Konten dari Pengguna

Money Politics Mengancam Hasil Pilkada 2024

Polinus Waruwu
Penulis Merupakan Alumni Universitas Darma Agung Medan
23 Mei 2024 14:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Polinus Waruwu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Money Politics Pada Pilkada 2024 (Pixabay.com/geralt)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Money Politics Pada Pilkada 2024 (Pixabay.com/geralt)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) menjadi salah satu moment dan instrumen penting bagi bangsa Indonesia dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan salah satu pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh penduduk administrasi setempat.
ADVERTISEMENT
Tahun 2024 merupakan tahun politik terbesar yang menyelenggarakan beberapa pemilihan umum, misalnya pilpres, pemilihan anggota legislatif serta pilkada yang akan berlangsung di bulan november yang akan datang. Beberapa kegiatan pesta demokrasi itu seyogyanya bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Jika prosesnya didasarkan pada kejujuran berpolitik yang berlandaskan demokrasi.
Pada pilkada 2024 akan memilih 37 gubernur dari 38 provinsi, 93 walikota, dan 415 bupati yang ada di wilayah administrasi Indonesia. Tentunya kepala daerah, bupati dan walikota terpilih pada bulan november nanti akan melengkapi jajaran pemerintahan yang baru. Pasca terpilihnya presiden dan wakil presiden pada pemilu yang dilaksanakan bulan februari lalu.
Terlepas pada konteks pemilukada yang sudah di ambang pintu, ada dinamika yang akan berlangsung sebagai fenomena yang sudah lazim terjadi dalam proses pemilu. Dimana bakal calon dapat menghalalkan berbagai cara untuk meraih kemenangan salah satunya adalah dengan politik uang (money politics). Tak dapat dipungkiri bahwasanya strategi tersebut terus melekat pada proses pemilu.
ADVERTISEMENT
Politik uang sudah menjadi keniscayaan dalam kontestasi pemilu. Kegiatan itu diyakini masih sulit untuk dihapuskan walaupun beragam sosialisasi pendidikan politik sudah dilaksanakan supaya praktik curang tersebut dari proses memilih pemimpin ditiadakan. Walaupun pada dasarnya kampanye dan sosialisasi dilaksanakan oleh para bakal calon. Dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat bagaimana berpolitik yang baik.
Hal itu justru bertolak belakang dengan esensi dari sosialisasi politik yang terlaksana. Dimana para balon justru memanfaatkan kegiatan itu untuk melaksanakan praktik money politics. Sehingga money politics menjadi salah satu senjata handal para pencari kuasa.
Dapat disimpulkan bahwa kualitas pemilu yang sudah berlangsung sebelumnya semua tidak terlepas pada praktik politik uang. Dalam kontestasi demokrasi seolah-olah uanglah yang menjadi tolak ukur untuk merebut kedudukan pada jabatan tertentu yang dihasilkan melalui pemilu.
ADVERTISEMENT
Skandal pemilu paling berbahaya dan terus berlangsung sampai sekarang adalah politik uang dalam artian praktik beli suara (vote buying). Salah satu kalimat paling familiar di kalangan masyarakat yakni “Serangan Fajar” atau ada uang ada suara. Kalimat itu bertujuan untuk menggoyahkan konsistensi hati nurani masyarakat dalam menentukan hak pilihnya. Kalimat itu lahir dari strategi para pecundang demokrasi yang memanfaatkan kelemahan ekonomi masyarakat untuk mencari suaka pada jabatan pemerintah.
Berbagai kegelisahan dan kekhawatiran kita yang tertuju pada pilkada 27 november 2024. Misalnya praktik demokrasi transaksional dimana, hak pilih (suara) masyarakat tidak lagi menjadi simbol aspirasi, melainkan komoditas yang dapat ditukarkan dengan uang secara mudah.
Pada dasarnya praktek politik uang merusak nilai-nilai demokratisasi, menodai sistem politik dan secara spesifik dapat menodai hasil pilkada pada bulan november yang akan datang. Tentunya dalam ruang lingkup kontestasi demokrasi, politik uang adalah persoalan krusial yang harus di eliminasi.
ADVERTISEMENT
Apabila praktek politik uang akan berlangsung pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada november yang akan datang, maka hasilnya akan menciptakan pemimpin yang beritikad buruk (kakostocracy). Bagaimana tidak mereka lahir dari proses yang curang dengan menggelontorkan cost politik yang besar. Memanipulasi masyarakat yang belum memahami betapa mulia hak pilihnya dalam kontestasi pemilu.
Sehingga mereka yang keluar sebagai pemenang akan memakai konsep untung rugi. Kalkulasi pengeluaran tentunya harus berbanding lurus dengan pendapatan. Oleh karena itu, politik uang menjadi salah satu bibit lahirnya praktik korupsi di jajaran pemerintahan. Pada akhirnya jabatan yang diperoleh menjadi mobilisasi untuk menggaet keuntungan yang besar.
Sangat urgensi untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat dalam hal ini supaya tidak terjebak pada tipu muslihat jual beli suara. Peranan masyarakat begitu besar untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas lewat pemilu. Kontribusi masyarakat sangat berpengaruh terhadap suksesnya pilkada 2024 tanpa menerima uang yang korelasinya untuk memenangkan calon tertentu.
ADVERTISEMENT