Mengapa BUMDes Ambyar? (2)

Konten Media Partner
28 Desember 2019 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mengapa BUMDes Ambyar? (2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Salah dalam memilih kegiatan usaha hingga bias politik menjadi faktor BUMDes tak berjalan maksimal. Butuh kesungguhan agar keberadaan BUMDes memberi manfaat masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Laporan Amal Taufik
SEJAK disahkannya Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014, desa menjadi subjek prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat.
Triliunan dana digerojokkan untuk desa-desa dalam rangka mendorong desa menjadi lebih mandiri.
Salah satu usaha untuk menjadikan desa mandiri adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Desa dianjurkan memiliki BUMDes untuk mendorong perekonomian di tingkat desa dan meningkatkan pendapatan asli desa (PAD).
Sayangnya, usaha itu tak mudah. Nyatanya, ada ribuan BUMDes di Indonesia yang belum berjalan sesuai harapan. Alih-alih berkontribusi pada pendapatan desa, sekadar aktif saja tidak.
Padahal BUMDes, jika dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh, manfaatnya bagi masyarakat desa sangat luar biasa. Contohnya adalah Desa Karangjati, Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan.
Bisa dibilang, desa ini cukup berhasil mengelola BUMDes hingga manfaatnya bisa dirasakan masyarakat setempat. Berkat BUMDes yang diberi nama Kujati Perdana itu pula, pihak pemdes sanggup membiayai sekolah puluhan anak yatim di desa setempat.
ADVERTISEMENT
Desa Karangjati merupakan satu dari tujuh desa se-Kabupaten Pasuruan yang sukses mengelola BUMDes. Angka itu sangat kecil bila dibanding jumlah desa yang ada Di Kabupaten Pasuruan. Atau bahkan jumlah desa yang telah memiliki BUMDes sekalipun.
Data WartaBromo.com menyebutkan, dari total 341 desa, tercatat ada 170 desa yang benar-benar aktif mengelola BUMDes. Dari angka itu, 102 dinilai aktif; 50 masih proses verifikasi; 12 mati suri; 6 baru terbentuk.
Kabid Bina PPDK Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Pasuruan Munif Triatmoko mengatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan pengelolaan BUMDes kurang maksimal. Selain kurangnya kesungguhan, salah dalam mengambil peluang bisnis juga menjadi penyebabnya.
Contoh tersebut bisa dilihat dari banyaknya BUMDes yang memilih simpan pinjam sebagai kegiatan usaha. “Banyak yang memilih ini karena tidak begitu membutuhkan perencanaan usaha yang kompleks. Cukup modal dari dana
ADVERTISEMENT
desa, lalu jalan,” kata Munif.
Padahal, lanjut Munif, tantangan usaha ini cukup besar. Selain risiko pinjaman macet, usaha ini juga kalah kompetitif dengan usaha sejenis yang dikelola lebih profesional. Apalagi, marak fintech-fintech yang juga melakoni usaha sejenis.
Yang menarik, bias politik juga turut berperan menjadi penyebab daftar panjang BUMDes yang mati suri. BUMDes di Desa Kemantrenrejo, Kecamatan Rejoso, adalah contoh kecil di antaranya. Betapa tidak. BUMDes di desa ini berhenti beroperasi karena terimbas keriuhan politik desa.
Baca: Mengapa Banyak BUMDes Ambyar?
Ketua BPD Kemantrenrejo Wiwin menceritakan bahwa BUMDes di desanya mandek sejak satu bulan yang lalu, yakni pasca Pemilu Kades. Sebabnya para pengurus BUMDes merupakan loyalis Cakades petahana. Sementara pada Pilkades lalu sang jagoan kalah. Benar saja, tak lama kemudian para pengurus BUMDes kompak mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
Padahal di BUMDes di Kemantrenrejo sejatinya cukup potensial dengan kegiatan usaha pengalengan ikannya. Selain itu, di desa tersebut juga tengah berkembang kerajinan batik tanjung khas Kemantren.
Menurut Wiwin, rencana saat itu kerajinan batik juga hendak dijadikan salah satu unit usaha BUMDes. “Tapi ya batal karena faktor politik. Akhirnya modal BUMDes dikembalikan lagi ke kas desa,” ujar Wiwin.
