Jalan Mewah Seorang Pengacara

Konten dari Pengguna
14 Desember 2017 21:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wandha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fredrich Yunadi (Foto: Instagram/@yunadi)
zoom-in-whitePerbesar
Fredrich Yunadi (Foto: Instagram/@yunadi)
ADVERTISEMENT
Pengacara dan kemewahan memang identik. Tidak bisa tidak. Sebab tujuan seorang pengacara, kalau saya tidak keliru, adalah menegakkan kebenaran dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Bukankah kedua hal tersebut merupakan kemewahan, baik bagi orang kecil maupun elite?
Siapa yakin telah memiliki kebenaran dan keadilan? Adakah seseorang telah selesai menegakkan kebenaran dan keadilan?
Bahkan seorang asketis dan pencari kebenaran semacam Socrates dan deretan pemikir serta kaum bijak lainnya tak pernah mendaku telah selesai dengan kedua hal tersebut.
Jadi, tentu maklum dan tak berlebihan kalau profesi pengacara disebut officium nobile yang artinya profesi terhormat. Tak semua orang memilih menjejaki hidup sebagai pengacara.
Padahal kebenaran dan keadilan yang kita tahu, kan sebatas ukuran-ukuran tertentu. Katakanlah, yang diterima mayoritas di suatu tempat pada suatu waktu.
Bayangkan, betapa rumit dan terhormatnya seorang pengacara memanggul tanggung jawab semewah itu.
Terlalu njelimet?
Pengacara Bicara tentang Kemewahan. (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengacara Bicara tentang Kemewahan. (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Menyoal kebenaran dan keadilan, saya membayangkan, suatu waktu seluruh rakyat Indonesia memiliki kekayaan seperti Fredrich Yunadi. Apakah akan ada cemooh ketika Fredrich mengutarakan hobinya bermewah-mewah seperti polahnya saat ngobrol dengan Najwa Shihab?
ADVERTISEMENT
Saya ragu. Siapa tahu kala nanti itu kebenaran dan keadilan seukur dengan polah Fredrich.
Sebetulnya tak ada yang salah dengan kemewahan. Mewah itu kan, kata KBBI, berarti serba banyak, serba indah, dan serba berlebih. Ketika semuanya serba, anda bisa membagikannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Seperti toserba alias toko serba ada. Anda kan suka pergi ke sana untuk mendapatkan sesuatu yang tak ditemukan di toko tak serba ada.
Problemnya, orang menganggap kepekaan Fredrich absen saat ia mengelu-elukan hobinya itu di depan kamera. Padahal mayoritas orang Indonesia tak seukuran (dalam hal harta dan kecongkakan) dengan Fredrich.
Jelaslah polahnya itu dianggap salah dan tak adil--sejak dalam pikiran, kata almarhum Pram.
Jadi, para pembaca yang buang-buang waktu dengan tulisan ini, masalah utamanya ada pada korupsi. Bukan pada pengacara yang mempertontonkan kemewahan, seperti yang difestivalkan berbagai media.
ADVERTISEMENT
Kemewahan orang lain heboh anda urus, sementara hak-hak anda (baca: rakyat) dirampok cuma ketawa-ketiwi dan sibuk bikin meme. Tapi, jangan-jangan, itulah kemewahan anda yang tak dapat disamai Fredrich.
Tak masalah juga dengan pengacara yang membela tersangka korupsi. Semua orang berhak mengakses keadilan seminimal mungkin.
Kalau kemudian yang disangka koruptor itu menang, bagaimana?
Silakan cek sistem peradilan dan petugas yang menjalankannya. Beres, tidak? Kalau ternyata beres tetapi yang kita sebut koruptor itu tetap menang, mungkin mesti menciptakan tolok ukur kebenaran dan keadilan baru.
Terkadang kita bagai Don Quixote yang sok-sokan menjadi pelayan kebenaran. Padahal barangkali tak lebih sekadar pelayan atas ilusi dari kebenaran kita sendiri.