Pemilu Tanpa Politik Uang, Mungkinkah?

Konten Media Partner
16 April 2019 10:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Idealnya, momen Pemilu menjadi saat tepat kita gunakan menentukan suara atau pilihan pada calon yang dianggap layak, berkompeten, dan berkapasitas untuk mengemban amanah rakyat baik pada level Pilpres, Pilgub, Pilkada, juga Pileg.
ADVERTISEMENT
Oleh M. Zainul Arifin, ST
PEMILU menjadi momentum tepat bagi kita untuk turut serta mempertahankan atau mengganti sirkulasi roda pemerintahan ke arah yang lebih berkualitas.
Namun pada aspek lainnya, momen Pemilu menjadi momen yang dinantikan secara khusus oleh ‘sebagian’ masyarakat. Hampir sama gairahnya seperti saat menyambut ‘lebaran’ tiba, yakni bergairah menantikan santunan dan tunjangan.
Pada konteks Pemilu, santunan tersebut adalah berasal dari para calon ataupun kandidat yang berkompetisi dalam Pemilu, yang dalam istilahnya disebut “money politic” (politik uang). Antusiasme ini hampir serupa seperti saat orang-orang menantikan santunan dan tunjangan menjelang lebaran.
Bedanya, santunan dan tunjangan lebaran itu dibolehkan karena bukan bersifat suap, sedangkan money politic jelas terlarang karena mengandung suap dan urgensi demi meraih massa dan suara secara ‘curang’ pada saat momen pencoblosan tiba. Tentu, praktik money politic ini telah mencederai semangat kejujuran dalam berdemokrasi.
ADVERTISEMENT
Miris dan prihatin, mungkin inilah yang kita rasakan, fenomena ini menjadi duka bagi semua elemen bangsa. Betapa tidak, money politic bukan lagi menjadi tragedi yang mengejutkan dalam pesta demokrasi. Itu nyata terjadi dan mewabah ke seluruh penjuru negeri.
Money politic yang secara tegas terlarang seakan menjadi bagian dari rutinitas yang wajar dan ‘normal’ tatkala musim Pemilu tiba. Dan hal itu telah mengakar kuat di tengah proses demokrasi yang saat ini sedang sama-sama kita bangun, demi tercapainya kehidupan berdemokrasi yang sehat dan berkualitas.
Kiranya, kita semua telah berulang kali menyaksikan para calon dan timsesnya “bagi-bagi amplop” saat kampanye, dan sudah berulang kali pula kita saksikan berita kecurangan politik uang yang ditindak Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Namun, itu semua tak mampu menghilangkan kegiatan politik uang di negeri ini, justru praktik kecurangan ini semakin menjamur dan berkembang-biak di tiap daerah.
Yang terbaru adalah tertangkapnya Bowo Sidik Pangarso (BPS) yang merupakan salah seorang anggota DPR dari fraksi Golkar. Berita ini cukup menggemparkan dan menyita perhatian publik ditengah panasnya riuh politik di tahun pemilu kali ini.
Betapa mencengangkan, BPS tertangkap oleh KPK dengan barang bukti uang senilai 8 miliar rupiah yang dikemas secara terpisah dan terbagi ke dalam empat ratus ribu amplop. Disinyalir uang tersebut adalah hasil dari penerimaan suap yang melibatkan korporasi, dan rencananya ratusan ribu amplop tersebut dipergunakan untuk “serangan fajar”. Kasus yang menimpa BPS tersebut mencerminkan betapa kacaunya kondisi praktik pemilu saat ini.
ADVERTISEMENT
Tak pelak, goresan yang terlajur menjadi ‘borok’ dalam konstelasi politik kita saat ini sudah sangat parah. Pada satu sisi masyarakat sudah dibuat terlanjur menjadi pecandu uang politik, namun di satu sisi lainnya masyarakat mengecam keras kepada pejabat yang korupsi. Perilaku korupsi seakan menjadi solusi bagi pejabat untuk kejar setoran demi mengembalikan dana kampanye dan vote buying (pembelian suara), sekaligus sebagai modal tabungan untuk dipergunakan sebagai dana kampanye di kontes pemilu selanjutnya. Siklusnya akan terus seperti ini.
Di berbagai forum kajian, diskusi, dan seminar, pembahasan yang bertema “Money Politic” telah cukup sering dibicarakan, terutama di tahun-tahun politik yang sejauh ini selalu menempatkan politik uang sebagai bahasan khusus. Bahkan di beberapa program televisi, diskusi mengenai politik uang selalu diangkat di setiap pasca terungkapnya kasus politik uang.
ADVERTISEMENT
Berbagai tokoh dihadirkan sebagai narasumber mulai dari akademisi, peneliti, aparatur, legislator, hingga petinggi partai. Pembahasan mengenai ini seolah tak ada habisnya. Berbagai ide dan gagasan dituangkan sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan solusi.
Walau demikian, sebanyak dan sesering apapun kajian, diskusi dan seminar diselenggarakan, sebanyak apapun tawaran solusi disajikan, nyatanya semua itu tak memberikan dampak penyembuhan pada penyakit politik uang. Ringkasnya, tidak ada upaya serius guna menghilangkan penyakit politik uang yang sudah akut ini. Kita seolah dibuat lelah hanya pada pembahasan tanpa ada pembenahan yang nyata.
Salah siapa? Yang jelas ini menjadi masalah dan tanggung jawab kita semua. Harus ada pembenahan yang nyata dalam berbagai aspek. Dunia pendidikan punya peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai agama dan moralitas. Di sektor ekonomi, aspek kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat juga perlu ditingkatkan demi menjaga kesehatan secara finansial sehingga mampu menurunkan resiko politik uang dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, tugas untuk menyelamatkan bangsa juga berada pada mereka yang berasal dari partai politik. Tengoklah DPR, mulai dari ketua, wakil, hingga anggotanya berasal dari partai politik, Presiden dan Wakilnya ditentukan dari partai politik. Bahkan, KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi, komisioner dan ketuanya pun juga ditentukan oleh mereka yang ada di partai politik. Bisa dikatakan, bahwa ketata-negaraan kita dikuasai oleh partai politik.
Semua elemen bangsa harus berjalan secara sinergi dan mengesampingkan egoisme. Dengan demikian, bukan hanya Politik Uang saja yang bisa diatasi, melainkan juga problematika lainnya, bisa dihindari. (*)
________
Penulis saat ini sebagai Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Panggungrejo, Kota Pasuruan