Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Teknologi Perkapalan pada Akhir Masa Kerajaan Majapahit: Kapal Jung Jawa
19 Oktober 2022 12:44 WIB
Tulisan dari Wanda Tri Pangesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejarah Indonesia terkait lautnya memang tidak akan ada habisnya. Pernyataan “nenek moyangku seorang pelaut” semakin mengarah pada kebenaran, karena pada dasarnya rakyat nusantara dikenal dengan kemampuannya dalam berlayar dan melakukan eksplorasi laut bahkan jauh sebelum era Cheng Ho dan Columbus melakukan pelayaran dunia untuk mengeksplorasi bagian-bagian terjauh bumi, penjelajah laut Nusantara telah melakukan pelayaran hingga benua-benua lain.
ADVERTISEMENT
Jika melihat catatan perjalanan keagaman yang tulis oleh I-Tsing (671-695 M) yang melakukan perjalanan ke India Selatan menggunakan kapal dari Kerajaan Sriwijaya yang pada waktu itu dikenal sebagai penguasa laut selatan.
“Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak untuk penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa” itulah tulisan dari Diego de Couto dalam bukunya yang berjudul Daasiade yang terbit pada 1645 yang menggambarkan seberapa eksploratifnya orang Jawa pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Salah satu bukti kejayaan dari masyarakat Jawa di masa lampau adalah Kapal Jung Jawa, yang merupakan kapal terbesar dalam sejarah dunia. Nama Jung jika diartikan dalam Bahasa jawa kuno berarti perahu, sedangkan khazanah Melayu juga mengartikan Jung sebagai kapal yang hanya dimiliki oleh orang Jawa.
Sejarahnya bermula di era 1500-an ketika orang Jawa dikenal menguasai kawasan Asia Tenggara, dengan menguasai jalur rempah-rempah antara Maluku, Jawa dan Malaka. Sehingga lambat laun, pelabuhan Malaka menjadi pusat perdagangan pada waktu itu, pedagang, nahkoda kapal bahkan tukang kayu memilih untuk menetap di wilayah tersebut.
Kemampuan orang Jawa dalam membangun kapal juga menjadi modal untuk terus mengembangkan kapal-kapal besarnya, bahkan jika dilihat dari relief-relief pada candi Borobudur yang menggambarkan masyarakat Nusantara berlayar menggunakan Kapal Bercadik “Kapal Borobudur”. Puncak kejayaan perkapalan di Jawa adalah ketika orang Jawa berhasil membuat Kapal Jung Jawa pada abad ke 8.
ADVERTISEMENT
Kapal ini menjadi perhatian di kawasan Asia Tenggara karena teknologi yang digunakan dalam pembuatan kapal ini cukup unik. Kapal Jung Jawa dibangun tanpa paku seperti halnya pembuatan kapal Borobudur. Kapal ini terdiri dari empat tiang layar dan dinding yang merupakan gabungan dari empat lapis kayu sehingga tahan dari tembakan Meriam dari kapal-kapal Portugis.
Berat dari Jung Jawa juga bervariasi, dari kisaran 600 – 1000 ton, seperti yang digunakan oleh Kerajaan Demak dalam peperangan di Malaka tahun 1513 M. Ukuran Jung Jawa berdasarkan catatan Tome Pires dan Gaspar Correia juga sangat besar, bahkan Jung Jawa tidak dapat menepi ke daratan karena ukurannya yang begitu besar sehingga diperlukan kapal kecil untuk melakukan bongkat muat.
ADVERTISEMENT
Selain itu menurut Gaspar Correia Jung Jawa memiliki besar lebih besar daripada kapal Portugis yaitu Kapal Flor De La Mar. Kapal Flor De La Mar dikenal memiliki kapasitas 500 orang pasukan dan 50 buah Meriam, data ini jika dibandingkan dengan kapasitas Jung Jawa akan cukup timpang.
Menurut buku Majapahit Peradaban Maritim, Jung Jawa memiliki ukuran 4-5x lipat dari kapal Flor De La Mar. Jung Jawa memiliki panjang 300-400 meter sedangkan jika dibandingkan dengan kapal milik Cheng Ho yang hanya memiliki panjang 138 meter, Jung Jawa jauh lebih besar dan setara dengaan kapal induk di masa sekarang.
Kehadiran Jung Jawa pada dasarnya berfungsi sebagai kapal dagang dan juga kapal angkut militer. Berdasarkan pada catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah, sedangkan barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper hingga kayu gaharu.
ADVERTISEMENT
Namun keberadaan Jung Jawa tidak banyak diketahui oleh masyarakat banyak, hal ini disebabkan oleh terjadinya perang jawa yang menyebabkan masyarakat tidak lagi bisa memperdagangkan hasil buminya ke berbagai wilayah. Serangan dari berbagai bangsa juga telah terjadi sehingga pada 1677 M VOC mendata bahwa mayoritas masyarakat Jawa sudah tidak memiliki kapal besar lagi.
Tepat setelah kekalahannya dengan Portugis dalam menyerbu Malaka, kerajaan Jawa lebih memusatkan perhatian pada kekuatan angkatan darat, beberapa sejarawan kemudian menyimpulkan bahwa Jung Jawa bahkan budaya maritim Indonesia tidak lagi berjaya akibat kolonial Belanda dan Portugis.
Selain itu, gagalnya re-generasi maritim setelah Sultan Agung Mataram akibat sikap anti perniagaan juga menyebabkan Jung Jawa hanya menjadi cerita lama.
ADVERTISEMENT