Konten dari Pengguna

Permainan Lalat

Wandha
wartawa kumparan
21 Desember 2017 13:37 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wandha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Permainan Lalat
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Lalat itu mati sekali. Tertimpa tubuh seorang pemulung yang mampus terhajar lengan truk pengeruk sampah. Bayang kisah cintanya dengan lalat di timbunan sampah lain menguasai jarak gelap ketiadaannya. Dalam waktu singkat, lalat itu bangkit dari kematian.
ADVERTISEMENT
Orang-orang berkerumun menghampiri tubuh pemulung yang mampus tanpa berdarah dan mata membelalak. Sedang si lalat meregangkan persendiannya sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan lepas diri dari timpaan tubuh si mati. Dari sela bahu kerumunan orang itu memancar cahaya matahari yang baginya terasa begitu surgawi. Namun sebagai makhluk wajar yang tak pernah membayangkan bangkit dari kematian, tentu hidup untuk kali kedua tetap membuatnya kelimpungan.
Penolakan atas hawa panas sampah dan bising kerumunan memulihkan kekuatan yang tak perlu ia perhitungkan. Lalu lalat itu terbang menembus pandang kejut mereka. Terbang, terbang dan hanya terbang untuk menjauhi tempat celaka yang telah menumpas hidupnya untuk beberapa saat.
Tubuh mati si pemulung menggantikan sampah dari perhatian utama kerumunan itu. Waktu dihitung dari aksi setiap proses evakuasi. Sementara hitungan waktu normal telah disekap sibuk atas ampas laku jantung si mati yang menolak bekerja lagi.
ADVERTISEMENT
Operator truk turun dari ruang kendalinya dan menyatu dengan orang-orang yang mengitari tubuh si mati. Tanpa perintah jelas, sekonyong-konyong mereka menggotong tubuh yang habis nasibnya itu turun dari timbunan sampah. Sebuah mobil bak telah dipersiapkan dan seorang pengemudi tengah menunggu di sisi pintu mobil sambil meneduhkan matanya dengan tangan kanan. Seolah dengan menonton rombongan penggotong, pengemudi berpakaian lusuh itu sudah ikut bantu meringankan beban penggotong si mati.
Mobil bak itu menjauh mengangkut tubuh si mati keluar dari wilayah pembuangan sampah. Kerumunan menghambur, sebagian kembali ke puncak timbunan sampah, yang lain melanjutkan urusan di warung kopi tepi jalan. Lalat itu masih terbang mengapung-apung di udara, tidak beranjak dari tempat ia memaku belasan meter dari proses evakuasi. Tidak beranjak dari pikirannya sendiri tentang hidup kali kedua.
ADVERTISEMENT
Angin lembab membawa kerinduan pada kekasihnya--seekor lalat yang bagi manusia tampak sama saja dengan lalat lain, tetapi bagi ia tentu adalah lalat paling juwita sebumi. Betapa sedih, pikirnya, jika tadi mati dan tak bangkit kembali. Kekasihnya akan berduka, lalu dipinang lalat jantan lain, membikin ia makin terbenam di pusara nasib paling sial.
Lalu lalat itu terbang menuju tempat kekasihnya tinggal, setelah terbengong-bengong menatap kerumunan para pemulung. Sore mulai melorot ketika ia tiba dan melihat kekasihnya mempurnakan diri bersolek. Kekasihnya tersenyum, membuat gairah lalat itu menggebu. Namun, ucapan pertama yang terlontar dari mulutnya bukan “aku rindu kamu” seperti biasanya, tetapi “aku bangkit dari kematian”.
“Ngngng ng ngngngng ngngng ngng. Ngngng ngng ngngng ng ng ngng ngngng ngng ngngng, ngng ng ngngng ng ngngggggngng,” kata lalat jantan itu.
ADVERTISEMENT
“Ngng ng ng ngngng ngngngngng. Ngng ng?” tanya kekasihnya tanpa tersisip kejut.
