Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menakar Pernyataan Mas Menteri
1 Juli 2022 14:26 WIB
Tulisan dari Wahyudi Hamarong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya tidak dapat menghitung entah sudah berapa kali terbangun tengah malam ketika seisi rumah sudah terlelap dalam buai mimpi. Ada-ada saja yang menjadi penyebab, biasanya ke kamar mandi, periksa meja makan, menulis, atau sekali waktu nunggu live pertandingan bola. Satu yang pasti gawai akan selalu saya sentuh untuk tahu kabar dunia luar. Paling sering facebook dan whatsaap.
ADVERTISEMENT
Sebuah status yang dibagikan oleh teman saya baca sejenak,” Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan berkarya dan bekerja, akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar.” (Nadiem Makarim).
Rupa-rupanya banyak yang menanggapi status itu. Beragam latar pula, mulai pendidik, ekonomi, birokrat, sampai aktivis mahasiswa. Seperti komentar teman mengajar di sekolah yang tegas menyatakan kalau itu sama saja mematikan sekolah. Ada lagi komentar warganet lainnya yang mengajak agar masuk kursus saja, tidak usah sekolah. Sementara komentar lainnya meminta Kemendikbud dibubarkan saja. Tak ketinggalan pula komentar seorang kawan dalam bahasa Mandar yang kebetulan sesuku dengan penulis , ‘Soroq’ yang artinya ‘bubar!’
ADVERTISEMENT
Dari beragam komentar hampir semuanya protes dengan status ini. Apalagi status ini bukan dibuat oleh sembarang orang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Figur yang menentukan kiblat dan nasib dunia Pendidikan. Top leader ke mana gerbong mencerdaskan kehidupan bangsa akan dihela. Paling tidak untuk satu musim Kabinet.
Sebagai seorang yang berprofesi pendidik, saya memang terusik. Tapi tidak seemosional komentar para warganet yang menghujat status Mas Menteri itu. Saya lebih banyak mencerna kalimat demi kalimat dan menghubungkan dengan realitas dunia Pendidikan yang terus berjalan di setiap era.
Yang saya pahami akhir-akhir ini memang agak minor. Angka-angka yang didapatkan oleh siswa setelah ujian itu rerata di atas angka ketuntasan belajar untuk setiap mata pelajaran. Baik nilai untuk kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor. Angka-angka ini sebenarnya belum menggambarkan kemampuan nyata siswa ketika ketika ada assessmen yang lebih objektif. Tak dipungkiri kalau masih banyak siswa yang kompetensi berhitung dan bernalar masih sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Totok Suprayitno, Plt. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) menyebutkan kalau 70 persen siswa berada di bawah level kompetensi minimun membaca. 71 persen siswa berada di bawah level kompetensi minimun Matematika, dan 60 persen berada di level minimun sains.
Data ini menunjukkan bahwa siswa hanya mampu memahami apa isi teks dan minim dalam menanggapi, menganalisis, dan mengkritisi sebuah teks yang dibaca. Begitu pula dalam numerasi, siswa hanya mampu memahami konsep matematika pada persoalan yang standar. Artinya, level berfikir siswa masih berada pada tingkat minimum.
Masih berkaitan dengan status Mas Menteri Pendidikan yang menimbulkan banyak tanggapan di berbagai ruang publik. Pendidikan vokasi kongkritnya di sekolah menengah itu mengacu pada SMK. Faktanya, lulusan SMK pun juga belum memberikan pengaruh signifikan dalam memutus mata rantai pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2022 melaporkan sebanyak 8,40 juta orang atau 5,83 persen adalah angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan lulusan SMK menjadi penyumbang pengangguran terbanyak.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi pertanyaan mendasar mengapa bisa begitu?
“Ada indikasi SMK kita belum berjalan efektif. SMK ini sekolah vokasi, Kemendikbud harus mengevaluasi, apakah SMK ini sudah berjalan sesuai dengan sistem vokasi yang benar?,” ujar Antonius J. Supit, Kabid Tenaga Kerja Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di laman Bisnis.Com, Senin (9/5/2022).
