Myanmar, Medan Tempur 18 Kelompok Bersenjata

4 September 2017 11:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tentara Myanmar memburu Rohingya. (Foto: REUTERS/Simon Lewis)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Myanmar memburu Rohingya. (Foto: REUTERS/Simon Lewis)
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap Rohingya bukan dimulai kemarin sore. Ini perkara panjang yang tak rampung berpuluh tahun. Sebelum miiter Myanmar memburu dan membunuhi orang-orang Rohingya akhir Agustus 2017, peristiwa serupa terjadi menjelang akhir 2016.
ADVERTISEMENT
Pada 9 Oktober 2016, serangan mematikan terhadap polisi penjaga perbatasan (Border Guard Police; BGP) di utara negara bagian Rakhine, Myanmar, menjadi pemicu meletusnya konflik--sudah tentu bukan yang pertama.
Pemicu itu dieskalasi dengan tewasnya seorang petugas militer senior pada bulan berikutnya, 12 November. Lalu, pada hari-hari berikutnya, 4 kelompok bersenjata melancarkan serangan terkoordinasi terhadap pos-pos militer, kantor polisi, dan pusat perdagangan di Muse dan kota-kota Kutkai di utara negara bagian Shan.
Keempat kelompok bersenjata itu adalah Kachin Independence Organization (KIO), Palaung State Liberation Front (PSLF), Myanmar National Democratic Alliance Army (MNDAA), dan Arakan Army (AA)--dan kemudian bertambah lagi dengan kemunculan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Konflik bersenjata yang terjadi di Myanmar terbilang rumit. Persoalan bukan sekadar seperti yang dibayangkan kebanyakan orang, yakni antara minoritas Muslim Rohingya dengan militer yang didukung penganut Buddha radikal.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, ada banyak konflik bersenjata yang melibatkan berbagai kelompok berdasarkan kepentingan masing-masing di Myanmar. Mulai dari urusan etnis, agama, distribusi ekonomi, sumber daya alam, narkotika, dan perdagangan senjata.
Capaian yang hendak dicapai oleh para pemberontak biasanya antara memperoleh otonomi khusus bagi wilayah mereka masing-masing, hingga keinginan menjadi negara merdeka.
Mayoritas Burman--sebutan untuk orang-orang dari etnis Burma--yang berjumlah 60 persen dari populasi Myanmar telah terlibat, sejak akhir Perang Dunia II, dalam sebuah kampanye pembersihan etnis melawan 135 etnis minoritas lainnya.
Konflik internal berkepanjangan di antara etnis-etnis di Myanmar, seperti dikatakan seorang eksekutif pertambangan global Stanley Weiss, sebagian besar karena perebutan jalur perdagangan di perbatasan negara Myanmar dan perebutan lahan di atas perut bumi yang menyimpan sumber daya alam melimpah.
Peta Potensi Ekonomi Myanmar (Foto: Ridho Robby/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Potensi Ekonomi Myanmar (Foto: Ridho Robby/kumparan)
“Apa yang terjadi di Burma bukan hanya tentang politik dan hak asasi manusia, tapi juga kontrol atas tanah dan hasil tanah. Ini tentang mengendalikan tanah leluhur etnis yang kaya akan sumber daya alam, dan tidak dapat secara bersama-sama mengeksplorasi dan berbagi kemakmuran,” kata seorang penasihat militer Amerika Serikat yang sudah pensiun.
ADVERTISEMENT
Seorang pengusaha Myanmar, seperti ditulis Stanley Weiss dalam Myanmar: A Nation at War With Itself, menambahkan, “Pada akhirnya, ini tentang hak ekonomi. Etnis tidak pernah merasa memiliki apapun dan pemerintah perlu memberi mereka beberapa.”
Saat ini setidaknya terdapat sekitar 18 kelompok yang terlibat konflik internal di tanah Myanmar. Ada dua preseden yang cenderung menjadi latar belakang lahirnya kelompok-kelompok tersebut, yakni berkuasanya diktator tangan besi Jenderal Ne Win, politikus sosialis sekaligus komandan militer, melalui kudeta pada 1962. Ia berkuasa sebagai perdana menteri sekaligus kepala negara hingga 1981.
Preseden kedua, undang-undang kewarganegaraan yang dikeluarkan pada 1982, yang menyebutkan bahwa orang-orang yang bermigrasi ke Burma selama pemerintahan Inggris merupakan imigran ilegal.
Namun selain kedua faktor itu, tentu saja preseden historis memainkan peran besar saat Inggris berkuasa atas wilayah Myanmar.
ADVERTISEMENT
Sebanyak 18 kelompok bersenjata di Myanmar tersebut, berdasarkan data Myanmar Peace Monitor adalah Karen National Union (1947), Karenni National Progressive Party (1957), New Mon State Party (Juli 1958), Kachin Independence Organization (5 Februari 1961), Restoration Council of Shan State (1964), Arakan Liberation Party (9 April 1967), National Socialist Council of Nagaland-Khaplang (1 Januari 1980), Chin National Front (20 Maret 1988), All Burma Student's Democratic Front (1 November 1988).
Selanjutnya Shan State Progres Party/Shan State Army (1989), National Democratis Alliance Army-Eastern Shan State (1989), Myanmar National Truth and Justice Party (11 Maret 1989), United Wa State Party (17 April 1989), Palaung State Liberation Front (Januari 1992), Karen Peace Council (31 Januari 2007), Arakan Army (2008), Pa-Oh National Liberation Organization (2009), dan Democratic Karen Benelovent Army (8 November 2010).
Rohingya dan Etnis Lain di Pusaran Ekonomi (Foto: Ridho Robby/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rohingya dan Etnis Lain di Pusaran Ekonomi (Foto: Ridho Robby/kumparan)
Untuk mendorong rekonsiliasi nasional, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi terus berupaya mendorong rekonsiliasi nasional, salah satunya dengan mengadakan “21st Century Panglong Conference” pada Agustus 2016. Konferensi tersebut rencananya akan diadakan enam bulan sekali, dengan harapan perdamaian utuh dapat dicapai Myanmar pada 2019 atau 2020.
ADVERTISEMENT
Dari 18 kelompok di atas, 14 di antaranya saat ini berkomitmen untuk melakukan gencatan senjata. Sementara 4 lainnya masih melangsungkan pertempuran, yakni Arakan Army (di Rakhine yang dihuni Rohingya), Kachin Independence Organization, Palaung State Liberation Front, dan Myanmar National Truth and Justice Party.
Dengan kelompok pemberontak hampir 20 macam ini, tak heran jika kekerasan berdarah dan konflik internal di Myanmar berlangsung puluhan tahun tanpa terlihat penyelesaiannya hingga kini.
Jika seluruh pasukan dari 18 kelompok bersenjata itu ditotal, jumlahnya sekitar 86.000 orang, dengan kekuatan paling besar dimiliki oleh United Wa State Party sebesar 30.000 orang militan.
Itu pula yang menjadi salah satu alasan militer Myanmar terus menambah kekuatan dan represinya. Namun tentu saja, tak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk membunuhi warga sipil tak bersalah. Operasi perburuan semestinya diarahkan pada kelompok bersenjata, bukan masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT