Jalan Panjang Penderitaan Rohingya

31 Agustus 2017 12:17 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kekerasan dan pembunuhan terhadap etnis Rohingya seolah tak berujung. Terus terjadi tanpa penyelesaian konkret untuk mengakhiri penderitaan mereka--etnis minoritas yang disebut PBB pada 2013 sebagai kelompok yang mengalami penganiayaan paling parah di dunia.
ADVERTISEMENT
European Rohingya Council (ERC) yang berbasis di Eropa, pada Rabu (30/8), menghitung sekitar 3.000 orang Rohingya dibantai dalam tiga hari. 18 ribu lainnya melarikan diri dari Myanmar, menghindari pembantaian dan mengupayakan hidup yang lebih baik di suatu tempat yang belum tentu terpikirkan.
Menurut Council on Foreign Relations, Rohingya adalah kelompok etnis minoritas yang tinggal terutama di negara bagian Rakhine, bagian barat Myanmar. Sepertiga populasi Rakhine diperkirakan disumbang oleh satu juta orang Rohingya di Myanmar.
Rohingya berbeda dari kelompok dominan Myanmar secara etnis, linguistik, dan religius. Status ribuan warga etnis Rohingya di Myanmar saat ini tidak memiliki kewarganegaraan alias stateless. Pemerintah Myanmar menolak memberikan status kewarganegaraan Rohingya, dan akibatnya sebagian besar orang Rohingya tak memiliki dokumentasi hukum.
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
The Wall Street Journal mencatat, orang-orang Rohingya berasal dari Asia Selatan. Pada abad ke-8, mereka tinggal di sebuah kerajaan merdeka di Arakan, yang sekarang dikenal sebagai negara bagian Rakhine di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada abad ke-9 hingga abad ke-14, orang-orang Rohingya menjalin hubungan dengan para pedagang Arab. Hubungan tersebut terjalin antara Arakan dan Bengal. Kemungkinan dari hubungan inilah orang-orang Rohingya memeluk agama Islam.
Ketika Raja Burma menaklukan Arakan pada 1784, ratusan ribu orang Rohingya terpaksa mengungsi ke Bengal, yang kini menjadi bagian dari wilayah India dan Bangladesh. Sejak Inggris menguasai India, pada 1824 Burma turut ditundukkan Inggris dan menjadi salah satu provinsi India.
Banyak orang Rohingya yang berada di wilayah Bengal kemudian dipindahkan ke Burma untuk dipekerjakan membangun infrastruktur.
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Tragedi Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Dalam gelombang Perang Dunia II, pada 1942 Jepang menyerang Burma untuk mendongkel kekuasaan Inggris dari wilayah tersebut. Penduduk Burma kemudian dipecah. Orang-orang dari etnis Rohingya digerakkan untuk membantu Inggris, sementara etnis Arakan berada di pihak Jepang.
ADVERTISEMENT
Kekalahan Jepang pada 1945 dalam Perang Dunia memuat Burma dibebaskan Inggris, dengan bantuan nasionalis Burma dan etnis Rohingya, dari pendudukan Jepang. Namun setelah kemenangan itu, janji Inggris untuk memberikan otonomi di Arakan tidak ditepati.
Hingga akhirnya pada 1948, saat Burma baru merdeka, ketegangan terjadi antara pemerintah Burma dan etnis Rohingya. Banyak orang Rohingya yang menginginkan wilayah Arakan bergabung dengan Pakistan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemerintah Burma tentu tak setuju dan mengucilkan etnis Rohingya, termasuk mencabut pelayanan sipil untuk mereka.
Sejak kemerdekaan 1948 itu, pemerintah Burma telah menolak klaim historis Rohingya dan menolak mengakui kelompok tersebut sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis di negara tersebut. Rohingya sebagian besar diidentifikasi sebagai imigran ilegal dari Bengali, terlepas dari kenyataan bahwa banyak orang Rohingya tinggal di Myanmar sudah turun-temurun selama berabad-abad.
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Dua tahun kemudian, terjadi pemberontakan bersenjata oleh sejumlah orang Rohingya terhadap pemerintah. Tak ada yang signifikan dari pemberontakan tersebut. Namun ketika partai sosialis yang dipimpin Jenderal Ne Win merebut tampuk kekuasaan, etnis Rohingya menghadapi perlakuan yang lebih keras.
ADVERTISEMENT
Baik pemerintah Myanmar maupun kelompok Buddhis yang mendominasi Rakhine, yang dikenal sebagai etnis Rakhine, menolak penggunaan label “Rohingya” bagi kelompok minoritas tersebut. Sebuah istilah identifikasi diri yang muncul pada tahun 1950-an. Para ahli mengatakan bahwa sebutan itu menjadi identitas politik kolektif.
