis, baik oleh sarjana Indonesia maupun internasional, membahas peristiwa 1965 dalam pelbagai aspek yang belum dibahas ataupun menguat dari sarjana sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Yang menarik dari buku pertama ini adalah tulisan dari Abdul Wahid yang melacak dosen-dosen UGM yang hilang dan dihilangkan dalam peristiwa 1965 dan proses munculnya reformasi agraria yang memiliki pertautan erat dengan peristiwa 1965 di Bali, ditulis oleh Roro Sawita. Lebih khusus, tulisan Annie Pohlman juga menguatkan selama ini mengenai desas-desus perempuan yang diperkosa dalam penjara di Pelantungan dan dalam peristiwa 1965 tersebut.
Buku kedua tidak hanya menyisir studi-studi mengenai peristiwa 1965 yang sudah ada melainkan lebih jauh melihat konteks Perang Dingin di Asia Tenggara, di mana Indonesia menjadi bagian dari konflik tersebut. Di sini, Robinson menjelaskan secara detail kehancuran gerakan kiri di Indonesia dan kemunculan rezim otoriter sebagai bagian dari kemunculan anti-komunis di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melalui konstelasi Perang Dingin, ia menjelaskan bagaimana Posisi Amerika Serikat yang kewalahan dalam menghadapi perang dengan Vietnam yang bersekutu dengan Republik Rakyat China dan juga kontribusi Inggris.
Di sisi lain, membantu Indonesia melalui penghancuran Komunis merupakan jalan lain agar gerakan komunis tidak menjalar di Asia Tenggara. Di sini, pembunuhan massal kemudian menjadi dalih sebagai bagian dari pembersihan orang-orang kiri di Asia Tenggara dalam konteks global.
Sementara itu, di buku ketiga, Melvin membalikkan asumsi umum yang selama ini terjadi mengenai peristiwa 1965. Banyak studi mengatakan bahwasanya pembunuhan massal itu terjadi spontan oleh masyarakat yang diakibatkan oleh ancaman dan ketegangan yang sebelumnya muncul.
ADVERTISEMENT
Melalui penelusuran 3000 lembar dokumen rahasia dari Militer Indonesia, ia menemukan bahwasanya Gerakan 30 September itu sebelumnya sudah direncanakan, baik sebelum, sedang dan pasca Gerakan yang dilakukan oleh Untung. Bahkan, ia menjelaskan bagaimana laporan yang dibuat menjelang akhir peristiwa 1965 oleh Komandan Militer Wilayah Aceh, Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa.
Laporan itu merinci dengan detail bagaimana regu tembak sipil telah dibentuk menjelang 1 Oktober dan segera melawan Jajaran Elit PKI Aceh dan Etnis Tionghoa yang memiliki afiliasi dengan Beijing. Melalui laporan tersebut, Djuarsa bertindak dengan tegas sesuai dengan komando militer yang diperintahkan, yaitu memusnahkan akar dan basis komunis hingga habis dengan melibatkan masyarakat sipil dan paramiliter melalui ancaman dan doktrin.
ADVERTISEMENT
Melalui kasus dokumen Aceh tersebut, Melvin tidak hanya mengungkapkan fakta secara jelas melalui pembuktian dokumen, sebagaimana selama ini disangsikan oleh banyak orang, melainkan juga membongkar mitos siapakah dalang dibalik tragedi Gerakan 30 September tersebut, menguatkan tesis John Roosa (2008) sebelumnya.
Di sini, militer Angkatan Darat memiliki peranan yang signifikan terhadap pembunuhan massal yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966 setelah Gerakan 30 September tersebut.
Dengan demikian, tiga buku yang menjadi fakta tersebut dengan riset mendalam seharusnya membuat kita mendefinisikan kembali apa yang disebut dengan aksi spontan dan bagaimana peristiwa 1965 seharusnya masuk dalam kategori genosida karena ada proses perencanaan sebelumnya.
Selain itu, tindakan militerisme dan aksi-aksi kekerasan memiliki akar lebih dalam melalui peristiwa 1965, di mana intervensi kekuataan Barat dalam Perang Dingin menjadi titik pijak penting. Namun, sejumlah fakta tersebut dikalahkan oleh politik elektoral untuk meraup suara, yang membuat hantu Komunis akan terus bergentayangan, digunakan oleh predator politik untuk menjatuhkan para pesaingnya.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kita menjadi seperti keledai, selalu jatuh di lubang yang sama, berkali-kali, dengan membentuk mesin paranoid atas hantu yang terus hadir di bulan September.