Lain di Kemantrenrejo, lain di BUMDes Kujati Perdana, Desa Karangjati, Kecamatan Pandaan. Kegiatan usaha yang dijalankan BUMDes setempat terbilang sukses dengan pendapatan ratusan juta per bulan.
Yang menarik, Ketua BUMDes Karangjati Kokok Erkoyo mengaku hingga kini pihaknya sama sekali belum memakai dana desa.
Diceritakan Kokok, unit usaha pertama BUMDes Karangjati adalah pengelolaan air bersih yang mulai beroperasi sejak Mei
ADVERTISEMENT
2018.
“Waktu itu desa hanya memfasilitasi pengeboran air. Setelah itu kami jalan sendiri. Kerja bakti, tanpa bayaran,” tuturnya kepada WartaBromo.com.
Rupanya kesungguhan Kokok bersama pengurus BUMDes lainnya membuahkan hasil. Empat bulan berjalan, sebagian keuntungan dari unit usaha pengelolaan air bersih sudah bisa menyumbang pendapatan asli desa (PAD).
Kemudian pada November 2018 unit usaha BUMDes Karangjati bertambah dengan mengelola tempat parkir truk dan kontainer yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah desa. Sejak itulah BUMDes Karangjati berkembang dan terus merangkak naik sampai sekarang.
Ilustrasi BUMDes.
Kini ada lima lini usaha yang dimiliki BUMDes Kujati Perdana, di antaranya: Cafe Omah Pring, Batik Etnik Jati Asih, Tempat Parkir, Air Bersih Tirto Jati, dan unit simpan pinjam Dana Jati. Total pendapatan dari semua lini usaha itu mencapai Rp 1,44 miliar per tahun.
ADVERTISEMENT
Dari total pendapatan tersebut, 10% oleh BUMDes digunakan untuk kegiatan sosial. Saat ini ada 69 anak yatim di desa yang
dibiayai sekolah dan ada 8 madrasah serta masjid yang rutin mendapat bantuan operasional.
Pada tahun ini BUMDes Karangjati menyumbang Rp 54 juta untuk PAD Karangjati. Tahun depan, menurut Kokok, diprediksi bisa menyumbang PAD lebih besar dua kali lipat.
Ketika disinggung mengenai banyak BUMDes yang mangkrak, menurut Kokok, untuk mengelola BUMDes semangat yang harus
dimiliki bukan hanya semangat bisnis. Tapi juga pelayanan. Pria yang sebelumnya aktif sebagai pengurus BPD Karangjati ini
juga meyakini bahwa setiap desa pasti punya potensi usaha, entah dalam bentuk apapun.
Bisa Jalin Kemitraan
Terpisah, Koordinator Pusat Pemberdayaan Masyarakat Universitas Jember Hermanto Rohman berpendapat bahwa dalam pendirian
ADVERTISEMENT
BUMDes sebenarnya tidak ada kewajiban desa mendirikan usaha baru. Desa sah menjalin kerja sama dengan pihak lain selama didasarkan kajian yang matang dan musyawarah.
Umpamanya di desa tersebut ada beberapa warga yang memiliki usaha konveksi dan produknya layak jual di pasaran, akan
tetapi produksinya kurang optimal karena terkendala modal. Desa bisa berinvestasi dengan memberikan modal pada pengusaha
itu dan menjalin kemitraan.
Namun selama ini, menurut Hermanto, jika ada fenomena semacam itu yang terjadi justru desa meminjamkan modal. Bukannya
menjalin relasi kerja sama, sehingga ada bahasa ‘utang’ dalam relasi tersebut. Ada pihak yang menagih, ada pihak yang ditagih.
Padahal jika bisa menjalin kemitraan, desa justru lebih diuntungkan dengan sistem. “Katakanlah merk produk yang dibikin
ADVERTISEMENT
pengusaha itu tetap, akan tetapi usaha tersebut bukan lagi murni milik pribadi melainkan usaha bersama dengan BUMDes,
sebab investasi desa lebih besar dari modal yang dimiliki si pengusaha,” terang Hermanto.
Oleh karenanya, Hermanto menegaskan pentingnya kajian potensi usaha sebelum mendirikan BUMDes. “Ya dikaji dululah sebelum memutuskan bikin usaha baru. Kalau bisa bermitra dengan masyarakat ya digandeng saja, tidak perlu terburu-buru mendirikan usaha baru,” pungkasnya. (*)