Konten dari Pengguna

Golput Melonjak: Alarm Distrust Pemilu

Edward Wirawan
Direktur Eksekutif Kasimo Institute. (Penulis dan Editor di Stagingpoint).
11 Desember 2023 9:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Edward Wirawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi golput Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi golput Foto: Herun Ricky/kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia sedang menghitung mundur pemilu serentak 2024. Tensinya sudah riuh. Itu tampak di lini media massa dan media sosial. Semakin riuh, ketika isu dinasti politik hingga drakor (drama korea) menjadi tajuk pemberitaan media massa. Putusan Majelis Konstitusi soal batasan usia dianggap publik sebagai celah bagi Gibran jadi cawapres Prabowo. Gibran anak presiden, makanya jadi gaduh.
ADVERTISEMENT
Gibran juga kader PDIP. Lantas, PDIP yang ditinggalkan menabuh genderang perang. Itu kiranya terwakili dengan apa yang disampaikan salah satu pentolan partai itu, Adian Napitupulu yang katakan; “Kita melawan anak mantu Presiden Soeharto dan anak presiden saat ini.”
Sekilas, kita mengeryitkan dahi. Publik tahu, Adian adalah apologist (pembela) utama Presiden Jokowi di ruang publik. Ia kerap harus duel argumen dengan para pengkritik Jokowi termasuk Fahri Hamzah. Kini, situasi itu berbalik. Fahri melindungi Gibran, anak Jokowi dari segala sangka Adian dan kubu lawan.
Tapi politik memang demikian, kerapkali tak terduga. Seperti barisan golput (Golongan Putih) di pemilu 2024 mendatang; siapa yang menduga jumlahnya? Jika melihat catatan survei saat ini, maka pemilu mendatang rentan dengan maraknya golput.
ADVERTISEMENT
Survei Litbang Kompas per Oktober 2022 mencatat, jika kontestasi hanya diikuti Ganjar dan Prabowo, maka kisaran potensi golput sekitar 8,9-14,9 persen. Potensi membesar menjadi 10,9-16,5 persen jika hanya Ganjar dan Anies yang bertarung. Jika Prabowo dan Anies, maka angkanya naik menjadi 15,8-21,4 persen. Menukil lebih jauh ke belakang, dalam survei pemilih muda (usia17-39 tahun) Center for Strategic and international Studies (CSIS) per September 2022 menemukan adanya penurunan signifikan dukungan pada demokrasi. Jika pada 2018 dukungan berkisar pada 68,5 maka pada per Agustus 2022 menurun menjadi 63,8.
Perlu digarisbawahi, kedua survei di atas berumur setahun. Di mana belum ada pasangan yang pasti soal calon presiden dan wakil presiden, dan belum ada kisruh politik dinasti dan semacamnya.
ADVERTISEMENT
Catatan Dua Dekade
2004 menjadi tahun bersejarah. Paska Reformasi 1998, Indonesia akhirnya bisa menggelar pemilu langsung legislatif dan eksekutif. Antusiasme masyarakat tampak nyata. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut angka golput di pilpres 2024 berkisar pada 23,30%. Itu angka yang besar. Tapi untuk permulaan proses pemilu demokratis, itu tidaklah buruk.
Yang terjadi kemudian, tren golput sejak pemilu 2024 justru menanjak. Menurut data KPU, 27,45% pada 2009, dan 30,42% pada 2014. Banyak variabel perihal membesarnya angka golput di dua periode rezim SBY itu. Korupsi menjadi sebab paling besar yang berujung pada menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Ujungnya, legitimasi politik pemilu dipertanyakan dan konsekuensi tak terelakan: mengkerdilnya kekuatan Partai Demokrat.
Jokowi kemudian melenggang ke istana via pemilu dengan prosentase golput terbesar dalam sejarah demokrasi Indonesia. Era Jokowi, index demokrasi cenderung menurun. Kendati demikian, partisipasi pemilu 2019 lebih tinggi dari pemilu sebelumnya. Pada 2019, angka golput menurun menjadi 18,02% (BPS 2019). Seharusnya, jika mengacu pada partisipasi pemilu 2019, rasanya kita bisa berharap bahwa partisipasi pemilih di pemilu 2024 semakin tinggi dan golput semakin kecil. Tapi benarkah demikian?
ADVERTISEMENT