Lalat jantan menjelaskan maksudnya, disertai gerakan tubuh memeraga selaras dengan ucapannya. “Ngngng ngngngn ngng ng ng ng ngngng ng ngngng ngngng ng ng ngng ngngng ng ngngng. Ngng ngngngng ng ngng ngng ngggg ngngng ngng ngng ng ngngngngng. Ng ngng ngng ng ngngng nggg.”
“Nggggg ngngng ng ngngngng ngng ng ng ng ngggngngng ngngng,” tanggap sang kekasih yang lalu dibalas lalat jantan dengan pagutan di bibir.
Mereka bercumbu di atas selembar kartu remi yang sudah koyak salah satu sisinya. Seperempat bagian matahari masih tampak di ufuk barat, membikin siluet dua ekor lalat yang sedang bercinta itu. Syahdu.
ADVERTISEMENT
“Ng ngngng ng ng ngng ngngngng ngngnggg ngngng ng ngng ng ngngng ng. Ngng ng ng ng ngngng ngngng,” ucap kekasihnya ketika selesai bercinta. Hanya dengan anggukan dan sinar mata meyakinkan lalat jantan menjawab sang kekasih.
Pagi keesokan hari, lalat jantan itu mulai membabi buta buang kotoran pada orang-orang di wilayah pembuangan sampah. Pemulung, penadah, operator truk, pengawas lapangan, pemilik warung kopi dan siapa pun yang berada di tempat paling bau kota itu, tidak akan ada satu kulit pun yang luput jadi kakus si lalat jantan. Bahkan seandainya mungkin, ia juga menghendaki berak pada lalat-lalat lainnya. Sayang, ia sendiri tidak tahu di mana letak kening seekor lalat. Cuma pada kening ia akan berak.
ADVERTISEMENT
Mula-mula ia berak di kening seorang laki-laki dengan janggut tipis, kulit legam dan cangkang mata cekung. Korban pertamanya itu ia beraki ketika sedang menimbang karung-karung berisi sampah milik pemulung. Laki-laki itu hanya menggaruk pelan keningnya dengan jari berselip kretek.
Tak mudah buang kotoran banyak-banyak sebab mesti ia imbangi dengan makan banyak juga. Hanya lima belas orang yang sanggup lalat itu temploki keningnya pada hari pertama.
Habis seharian menyisakan jejak hidupnya itu, ia berkunjung ke tempat kekasihnya untuk bercinta. Hanya untuk bercinta. Kekasihnya enggan mendengar kabar tentang pekerjaan barunya sebelum kening semua orang berhasil ia tandai.
Pekerjaan itu benar-benar menjadi rutinitasnya. Setiap hari orang-orang dengan lukisan titik di kening selalu bertambah. Capaian itu membuat si lalat jantan sering semringah sendiri saat sedang terbang berkeliling mencari korban baru. Capaian itu juga menimbulkan bangga yang jadi bentengnya atas rasa bosan.
ADVERTISEMENT
Bersama itu, diam-diam kekasihnya menyebar kabar kepada masyarakat lalat tentang semua urusan mereka berdua. Tentang sang kekasih yang bangkit dari kematian dan misi yang bikin orang-orang di wilayah pembuangan sampah itu punya tanda yang sama satu per satu. Omongan lalat betina itu segera dipercaya, tak lain karena ia punya pesona di antara masyarakat lalat.
Omong-omong perkara itu kian menyebar. Para jantan dari masyarakat lalat praktis menganggap si jantan yang bangkit dari kematian itu sebagai lalat sakti. Tetapi meski dianggap sakti, mereka malah keranjingan membantunya untuk berak di kening orang-orang. Pikir mereka, lalat sakti adalah jenis yang paling terhormat dan karenanya mesti dimudahkan hidupnya. Selain itu tentu mereka berharap penularan atas kesaktian itu.
ADVERTISEMENT
Sementara para betina dari masyarakat lalat dibikin iri dengan nasib kekasih sang lalat sakti. Sampai-sampai memotivasi kekasih mereka sendiri untuk menjungkalkan hidup pemulung supaya mampus ditimpa lengan truk pengeruk sampah. Dan dalam sekali tindak secara sukarela menyerahkan jiwa mereka ditimpa tubuh si pemulung. Sebuah percobaan yang semua masyarakat lalat ragu dan tahu hasilnya bakal tentu buntu.
