Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
KURSI GEDUNG HIJAU
28 Februari 2019 14:31 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
Tulisan dari Wan Muhammad Ilham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Money may not guarantee electoral success but it is rare that electoral success comes to those with very little money"
ADVERTISEMENT
Hubungan antara proses Pemilihan Umum Legislatif (PILEG) dengan biaya yang mahal ibarat hubungan Kendaraan dengan bahan bakar, Saling membutuhkan, Tak bisa dihindari dan hampir sudah menjadi syarat mutlak. Telah menjadi rahasia umum pula untuk maju sebagai Calon Anggota DPR butuh biaya politik yang kadang tak terukur. terlebih dengan tersaji nya sistem pemilu multipartai ekstrim hingga diikuti 16 partai yang membuka peluang sangat banyak Calon bermunculan sehingga diperluka upaya lebih untuk bisa memperkenalkan diri atau populer secara instan kepada masyarakat. Jika setiap partai di asumsikan mengirim 10 orang Caleg maka setidaknya setiap orang diharuskan bersaing dengan 159 Caleg lain nya, Jika Caleg tersebut tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup maka besar kemungkinan dimanfaatkan oleh orang orang tidak bertanggung jawab yang berjanji menyediakan ribuan pendukung tentunya dengan membayar dengan uang yang cukup banyak, dalam masa kampanye ini juga yang berlangsung 8 bulan membutuhkan " bahan bakar " yang cukup, jangankan untuk menang untuk bisa bertahan saja dari awal masa kampanye hingga minggu tenang dibutuhkan biaya cukup tinggi untuk bisa berjalan dengan stabil.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud berjalan dengan stabil?
ada stigma atau pandangan yang seringkali keliru dari masyarakat tentang seseorang yang mencalonkan diri sebagai Anggota DPR, paling tidak sering kali dianggap memiliki kemampuan finansial yang sangat banyak.
di dalam proses pencalegan juga membutuhkan beberapa tahapan sehingga bisa mendapatkan pilihan masyarakat. Pertama adalah proses pengenalan diri atau popularitas, untuk bisa meningkatkan tingkat keterkenalan seseorang di muka publik salah satunya dilakukan melalui pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) seperti spanduk, Stiker, baliho bahkan billboard. Tentu memproduksi APK membutuhkan ongkos yang cukup, mengingat APK tidak akan berpengaruh jika di cetak tidak dengan masif atau besar besaran namun di era sosial media kini penyakit APK perlahan bisa disembuhkan dengan menggunakan media sosial sebagai platform meningkatkan keterkenalan walaupun sejauh yang saya amati penggunaan media sosial belum terlalu memiliki dampat elektoral yang seimbang antara pengeluaran dan yang didapatkan.
ADVERTISEMENT
Kedua, biasanya setelah mengenal masyarakat yang tertarik dengan kepribadian ataupun gagasan yang dibawa seorang Caleg seringkali ingin mengadakan pertemuan, baik hanya pertemuan kecil seperti Caleg dengan ketua RT/RW atau pertemuan besar antara Caleg dengan masyarakat di Desa atau kampung setempat, biasanya di bungkus dengan acara seperti pengajian bulanan, acara makan bersama, senam warga atau bahkan jalan sehat dan gotong royong. Bayangkan mulai dari Tenda acaranya, Sound system, Nasi kotak, sampai Souvenir yang bisa di bagikan sudah memerlukan biaya berapa. Tentu saja jika hanya 10-30 Desa atau Kampung ongkos nya masih dapat dihitung dengan baik, nyata-nya sebagai contoh di dapil Banten 3 terdapat lebih dari 450 Desa yang perlu di perhatikan dari 49 Kecamatan yang ada, itu pun jika 1 desa hanya mengadakan 1 kali pertemuan.