Potensi Berulang

Dalam literartur sejarah, ada pepatah Prancis I’histoire se repete; sejarah mengulang dirinya sendiri. Sejarawan Philip Guedalla (1889-1994), melihat alur sejarah sebagai siklus yang akan menemukan pengulangannya. Petirim Sorokin (1941) juga sepakat pada konsep sejarah yang terulang.
Tampaknya kita akan menyaksikan sejarah yang terulang itu. Melonjak naiknya golput di era SBY (Pemilu 2014) tidak terlepas dari beberapa kisruh besar yang terjadi. Korupsi yang mewabah hingga isu dinasti politik Partai Demokrat menjadikan kepercayaan publik menurun. Kini, kisruh serupa disajikan kepada kita. Kini, keputusan MK soal batas usia cawapres dianggap penuh dengan intervensi politik dinasti dan oligarki. Publik akan membaca tali temali peristiwa seperti itu.
Apa lagi, keputusan MK itu diawali prolog wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Prolog itu memang gagal, tapi kadung gaduh karena dicemooh dan riuh rendah dalam diskursus ruang publik. Maka, peluang menanjaknya golput di pemilu 2024 terbuka lebar. Mungkin benar, sejarah mengulang bentuknya dan bahkan mungkin saja lebih buruk.
ADVERTISEMENT

Tren Global

Pekerja menurunkan kotak suara pemilu 2024 saat tiba di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2023). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
Golput adalah distrust pada pemilu bukan distrust pada demokrasi. Sebab, golput juga suatu sikap atau ekspresi politik yang demokratis; memilih untuk tidak memilih. Tapi distrust pada pemilu tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara eksponen demokrasi, Amerika Serikat juga menemukan persoalan serupa, bahkan dengan angka yang lebih besar. Sekitar 46% pemegang suara memilih golput pada pemilu 2016. Donald Trump kemudian jadi pemenang.
Di Prancis, juga mengalami hal yang serupa. Pada 2022, tingkat golput mencapai angka 52%, sementara pada pemilu 2009 mencapai 59%. (Statista, 2022). Negara tetangga Filipina dalam pilpres 2022 lalu, golputnya hanya 18 persen.
Rendahnya partisipasi pemilu di Amerika Serikat menjadi olok-olok bagi komedian kondang Gabriel Iglesias. Komedian turunan Mexico itu bilang, “Orang amerika semuanya akan vote for American Idol tapi tidak untuk pilpres.”
ADVERTISEMENT

Exit Door

Demokrasi (pemilu) kata Prof. Magnis Suseno, adalah mencegah yang terburuk berkuasa. Itu mungkin semacam pesismisme pada kualifikasi para petarung elektoral. Tapi itu juga sebuah pesan moral, bahwa pilihan golput itu adalah demokratis tetapi bisa juga bencana seperti terpilihnya Donald Trump di Amerika.
Golput memang sikap sah politik. Dan demokrasi menghargai sikap itu. Tapi potensi melonjaknya angka golput seumpama demokrasi sedang mengolok-olok dirinya sendiri. Maka, rasa-rasanya kita perlu melanjutkan seruan moral Prof Magnis Suseno. Pesan moral itu perlu senantiasa digaungkan. Andre Blais (2000) menggarisbawahi, bahwa minat atau ketertarikan pada politik dan kewajiban moral menjadi alasan mengapa orang memilih; pertimbangan etis (moral) lebih penting daripada pertimbangan rasional.
Kewajiban moral itu tidak hanya dibebankan kepada KPU selaku penyelenggara pemilu. Para tokoh bangsa, tokoh agama hingga partai-partai politik juga memiliki kewajiban serupa; mengajak para pemilih untuk berpartisipasi aktif, untuk ikut berdansa dalam pesta demokrasi.
ADVERTISEMENT
Bagi media massa; perlu ada keadilan narasi. Selain, hingar bingar narasi kampanye, media massa hendaknya menjadi corong seruan moral untuk partisipasi aktif pemilih menggunakan hak suaranya.