Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
PRESIDENTIAL THRESHOLD DIHAPUS, APA YANG AKAN TERJADI?
22 Juni 2018 7:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Wan Muhammad Ilham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menarik mengikuti pemberitaan tentang pengujian materi pasal 222 tentang ambang batas calon presiden yg saat ini tengah digugat oleh 12 org di MK, walau sudah 10 kali di gugat tp sampai hari ini masih banyak elemen masyarakat yg mau menguji materi ambang batas ini.
Pengajuan uji materi ini pernah di lakukan dan bahkan hampir di sahkan pada tahun 2008 dimana saat ini ketua mk adalah prof Mahfud MD . Namun sampai akhir 2017 berbagai gugatan tak satupun dimenangkan MK. Rata2 memiliki dasar argumentasi yg sama. Diantaranya adalah capres yg tidak beragam, mengurangi esensi pemilu karna menggunakan hasil pemilu 2014, bertentantan dengan UUD45, Dan mengurangi esensi pemilu karna berpotensi menghadirkan capres tunggal.Tentu saja dr segi politik, jika ambang batas calon presiden di hapuskan menjadi 0% atau setidaknya di turunkan menjadi 10% saja maka peta politik akan berubah. Sangat memungkinkan PDIP mengajukan capres dan cawapres nya sendiri, begitu juga dengan gerindra, golkar dan demokrat. Andai saja gugatan ini diterima oleh MK, peluang terjadi nya perpecahan pada koalisi pro pemerintah ataupun koalisi keumatan ataupun koalisi2 yg saat ini coba dibangun..sangat mungkin terjadi. Namun bagi partai dgn perolehan suara pd tingkat menengah mereka akan tetap berkoalisi Setidak tidaknya koalisi dibangun oleh 2 partai atau lebih, konfigurasi PKB - Nasdem - PPP - Hanura dan PKS-PAN-PBB menjadi 2 poros yg mungkin terbentuk jika ambang batas presiden 10%. Jika 0% maka semua partai kemungkinan akan ada setidak nya 5 atau lebih capres di pemilu 2019 Artinya dr segi politik penghapusan ambang batas capres ini bisa dimaknai 2 hal,kemajuan atau kemunduran demokrasi. Jika di hapus maka pilihan capres menjadi beragam ttp kualitas mungkin tdk terjaga,jika di pertahankan pilihan capres plg banyak 3.walau kualitas tdk ada yg jamin. Jika di hapus, maka polarisasi yg terbentuk di masyarakat akan sangat variatif dan cenderung tidak tajam. Tentu ini baik buat demokrasi kita. Sehingga potensi terbenturnya 2 sisi yg berbeda menjadi berkurang. Jika di pertahankan, maka paling banyak 3 bagian masyarakat akan terbelah pada pemilu 2019 ini, potensi munculnya proses demokrasi yg penuh ujaran kebencian sprt pada tahun 2014 mungkin bisa terulang karna perbedaan yg cukup tajam, apalagi jika hanya ads 2 capres. Ambang batas capres dari sisi hukum di dasari oleh banyak argumentasi dan dasar-dasar hukum yg variatif ada 9 dasar hukum kuat yg dijadikan sebagai rujukan untuk menggugat pasal 222 ini diantaranya adalah :
ADVERTISEMENT
Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur “syarat” capres dan karena itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”. Pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung, bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya” sehingga pasal 222 UU Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy, bukan open legal policy sehingga pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karena itu pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karena itu pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Presidential threshold saat ini menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apa pun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Tinggal saja apakah keputusan uji materi ini bisa di putuskan sebelum mulai nya pendaftaran capres di bulan agustus atau tidak? Semoga apapun keputusan MK nantinya tidak berdasar atas tekanan atau pesanan pihak pihak tertentu sehingga akhirnya hasil dari uji materi ini adalah sebaik baik nya keputusan ketata negaraan. Sekian, tks