Merasa pekerjaannya dimudahkan oleh lalat-lalat yang meniru lakunya, sang lalat sakti tak ambil pusing meski ia telah tahu rumor yang memenuhi telinga masyarakat lalat itu. Barangkali itu suatu keajaiban baginya, dan melalui rumor itu ia meyakini suatu energi magis memang telah memberinya kesaktian, yang lebih mirip optimisme Leibnitzian.
Seluruh penduduk dibikin bingung dengan situasi ini. Setelah melalui serangkaian musyawarah, akhirnya Kepala Penduduk memutuskan untuk menetapkan hukum bahwa seluruh penduduk diwajibkan menutupi kening mereka. Keputusan itu menyelamatkan belasan orang tersisa, termasuk Kepala Penduduk, yang belum dijahanami sang lalat sakti.
ADVERTISEMENT
Kening seluruh penduduk kini tampak biru muda sebab warna masker yang menutupinya. Masker itu dibagikan secara massal di balai warga sehari setelah Kepala Penduduk mengumumkan keputusan bersama. Tak seorang pun, tak kecuali orang-orang terpelajar yang telah diminta memikirkan keganjilan itu, paham mengapa lalat-lalat hanya berak di kening mereka.
Tindakan pertahanan para penduduk itu dianggap sebagai sikap permusuhan oleh lalat sakti. Sebenarnya sentimen lalat sakti ini lebih didorong kerapuhannya atas kekecewaan kekasihnya karena ia tak berhasil memberaki semua penduduk. Lalat sakti merasa tak cukup becus memenuhi permintaan kekasihnya. Namun percaya ia mampu menggantinya dengan sesuatu yang lebih berarti. Ia membayangkan sesuatu yang jahat.
Angin berdebur menggempur kulit orang-orang di bawah matahari sepenggalah. Lalat sakti tercenung di meja sebuah warung makan paling laris di wilayah pembuangan sampah itu. Tangannya lalu menggebrak meja. Dengan sekali tindak ia lepas landas. Kepak pertama sayapnya menyibakkan keteguhan pendirian. Lalat dengan optimisme Leibnitzian kita kini tidak mau dan mampu lagi memberaki kening manusia.
ADVERTISEMENT
Berderet makanan matang di etalase menggoda dan menggenapkan niat lalat sakti. Apalagi tujuannya kalau bukan menyebarkan segala kuman dan patogen yang ada di tubuhnya. Mula-mula ia curahkan muntahnya ke sayur sop di sebuah panci. Kemudian mendarat ia di atas piring berisi tumis capcai. Ia keset-kesetkan sekujur kakinya pada makanan itu, lalu ia ludahi. Sesekali ia telentangkan tubuhnya dan berguling-guling, agar kian jahanam segala penyakit yang akan menyebar.
Satu dua tiga hari ia merasa pekerjaan itu membuatnya lebih kelelahan dibandingkan memberaki kening, tetapi sekaligus kesenangannya makin meningkat. Lalat-lalat lain yang memperhatikan aktivitasnya itu tak kepalang repot untuk bertanya-tanya. Bagi mereka, apa yang dilakukan lalat sakti adalah apa yang mesti mereka lakukan juga dengan tingkat presisi seketat mungkin.
ADVERTISEMENT
Mengukur pentingnya kekuatan para pengikutnya--baik pengikut hanya dalam arti teknis maupun dalam arti psikologis, lalat sakti untuk kali pertama mengumpulkan masyarakat lalat. Ia memberikan khotbah pada mereka, yang dari keseluruhan khotbahnya dapat diringkas begini:
Wilayah pembuangan sampah ini akan menjadi kota suci pertama bagi lalat di seluruh dunia. Dari kota suci ini, lalat akan meningkatkan kebudayaan dan membangun peradaban lalat setinggi-tinggi dan semurni-murninya. Takdir alam telah berubah. Lalat akan menjadi makhluk hidup paling puncak mutunya dan harapan bagi seluruh makhluk yang kehormatan dan kebajikkannya tidak lebih adiluhung dari lalat. Semua itu--bagian ini merupakan inti kalimat penutup khotbah lalat sakti--adalah tugas yang diberikan takdir ketika ia mengalami sepenggal kematian menuju surga dan bangkit dengan kesucian untuk membawa misi mendirikan surga di bumi bagi lalat.
