Konten dari Pengguna

Pers Orde Lama: Suara Demokrasi atau Instrumen Kekuasaan?

Wanda Marshanda
Mahasiswa Ilmu Sejarah, UNNES
18 Desember 2024 16:41 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wanda Marshanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pers menjadi sebuah alat komunikasi massa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengetahui berbagai macam informasi mengenai kejadian ataupun berita-berita yang terjadi di sekitar mereka, pers juga dijadikan sebagai media untuk mendiskusikan isu-isu publik dan mengawasi kekuasaan pemerintah. Namun, di dalam konteks sejarah Indonesia, khususnya pada masa Orde Lama (1950-1966) peran pers sering dipertanyakan. Apakah pers pada masa itu benar-benar berfungsi sebagai suara demokrasi atau justru menjadi instrumen kekuasaan bagi pemerintah? Orde Lama merupakan sebuah istilah yang merujuk pada masa pemerintahan Indonesia dibawah pimpinan Presiden Soekarno yang berupaya untuk membangun identitas nasional serta mengarahkan Indonesia maju menuju kemandirian setelah merdeka dari penjajahan. Di masa Orde Lama sistem pemerintahan mengalami beberapa perubahan, di mulai dari sistem demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin yang ditetapkan oleh Dekrit Presiden pada tahun 1959.
ADVERTISEMENT
Pers Masa Demokrasi Liberal
Masa demokrasi liberal di Indonesia di mulai sejak tahun 1950-1959 di mana pada periode ini pers memiliki kebebasan yang terjamin, siapapun yang memiliki modal berupa uang tidak pedli berasal dai golongan manapun atau menganut ideologi politik apapun dapat menerbitkan pers tanpa memerlukan izin dari pemerintah. Bahkan, pada masa ini pemerintah berusaha untuk memajukan usaha penerbitan pers dengan cara memberikan bantuan modal, subsidi ubtuk kertas koran, alat-alat cetak serta berlanggana setiap surat kabar terbit. Hal ini memungkinkan bagi berbagai media massa untuk berkembang serta menyampaikan beragam informasi kepada publik yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang menegaskan bahwa hak bagi setiap individu untuk menyatakan pendapat, yang secara langsung mendukung kebebasan pers. Pada masa ini, pers Indonesia mencapai puncak kebebasannya, mereka dapat memuat berbagai macam kritik terhadap pemerintah serta mengangkat isu-isu sosial. Sehingga, dapat dikatakan bahwa media berfungsi sebagai pengawas pemerintah dan wadah untuk menyuarakan berbagai ideologi dari nasionalis, islmasis hingga komunis. Pers juga memainkan peran penting untuk membangun kesadaran politik dalam lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, kebebasan pers tidak selalu menunjukkan kestabilan, adanya pengaruh politik membuat media harus terlibat dengan konflik-konflik partai yang ada. Hal ini membuat pers pada masa demokrasi liberal dijadikan sebagai alat propaganda dari partai politik di mana beberapa partai di Indonesia pada saat itu memiliki berbagai media atau surat kabar sebagai alat untuk menyuarakan hal-hal yang berkaitan dengan partainya sehingga, pada masa ini pers dianggap sebagai partisan. Munculnya pers sebagai media partisipan menyebabkan berita-berita yang dimuat sering kali menjadi bias dan sensasional. Dengan kata lain, meskipun terdapat ruang untuk kebebasan berpendapat, pers seringkali digunakan sebagai alat untuk mempromosikan agenda politik partai-partai besar.
Pers Masa Demokrasi Terpimpin
Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menadakan berakhirnya sistem Demokrasi Liberal yang menjamin kebebasan pers menjadi era Demokrasi Terpimpin yang menjukan sikap otoriter Soekarno. Dalam sistem ini, pemerintah mulai menerapkan kontrol yang lebih ketat terhadap pers. Presiden Soekarno mewajibkan pers untuk setia terhadap ideologi landasan politiknya yaitu Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Kebijakan yang dibuat oleh Soekarno bertujuan untuk memobilisasi rakyat serta memastikan bahwa media berfungsi sebagai alat untuk mendukung agenda pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno tidak ragu untuk melarang surat-surat kabar yang menentangnya. Hal ini membuat beberapa surat kabar yang menentang komunisme melakukan perlawanan dengan mengatasnamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun, pada kenyataannya Soekarno lebih memilih kaum kiri serta surat kabar kaum kanan yang anti komunis dilarang terbit oleh sebab itu di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno surat kabar yang dikelola oleh kaum komunis tumbuh dengan subur. Kemudian, terdapat beberapa surat kabar yang berusaha untuk mendukung ideologi tersebut justru mengalami peningkatan jumlah penerbitan. Soekarno cenderung memperlakukan pers sebagai extenson of powernya, di mana pada tahun-tahun ini pers komunis dan partisipan-partisipannya dianggap berkuasa. Hal ini merupakan konsekuensi-konsekuensi logis dari semangat serta meningkatnya pengaruh politik PKI beserta Soekarno.
