news-card-video
7 Ramadhan 1446 HJumat, 07 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kesalahan di Masa Kecil yang Paling Saya Sesali

Waliyadin
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mahasiswa PhD di University of Canberra Australia
6 Maret 2025 10:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waliyadin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: (Foto Waliyadin dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: (Foto Waliyadin dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan pastinya kita pernah merasakan penyesalan yang mendalam karena telah berbuat kesalahan. Namun, seringnya kita merasa malu untuk segera mengakui kesalahan tersebut secara terbuka dan kemudian meminta maaf. Melalui tulisan ini saya ingin menggali kembali ingatan saya akan kesalahan masa lalu yang pernah saya perbuat dan sangat saya sesali.
ADVERTISEMENT
Dulu waktu saya masih duduk di sekolah dasar, saya pernah melakukan tindakan yang menyakiti dan melukai secara fisik teman sekelas saya. Ceritanya, dulu saya dipilih menjadi ketua kelas oleh seorang guru yang sekaligus wali kelas dan mendapat dukungan mayoritas dari teman-teman satu kelas.
Mungkin karena pada saat itu saya paling besar dan usia saya lebih tua dibanding dengan teman-teman yang lain. Maka wajar saja jika kemudian saya dipilih sebagai ketua meskipun secara jujur saya merasakan beban dan tanggung jawab yang lebih berat lantaran menerima amanah itu.
Tugas saya sebenarnya ringan saja, yakni menenangkan anggota kelas ketika guru berhalangan hadir atau ketika kepala sekolah tengah mengadakan rapat dewan guru. Pada suatu siang yang panas itu, guru kami tidak dapat hadir mengajar di kelas. Beliau hanya memberikan tugas untuk menyalin pelajaran dari buku cetak milik guru kami dengan cara didiktekan supaya kelas tidak gaduh.
ADVERTISEMENT
Sebagai ketua kelas, saya ditugasi untuk mendiktekan materi pelajaran kepada semua siswa di kelas. Karena tugas mendiktekan butuh konsentrasi dan suasana tenang maka saya menjalani dua tugas secara bersamaan, yakni memastikan kondisi kelas tetap tenang dan sambil saya mendiktekan materi pelajaran.
Namun, pada siang itu salah seorang teman dengan alasan yang saya tidak ketahui membuat kegaduhan dan memprovokasi teman-teman yang lain. Mungkin karena ia bosan disuruh mencatat pelajaran dengan didikte. Sehingga saya pun mencoba menenangkan dengan menasihati dia supaya tidak membuat kegaduhan.
Tetapi teman yang satu ini tetap bergeming, saya pun akhirnya mengambil tindakan yang sebenarnya saya lakukan secara refleks saja tetapi ternyata bisa menyakiti dan menyisakan luka. Ya, saya menusukkan tutup spidol pada pipi teman saya ini. Tidak disangka pipi teman saya terluka karena goresan tutup spidol itu.
ADVERTISEMENT
Saya menyadari bahwa perbuatan saya ini tidak bisa dibenarkan karena menyakiti orang lain apalagi sampai terluka. Saya pada saat itu menyadari bahwa seharusnya saya tidak melakukannya. Saya sebenarnya bisa beralasan karena menjalankan tugas yang diberikan oleh guru, yaitu untuk mengamankan kondisi kelas yang saat itu gaduh karena ulah teman saya ini. Tetapi alasan apa pun secara etik tidak dapat dibenarkan.
Teman saya pun menangis, pulang ke rumah, dan melapor kepada ibunya. Kebetulan teman saya ini adalah anak orang yang cukup berpunya dan orang tuanya termasuk kelompok orang terpandang. Saya pun merasa takut dan menyesal karena telah melakukan perbuatan yang menyakiti teman sendiri.
Tidak lama setelah kejadian itu, ibu teman saya pun datang ke rumah saya dan menceritakan kejadian yang menimpa anaknya kepada orang tua saya. Pada saat itu saya sembunyi karena takut dimarahi oleh orang tua saya sendiri dan juga orang tua teman saya. Saya tidak berani untuk ketemu dan mengakui kesalahan saya itu. Saya hanya bisa merenungi dan menyesali apa yang telah saya lakukan di belakang rumah nenek saya.
ADVERTISEMENT
Ayah saya lah yang kemudian menghadapi langsung dan memberikan solusi jalan tengahnya. Ayah saya memohonkan maaf dan berjanji akan menasihati saya ketika saya sudah pulang ke rumah.
Singkat cerita, saya pun memberanikan diri untuk pulang ke rumah dan ayah saya bilang ke saya bahwa seharusnya saya tidak perlu sembunyi untuk menghindar dari permasalahan yang ada. Ketika berbuat kesalahan maka kita harus secara gentle mengakui kesalahan itu. Kesalahan bukan untuk ditutup-tutupi tetapi untuk diakui dan meminta permohonan maaf untuk kemudian dijadikan pelajaran di waktu yang akan datang.
Ayah saya juga bercerita bahwa ternyata ayahnya teman saya itu juga merupakan teman baik ayah saya waktu kecil. Mereka dulu saling kenal dan bermain bersama. Permasalahan itu justru mempertemukan ayah saya dengan teman lamanya. Ibu dari teman saya juga meminta ayah saya untuk mendamaikan saya dengan teman saya itu dan kembali berteman seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Kini, setelah dewasa dan menjadi orang tua, saya bertemu kembali dengan teman saya itu. Ada rasa malu untuk menyapanya karena kejadian di masa lalu. Lagipula, sudah lebih dari 20 tahun sejak terakhir kali kami bertemu. Saya juga jarang pulang ke desa karena pekerjaan mengharuskan saya pindah domisili. Namun, melihatnya dari kejauhan saja sudah cukup membuat hati saya lega dan bahagia.