Meskipun akar etimologis dari kata tersebut diperdebatkan, asal mula yang paling banyak diterima yakni, bahwa “Rohang” adalah turunan dari kata “Arakan” dalam dialek Rohingya. Sementara “ga” atau “gya” memiliki arti “dari.”
Menurut Direktur Arakan Project Chris Lewa, sebuah kelompok advokasi yang berbasis di Thailand, dengan mengidentifikasi diri sebagai Rohingya, kelompok etnis Muslim tersebut menegaskan hubungannya dengan tanah yang dahulu berada di bawah kendali Kerajaan Arakan.
Penyiksaan Rohingya (Foto: Youtube)
zoom-in-whitePerbesar
Penyiksaan Rohingya (Foto: Youtube)
Pemerintah di negara bagian yang mayoritas penduduknya beragama Buddha telah secara rutin menganiaya dan memindahkan penduduk Rohingya secara paksa, mengubah profil etnik negara bagian Arakan.
ADVERTISEMENT
Pada 1977, pemerintah junta militer memulai Operasi Nagamin atau Dragon King, yang bertujuan untuk menyaring para penduduk asing. Lebih dari 200.000 orang Rohingya melarikan diri ke luar negeri, salah satunya Bangladesh, karena horor pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran yang dilakukan militer Burma.
Undang-undang imigrasi yang baru pada tahun 1982 mendefinisikan kembali orang-orang yang bermigrasi selama pemerintahan Inggris sebagai imigran ilegal. Pemerintah menerapkan ini pada semua Rohingya. Tujuh tahun kemudian pemerintah junta militer itu mengubah nama Burma menjadi Myanmar.
Pihak militer mengulangi kampanye anti-Rohingya pada tahun 1991 dengan gelombang serangan yang memaksa lebih dari 250.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Namun di Bangladesh kehadiran mereka pun tak diinginkan. Alasannya, pemerintah Bangladesh sudah menerima begitu banyak orang Rohingya yang mengungsi. Penduduk Bangladesh kerap memendam sentimen terhadap orang Rohingya karena khawatir peluang mata pencarian mereka diseruduk para pengungsi tersebut.
Infografis Derita Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Infografis Derita Rohingya di Myanmar (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Banyak dari orang Rohingya akhirnya dipaksa kembali ke Myanmar--ke negara bagian Arakan bagian utara, di mana pemerintah berusaha untuk memusatkan Rohingya jauh dari negara-negara bagian yang didominasi kelompok Arakan. Hak-hak dasar mereka tetap ditolak, diganti dengan berbagai peraturan ketat.
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap mereka terus berlanjut. Pada 2001, kelompok Arakan menyerang Rohingya di Sittwe, menghancurkan masjid dan sekolah.
Dalam laporan Human Rights Watch (HRW), disebutkan bahwa inti penganiayaan terhadap Rohingya adalah Undang-Undang Kewarganegaraan yang dikeluarkan pada 1982, yang secara efektif menyangkal kewarganegaraan Myanmar kepada Rohingya atas dasar etnik.
Hukum tidak menganggap Rohingya sebagai salah satu dari delapan “ras nasional” yang diakui (bersama dengan etnis Burman, Arakan, Karen, dan kelompok lainnya), yang akan memberi mereka hak kewarganegaraan.
Orang-orang dari etnis Rohingya harus memberikan “bukti yang meyakinkan” bahwa nenek moyang mereka sudah menetap di Myanmar sebelum kemerdekaan pada 1948. Sebuah tugas yang sulit jika tidak mustahil bagi kebanyakan keluarga Rohingya.
Meski pemerintah dan masyarakat luas menyebut mereka sebagai imigran ilegal Bengali, kenyataannya banyak orang etnis Rohingya yang sudah menetap di negara tersebut sejak lahir.
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Pemerintah Myanmar telah memanfaatkan status stateless ini untuk mencabut berbagai akses hak asasi manusia orang-orang Rohingya. Rohingya menghadapi pembatasan kebebasan bergerak, pendidikan, pernikahan, dan hak kerja. Juga warga negara berdasarkan hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Berbagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya telah menyertai penganiayaan terhadap Rohingya selama bertahun-tahun. Termasuk penahanan sewenang-wenang, kerja paksa, pemerkosaan, penyiksaan, pemindahan paksa, dan pelanggaran lainnya. Diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia dengan demikian menjadi sistemik dan terlembagakan.
Kekerasan terjadi pada tahun 2012, ketika sekelompok orang Rohingya dituduh memerkosa dan membunuh seorang wanita Buddhis. Kelompok Buddhis radikal lantas membakar rumah Rohingya dan membunuh lebih dari 280 orang, mengusir puluhan ribu orang lainnya.
