Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Dunia Mungkin Kacau, Tapi Paginya Tidak: Seni Menjadi Stoik di Era Modern
10 April 2025 9:34 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Wardokhi - tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap pagi, kita bangun dengan cepat: buru-buru mengecek notifikasi, menyiapkan diri menghadapi kemacetan, pekerjaan, atau tugas rumah tangga. Kita menyambut hari seperti robot yang dikendalikan oleh rutinitas. Tapi bagaimana jika kita bisa memulai hari dengan tenang, kuat, dan penuh kesadaran? Di sinilah Stoikisme, filsafat kuno dari masa Romawi, menawarkan sesuatu yang sangat relevan untuk kehidupan modern.
ADVERTISEMENT
Stoikisme bukan sekadar wacana ruang kelas atau buku tebal tentang moral. Ia adalah seni hidup. Para filsuf seperti Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca mengajarkan cara memulai hari dengan pikiran yang jernih dan hati yang kokoh, meski dunia di luar tak menentu. Melalui praktik sederhana yang bisa dilakukan tiap pagi, Stoikisme mengajak kita menjadi lebih dari sekadar manusia produktif—tapi manusia yang sadar, tangguh, dan bijak.
Bangun dan Sadari Bahwa Kita Hidup
Langkah pertama adalah kesadaran: bahwa kita hidup hari ini. Bangun pagi bukan sekadar membuka mata, tapi membuka pikiran. Marcus Aurelius pernah menulis dalam jurnalnya, “Bangunlah dengan sadar bahwa ini adalah kehidupan dan kamu masih memilikinya.” Kalimat itu bukan puisi, tapi pengingat bahwa hari ini adalah kesempatan baru yang tidak dijamin akan ada esok.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik, cukup ambil satu menit setelah bangun dan katakan dalam hati: “Aku bersyukur masih hidup hari ini. Ini kesempatan untuk berbuat baik.” Dengan memulai hari seperti ini, kita tidak sedang lari dari hidup kita justru sedang memeluknya sepenuhnya.
Premeditatio Malorum: Siap Hadapi yang Tak Terduga
Stoikisme juga mengajarkan latihan mental bernama Premeditatio Malorum, atau "membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi." Tujuannya bukan membuat kita paranoid, melainkan memperkuat batin kita agar tidak kaget ketika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana.
Bayangkan kamu hari ini akan macet, dimarahi atasan, atau ada janji yang batal. Lalu tanya diri sendiri, “Jika itu terjadi, bagaimana aku akan merespons dengan bijak?” Ini adalah cara kuno untuk membangun kekebalan mental seperti latihan imun bagi jiwa. Saat orang lain frustasi karena dunia tak sesuai harapan, Stoik justru sudah siap menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Tulis Niat Baikmu Hari Ini
Marcus Aurelius menulis jurnal setiap pagi, bukan untuk pamer, tapi sebagai cara mendisiplinkan pikirannya. Kita pun bisa meniru itu. Ambil buku kecil, dan tuliskan niatmu: ingin sabar, ingin adil, ingin menjaga ucapan. Ini bukan sekadar catatan, tapi semacam kompas moral harian.
Misalnya, tulislah:
“Hari ini aku akan menjaga pikiranku tetap jernih, dan memilih bersikap tenang meski ada yang membuat kesal.”
Dengan begitu, kita punya pengingat ketika godaan untuk bereaksi berlebihan muncul.
Syukuri yang Sering Terlupakan
Stoikisme mengajarkan bahwa yang paling penting seringkali adalah yang paling kita abaikan. Bisa bernapas, bisa bergerak, bisa bertemu orang tersayang—itu semua bukan hak, tapi anugerah. Maka bersyukurlah, sebelum dunia memaksamu kehilangan sesuatu baru sadar betapa berharganya itu.
ADVERTISEMENT
Setiap pagi, pikirkan tiga hal yang kamu syukuri. Ini bukan sekadar positif thinking, tapi latihan melihat kenyataan dengan lebih jernih.
Peneguhan Diri: Satu Kalimat untuk Sepanjang Hari
Tutup rutinitas pagi Stoikmu dengan satu kalimat afirmasi yang akan kamu pegang sepanjang hari. Kalimat itu seperti jangkar saat badai datang.
Contohnya:
“Aku tidak bisa mengendalikan dunia, tapi aku bisa mengendalikan diriku.”
“Hari ini aku hidup sesuai nilai-nilai, bukan emosi sesaat.”
Kalimat itu akan menuntunmu tetap waras di tengah riuhnya dunia.
Menghidupkan Filsafat di Kehidupan Modern
Stoikisme tidak memerlukan tempat khusus. Ia bisa dimulai dari meja kerja, kamar tidur, bahkan di dalam angkutan umum. Rutinitas pagi Stoik bukan tentang waktu yang panjang, tapi tentang niat yang dalam. Dengan 15–30 menit, kita bisa mempersiapkan diri bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk hidup secara utuh.
ADVERTISEMENT
Di tengah dunia yang cepat, penuh distraksi, dan tekanan, Stoikisme mengingatkan kita bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki semuanya, tetapi tentang mengendalikan diri, menyambut hidup dengan bijak, dan menanggapi setiap kejadian dengan kesadaran.
“The obstacle is the way.” – Marcus Aurelius
Hambatan bukan musuh, tapi jalan. Dan pagi yang baik adalah awal dari jalan itu.
Siap jadi Stoik pagi ini?
Mulailah dari hal sederhana. Karena hidup yang besar, dibangun dari pagi-pagi yang kecil tapi bermakna.