ADVERTISEMENT
Selepas khotbah itu, masyarakat lalat mengorganisir diri mereka untuk menjalankan tugas pertama menuju kemuliaan: menumpas semua manusia di wilayah pembuangan sampah itu.
Hari berganti hari dan seterusnya. Masyarakat lalat membuang muntah, taik, dan hal ihwal kotoran lain yang ada di tubuhnya pada makanan manusia. Satu demi satu orang-orang di wilayah tersebut jatuh sakit. Kesepakatan dengan tikus juga akhirnya dibuat, bahwa pada malam hari di mana lalat tidak terbiasa aktif, maka tikus akan melaksanakan operasi senyap menyebar petaka di dapur-dapur dan seluk-semeluk tempat dan benda yang digunakan keseharian manusia.
Bagi tikus-tikus ini, tentu surga di bumi bagi lalat hanya bual. Bagi tikus-tikus ini, yang paling penting ialah kenikmatan menggasak semua yang bisa disantap ketika manusia sudah musnah. Yang terakhir ini merupakan butir paling diterima ketika lalat mengajak mereka berunding.
ADVERTISEMENT
Diare, tipus, dan disentri menjangkiti tubuh masyarakat manusia wilayah itu. Praktik kesehatan di klinik menjadi lebih sibuk. Angka-angka yang ditunjukkan dalam laporan mingguan di sebuah papan tulis klinik itu mengabarkan kesusahan bagi manusia, tetapi capaian yang membanggakan bagi lalat.
Kematian manusia pertama yang didambakan masyarakat lalat jatuh pada nasib seorang pemulung usia setengah baya di sebuah siang pada tepi bulan pengujung tahun. Pemulung itu mampus saat mengumpul sampah di malam hari. Sampai lima hari, bangkainya baru berhasil ditemukan. Sementara lalat yang penciumannya lebih bercita rasa tinggi dalam hal ini telah mengetahui kematian itu kurang dari tiga jam sejak tubuh si pemulung tak lagi mengeluarkan aroma kehidupan.
Sebab kematiannya, menurut analisa medis, tak lain penyakit kolera. Evakuasi lima hari sejak tubuh itu mati artinya memberikan waktu serentang itu pula bagi lalat untuk menyebarkan penyakit kolera melalui tubuh mati itu. Status wilayah itu lalu ditetapkan dalam keadaan darurat menyusul angka penderita segala gejala wabah kolera bertambah mencolok dalam hitungan hari. Dan dua belas kematian selanjutnya sejak yang pertama.
ADVERTISEMENT
Wabah kolera bukan lagi kekhawatiran hanya dalam benak orang-orang klinik. Kecemasan mendalam mulai berjangkit di setiap rumah penduduk. Kami dilarang ke luar dari wilayah tempat bermukim, tempat kami berbagi kehidupan dengan sampah satu kota. Kepala Penduduk mengumumkan kebijaksanaan itu pagi lalu atas nama perintah dan kewenangan pemerintah daerah. Kami harus puas menerima keterbatasan alat deteksi infeksi dan vaksin yang menjadi alasan pengurungan ini.
Menempuh jalan ke luar tak mungkin diakali, sebagaimana upaya sia-sia kami berlindung di balik dinding rumah. Keadaan buruk dan semakin merosot. Tidak ada keluar atau masuk truk pengangkut sampah lagi. Pula tidak ada yang perlu dipulung jika di pasar tidak ada lagi yang bisa dimasak dalam keadaan segar. Tidak ada orang tidak percaya bahan pokok makanan tidak berbaur dengan kolera. Kami bahkan mencoba bertahan dengan satu galon air untuk semua kebutuhan selama lima hari.
ADVERTISEMENT
***