HRW menggambarkan kekerasan anti-Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari kampanye pembersihan etnis.
Sejak tahun 2012, pengungsi Rohingya telah dipaksa untuk berlindung di kamp-kamp pengungsi yang kumuh. Lebih dari 120.000 Muslim yang didominasi Rohingya masih berada di lebih dari 40 kamp penahanan. Banyak orang Rohingya telah beralih ke tangan penyelundup, memilih untuk membayar ongkos transportasi keluar dari Myanmar untuk menghindari penganiayaan.
ADVERTISEMENT
“Faktanya bahwa ribuan orang Rohingya lebih memilih perjalanan kapal yang berbahaya karena mereka mungkin tidak akan bertahan hidup tinggal di Myanmar, sebuah gambaran tentang kondisi yang mereka hadapi di sana,” kata Kate Schuetze dari Amnesty International.
Pengungsi Rohingya (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: RETUERS/Soe Zeya Tun)
Menurut International Organization for Migration (IOM), lebih dari 88 ribu orang Rohingya melarikan diri dari represi dan kemiskinan yang ekstrem. Mereka mengarungi laut dari Teluk Benggala antara Januari 2014 dan Mei 2015..
Sebelumnya orang-orang Rohingya telah terdaftar sebagai penghuni sementara dengan kartu identifikasi, yang dikenal sebagai “kartu putih”, di mana rezim Myanmar mulai mengeluarkan banyak penganut Islam (dari Rohingya dan non-Rohingya) pada tahun 1990-an. Kartu putih memberi beberapa hak terbatas namun tidak diakui sebagai bukti kewarganegaraan.
ADVERTISEMENT
Meskipun kartu sementara itu tidak memiliki nilai legal, Chris Lewa mengatakan bahwa kartu identitas tersebut merupakan pengakuan minimal tinggal sementara bagi Rohingya di Myanmar.
Namun, di bawah tekanan dari nasionalis Buddhis yang memprotes hak Rohingya untuk memilih dalam referendum konstitusional 2015, Presiden Thein Sein membatalkan kartu identitas sementara itu pada Februari 2015--dengan efektif mencabut hak mereka yang baru memperoleh hak untuk memilih.
Pemegang kartu putih diizinkan untuk memilih dalam referendum konstitusi Myanmar 2008 dan pemilihan umum 2010.
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
zoom-in-whitePerbesar
Pengungsi Rohingya (Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain)
Pada pemilihan 2015, yang secara luas disebut bebas dan adil oleh pemantau internasional, tidak ada kandidat parlemen yang beragama Islam. “Sentimen anti-Muslim di seluruh negara bagian membuat pemerintah sulit secara politis untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap mendukung hak-hak Muslim,” tulis International Crisis Group.
ADVERTISEMENT
Serangkaian serangan terhadap pos keamanan di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh pada Oktober 2016 menghidupkan kembali kekerasan etnis di negara bagian Rakhine.
Pemerintah daerah dan pihak berwenang menyalahkan militan Rohingya atas serangan tersebut, yang mendorong masuknya pasukan militer dan polisi untuk mendukung pemburuan orang-orang yang bertanggung jawab dan untuk memperketat keamanan. Puluhan orang tewas dalam serangan, puluhan ribu orang mengungsi ke berbagai daerah, dan setidaknya 65 ribu orang menyeberang ke Bangladesh antara bulan Oktober 2016 dan awal Januari 2017.
“Ada preseden historis bagi pihak berwenang yang menggunakan kekuatan mematikan terhadap Rohingya di wilayah tersebut dan kami kembali khawatir tindakan keras sedang berlangsung,” kata Matthew Smith dari Fortify Rights, sebuah lembaga advokasi hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Perempuan Rohingya menggendong anaknya. (Foto: REUTERS/Simon Lewis)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Rohingya menggendong anaknya. (Foto: REUTERS/Simon Lewis)
HRW merilis citra satelit yang menunjukkan penghancuran baru ratusan rumah Rohingya pada bulan Oktober dan November 2016, serangkaian kekerasan yang paling mematikan sejak tahun 2012.
Laporan pada bulan November 2016 mengindikasikan bahwa aparat militer mengunci akses masuk untuk mencegah masuknya makanan dan medis yang sangat dibutuhkan dari lembaga internasional ke desa-desa.
John McKissick, Kepala Badan Pengungsi PBB, mengatakan pemerintah Myanmar melakukan “pembersihan etnis” orang-orang Rohingya. Sementara orang-orang berkumpul di kota-kota di India, Thailand, dan Bangladesh untuk mengutuk pembunuhan dan penganiayaan terhadap etnis Rohingya.