ADVERTISEMENT
Pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang menempati posisi sentral dalam kehidupan politik mulai memanfaatkan kharisma yang ia miliki, pertentangan politik, kepentingan dalam negeri dan kemampuannya dalam berpidato yang memukau untuk memperkokoh kedudukannya. Disamping itu, presiden Soekarni juga memanfaatkan media massa guna mencapai keinginanya untuk tetap berada di posisi yang diinginkan dalam bidang politik. Oleh sebab itu, kebebasan pers diatur sepenuhnya oleh kekuasaan pemerintah dan setiap berita yang akan disampaikan harus sejalan dengan kebijakan dan ideologi pemerintah. Selain itu, pemerintah juga melakukan berbagai regulasi untuk mengendalikan isi berita dengan mewajibkan bagi setiap surat kabar untuk memiliki Surat Izin Terbit (SIT), bagi mereka yang melanggar akan mendapatkan sanksi berupa pembredelan.
Kondisi yang dialami mengenai kebebasan pers pada masa Demokrasi Terpimpin menimbulkan ketakutan di berbagai kalangan jurnalis, mereka merasa terpaksa untuk membatasi diri mereka guna melindungi keselamatan pribadi serta menjaga kelangsungan pekerjaan mereka. Banyak wartawan yang memilih untuk menyesuaikan diri dengan ideologi Nasakom dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daripada mereka harus mengambil resiko untuk menerbitkan berita yang memuat kritik terhadap pemerintah. Hal ini membuat suara-suara kritis yang seharusnya ada dalam masyarakat menjadi lenyap. Oleh karena itu, masa Demokrasi Terpimpin dianggap sebagai periode terburuk bagi kebebasan pers di Indonesia. Meskipun terdapat beberapa upaya dari sebagian jurnalis untuk tetap menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, tekanan dari pemerintah membuat banyak dari mereka terpaksa menyesuaikan berita yang mereka muat agar tidak berbenturan dengan kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pers pada masa Demokrasi Liberal mencerminkan keberadaan dua hal yang saling berkaitan yaitu kebebasan dan konflik politik. di satu sisi, pers berperan sebagai sarana kontrol sosial yang kritis terhadap pemerintah, memperkuat budaya demokrasi melalui opini publik. Namun, adanya perpecahan antara partai-partai politik membuat pers tidak sepenuhnya netral, bahkan sering terlibat dalam permainan politik partai hingga menjadi alat propaganda. Peralihan menuju Demokrasi terpimpin mengakhiri masa-masa kebebasan pers tersebut. pemerintah mengambil kendali penuh atas media massa, mengubahnya menjadi instrumen negara yang menyuarakan ideologi Nasakom. Media yang dianggap membahayakan stabilitas emerintah dibredel dan wartawan yang kritis akan dipersekusi. Selain itu, peralihan dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin menunjukkan bagaimana kontrol pemerintah terhadap meda dapat mengubah fungsi pers dari suara demokrasi menjadi instrumen kekuasaan. Hal ini memberikan pelajaran penting bahwa kebebasan pers seharusnya disertai dengan stabilitas politik serta regulasi yang menjamin kebebasan media. Demokrasi tidak dapat berjalan tanpa pers yang bebas dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, perlu adanya upaya bersama dari pemerintah, masyarakat dan media untuk menjaga kebebasan pers dalam jalur hukum yang adil serta transparan.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Efendi, A. (2020). Perkembangan Pers di Indonesia. Alprin.
Nasution, I., & Dianto, I. (2023). Demokrasi dan Kebebasan Pers: Negara, Demokrasi, dan Kebebasan Pers Sebagai Pilar Demokrasi. Ittishol: Jurnal Komunikasi dan Dakwah, 1(1), 90-107.
Nuh, Mohammad. (2020). Pers dan Dinamika Politik di Indonesia. Jurnal Dewan Pers, Vol. 21 (1)
Rahmanto, A. (2018). Kebebasan Pers. Cempaka Putih.
Saptohadi, S. (2011). Pasang surut kebebasan pers di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 11(1), 127-138.
Suwirta, A. (2008). Dinamika Kehidupan Pers di Indonesia pada Tahun 1950–1965: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Nasional. Sosiohumanika, 1(2).