ADVERTISEMENT
Setelah Keterkenalan dan Pertemuan, selanjutnya adalah pemeliharaan suara
pemeliharaan suara adalah hal yang mau tidak mau suka tidak suka harus dilakukan terlepas dari tanggung jawab seorang wakil rakyat adalah memperhatikan rakyat nya tetapi juga di dalam tahun politik seperti ini apapun bisa terjadi. Pemeliharaan suara dalam implementasi nya dapat dengan bentuk seperti sumbangan acara maulid, sumbangan semen pembangunan dll yang sifat nya non formal. Di dalam masa masa kritis atau minggu minggu menjelang hari H pencoblosan seringkali terjadi peralihan dukungan dari caleg A ke caleg B faktor yang menyebabkan juga bisa beragam, bisa tidak pernah menemui masyarakat, bisa jumlah sumbangan nya lebih sedikit dibanding caleg lain, bisa juga karna tidak memberikan uang es di hari H atau biasa kita kenal dengan serangan fajar. Seorang caleg yang sudah sering bertemu, sering membantu dalam bentuk sumbangan saja bisa kalah di hari Akhir hanya karna searangan fajar, jadi bayangkan kalau tidak ada sama sekali dana yang cukup untuk memelihara atau menjaga suara. bahkan ada tradisi yang telah mengakar jika tidak memberi di hari akhir maka akan ada caleg lain yang memberikan, situasi ini memaksa banyak caleg terlibat dalam lingkaran Money Politic. Walaupun sudah ada aturan yang membatasi pemberian caleg ke masyarakat namun realita nya adalah masyarakat kita sudah terbentuk atau terbiasa memaknai bahwa musim pemilu adalah musim basah. pengeluaran di atas belum termasuk dengan biaya saksi yang begitu besar, bayangkan dalam satu dapil sebagai contoh Banten 3 memiliki 12.000 TPS, jika TPS di isi masing-masing 2 orang dan satu orang nya di amplopi uang Rp 150.000 saja maka dibutuhkan biaya kurang lebih 3,6 Miliar.
ADVERTISEMENT
Biaya politik yang mahal menyebabkan beberapa dampak politik yang tentu saja merugikan bangsa indonesia, jika hanya sedikit orang yang bisa menggapai standar pengeluaran seorang caleg maka lebih sedikit orang yang mau maju mencalonkan diri hal ini juga memperkecil kemungkinan orang orang berkualitas untuk bisa tampil sebagai wakil rakyat. kondisi ini membuat output dari politik indonesia menjadi sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, juga memperbesar kemungkinan terjadi nya korupsi untuk menutupi biaya kampanye yang terlanjur keluar. seharusnya sistem pemilu dan pencalegan dapat perlahan dirubah sehingga menjadi sangat mudah untuk dijangkau masyarakat umum, maka persaingan yang lebih kompetitif bisa lebih mungkin terjadi namun masalahnya setiap partai kini memiliki mekanisme penetapan caleg yang berbeda beda. semua baik asal transparan. jika tidak maka masa pemilu hanya akan menjadi periode jual beli kekuasaan yang dilakukan orang orang tertentu dengan tujuan memenuhi kepentingan orang orang tertentu bukan masyarakat indonesia.
ADVERTISEMENT
atas dasar proses memenangkan seorang caleg yang membutuhkan biaya besar itulah terjadi degradasi kualitas demokrasi dimana sistem pemilu yang dihadirkan dan situasi sosial yang terlanjur memaknai pemilu dalam arah yang keliru ini berpeluang besar melahirkan pemimpin minim kompetensi karna masyarakat tidak dimungkinkan bisa memilih dengan rasional, bagaimana tidak ada 160 Caleg yang harus di banding bandingkan satu sama lain.
karna itu tidak heran jika muncul gagasan bahwa pembiayaan saksi TPS dibebani pada APBN mengingat jika tidak demikian maka kita akan sulit keluar dari kategori high cost politics.
untuk menghadirkan pemilu yang bisa melahirkan pemimpin yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka dapat dilalui dengan mengurangi biaya kampanye, harus dilakukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka memperbaiki situasi ini, pemerintah sudah melangkah maju dengan mengeluarkan PP yang menaikkan jumlah dana parpol dari 13M menjadi 124M walaupun dana saksi tidak disetujui oleh Kemenkeu. pemerintah juga sebenarnya bisa berperan dengan membangun infrastruktur demokrasi yang bisa digunakan para caleg untuk mengumpulkan pendukung nya sehingga tidak perlu lagi kesulitan mencari tempat, dengan difasilitasi bangunan yang bisa diadakan oleh pemerintah maka setidaknya bisa mengurangi jumlah pengeluaran. namun hal tadi tidak akan ada manfaatnya jika tidak dibangun kesadaran masyarakat akan bahaya politik uang, regulasinya harus jelas, sanksi harus tegas serta pengawasan dilakukan secara luas agar proses pemberantasan politik uang dapat benar benar dilakukan, demi kemajuan ekosistem politik indonesia.
ADVERTISEMENT