Lebih lanjut dia menjelaskan setidaknya ada lima kriteria sistem vokasi yang benar. Pertama, persentase belajar di lapangan lebih tinggi dari teori (70:30). Kedua, harus ada pengajar di pabrik/industri ketika siswa/i magang. Ketiga, harus ada kurikulum di pabrik, bukan di sekolah. Keempat, kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan industri. Kelima, wajib ada monitoring dan sertifikasi.
Alumni perguruan tinggi kondisinya tak jauh berbeda. Kemenaker mengulas kalau alumni perguruan tinggi menyumbang angka pengangguran terbuka sebesar hampir 1 juta orang atau 5,98 persen di tahun 2021. Kembali ke statement Mas Menteri Pendidikan. Berdasar realitas di lapangan maka pernyataan yang disampaikan itu bersesuaian dengan apa yang sementara berlangsung dalam dunia Pendidikan kita.
ADVERTISEMENT
Saya pernah memberikan sanksi kepada siswa yang terlambat datang ketika teman-temannya sudah belajar di kelas. Saya tanyakan berapa kalau delapan kali tujuh. Ada dua menit tidak ada yang menjawab. Satu orang saya tunjuk dan ternyata jawabannya salah. Lima puluh dua. Belum lagi soal matematika dalam bentuk cerita. Hanya satu dua siswa yang mendekati benar. Ini siswa kelas XI SMA. Belum lagi pertanyaan lain yang sifatnya pengetahuan umum saja. Hanya satu dua siswa yang mampu menjawab benar.
Di tingkat SMK juga demikian. Pendidikan vokasi yang menjadi fokus pembelajaran di jenjang ini juga belum memberikan hasil yang maksimal. Ada 8 juta lebih lulusan SMK yang menganggur di tahun 2021. Bermacam-macam penyebabnya. Mulai dari guru mata pelajaran keahlian yang masih perlu penguatan kalau belum boleh dikategorikan tidak kompeten. Soal peralatan praktikum yang tidak sebanding dengan siswa, tentang peralatan yang ketinggalan jaman alias sudah tidak terpakai di dunia industri. Belum lagi jurusan yang masih tetap dibuka padahal sudah tidak ada lagi lapangan kerjanya.
ADVERTISEMENT
Alumni perguruan tinggi pun nyaris serupa. Lebih banyak yang menganggur daripada bekerja. Beberapa alasan yang mengemuka antara lain masih banyak jurusan di kampus yang tidak dibuka lagi lapangan kerjanya di perusahaan. Belum lagi rasa gengsi yang begitu tebal kalau ternyata harus bekerja di luar ilmu yang didapat di bangku kuliah. Diperparah lagi oleh anggapan orang tua kalau anaknya tidak boleh jadi pengusaha, penjaga toko, pengawas bangunan karena dia arsitektur misalnya. Di sisi lain, masih kuat sekali stigma keluarga kalau anaknya kuliah tinggi-tinggi nantinya harus berbaju dinas, punya NIP, dan nanti naik mobil plat merah.
Menurut hitungan-hitungan saya, sebenarnya sekian persoalan yang masih merecoki dunia pendidikan itu menjadi pekerjaan rumah untuk Mas Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan. Seorang kepala rumah tangga lumrah bicara tentang rumahnya sendiri. Anak-anak malas-malasan, selesai sekolah tetap nganggur, ruang tamu bak kapal pecah, sampah bertumpuk, atap bocor, listrik yang padam. Sebenarnya poin pernyataan beliau mengajak kita
ADVERTISEMENT
untuk melihat persoalan lebih dalam lagi dan menyelesaikannya satu persatu secara holistik dan komprehensif. Lihatlah program pendidikan yang sementara berproses menjawab persoalan krusial pendidikan seperti Sekolah Penggerak, SMK Program Keunggulan, Kampus Merdeka, dan berbagai program lainnya. Semoga.