Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jika Perempuan Menjadi Tulang Punggung Keluarga, Apakah Dunia Terbalik?
10 Oktober 2022 12:49 WIB
Tulisan dari Kadek Risma Wati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan, setiap orang memiliki peran yang berbeda, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap jenis kelamin memiliki peran yang berbeda-beda. Namun, terkadang peran yang dilihat hanya sebagai batasan tanggung jawab malah menjadi kewajiban. Itu karena budaya patriarki masih kental di budaya kita.
Budaya patriarki adalah budaya dimana laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada perempuan. Banyak hak-hak perempuan dibatasi dan dibatasi. Misalnya, sering terjadi ketidakadilan dalam hak suara, hak politik, hak sosial, hak ekonomi. Dalam dunia kerja, Perempuan terkadang berpenghasilan lebih rendah daripada pria. Hal ini menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Dalam budaya ini terlihat jelas perbedaan tugas dan peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam keluarga.
Pada umumnya laki-laki yang sudah menikah harus menjadi pemimpin dan rumah tangga yang baik dengan membimbing istri dan anak-anaknya. Dan dia harus menjadi pencari nafkah, itu normal. Namun, jika peran perempuan ini menjadi pencari nafkah, bisa jadi karena beberapa faktor.
Dalam kehidupan keluarga, mencari nafkah adalah salah satu pekerjaan yang harus dilakukan laki-laki sedangkan perempuan hanya harus mengurus keluarga seperti reproduksi dan pekerjaan rumah tangga. Namun jika melihat perkembangan saat ini, banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah keluarga, itu karena ada unsur ketimpangan.
Keadaan keuangan setiap keluarga berbeda-beda, sehingga tidak cukup hanya mengandalkan laki-laki, suka tidak suka perempuan, perempuan juga harus bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Selain kebutuhan pokok yang meningkat, laki-laki juga memiliki kebutuhan lain yang tidak dapat diperhitungkan oleh laki-laki seperti biaya sekolah anak, pengeluaran tak terduga dan kebutuhan lainnya. Inilah yang membuat seorang perempuan menjadi pencari nafkah keluarga.
Seorang perempuan boleh bekerja karena ingin meringankan beban suaminya. Namun, jika perempuan menjadi pencari nafkah dan penopang keluarga, lain halnya, hal ini disebabkan oleh berbagai alasan.
1. dia benar-benar andalan keluarga karena suaminya sudah meninggal.
2. Perempuan menjadi pencari nafkah karena mereka bercerai. Dalam kasus perceraian, bisa ada dua sisi. Sisi pertama, meski sudah berpisah, mereka tetap bersatu dan mengesampingkan ego dengan alasan anak dan suami masih mendukung dan sisi kedua ketika mereka berpisah dan secara otomatis, istri harus menggantikan ayah dan pencari nafkah dalam keluarga.
3. Ketika istri memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari suami.
4. Karena suaminya malas bekerja dan berdiam diri di rumah dengan dunianya sendiri.
Dalam hal ini alasan tersebut menurut saya jika seorang perempuan dapat bekerja dan hidup tanpa menikah, mengapa begitu banyak perempuan yang mengalami ketidakadilan seperti itu? Sekali lagi, negara kita kuat dengan budaya patriarki di mana pria lebih tinggi daripada perempuan. Inilah yang menyebabkan perempuan menerima ketidakadilan. Meskipun ada undang-undang untuk melindungi perempuan dan anak-anak, perempuan masih mengalami ketidakadilan.
Perempuan yang bekerja sering menghadapi banyak dilema keluarga, yang disebabkan oleh perempuan yang mengambil lebih dari satu peran atau memikul banyak beban. Beban ganda berarti satu jenis kelamin memiliki beban kerja yang lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Terjadinya beban ganda seringkali dialami oleh perempuan, yang menunjukkan bahwa peran perempuan lebih penting daripada laki-laki. Namun kenyataan ini berbeda jika dilihat dari perspektif sosial, masyarakat beranggapan bahwa laki-laki memiliki banyak peran dalam keluarga, namun ternyata rasionya berbanding terbalik, terlihat banyak perempuan yang harus menanggung beban ganda. Konflik peran ini muncul karena adanya dua peran atau lebih yang tekanannya berlawanan.
Selama pandemi COVID-19, Indonesia mengalami berbagai masalah. Namun, masalah yang dirasakan adalah ekonomi. Kenapa begitu? Akibat merebaknya COVID-19 pada 6 April 2020, Presiden Jokowi Dodo mengumumkan pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), di mana DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB tayangan. Memang, Provinsi DKI Jakarta menjadi titik transmisi COVID-19, disusul sebagian JABODETABEK dan provinsi lainnya.
Saat PSBB ditetapkan, masyarakat tidak boleh keluar rumah dan perusahaan mulai menerapkan sistem kerja dari rumah. Meski PSBB baru berlaku selama dua minggu, namun dampaknya terutama pada kalangan menengah ke bawah. Di masa pandemi, banyak perusahaan yang melakukan restrukturisasi karyawan, saat ini banyak karyawan yang di-PHK.
Ketimpangan sosial juga secara signifikan mempengaruhi keberadaan perempuan sebagai pencari nafkah. Perempuan yang menjadi pencari nafkah banyak dijumpai di desa dan pinggiran kota. Mayoritas perempuan yang tinggal di desa dan pinggiran kota hanya menjadi pedagang keliling, buruh tani, bahkan ada yang terpaksa menjadi buruh migran di negara lain. Perempuan yang menjadi pencari nafkah keluarga terkadang bukanlah pilihan utama perempuan, hanya saja kendala tuntutan hidup yang harus dipenuhi karena hanya itulah pilihan dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Hal ini dilakukan karena ada tujuan tertentu, yaitu menghidupkan kembali perekonomian keluarga. Alasan umum mengapa perempuan menjadi pencari nafkah keluarga adalah karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, suami tidak dapat menjadi pencari nafkah keluarga, suami melepaskan kewajiban untuk mencari nafkah, dan pendapatan suami rendah dan tidak stabil.
Pernyataan di atas dapat merujuk pada banyak masalah yang ada, misalnya kesulitan ekonomi yang mengarah pada hubungan keluarga yang tidak harmonis, istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dll. Karena masalah ini, banyak perempuan terpaksa mencari nafkah.
Fenomena perempuan sebagai pencari nafkah juga dialami oleh keluarga Siti Nurmaya, alasan mengapa Siti Nurmaya menjadi pencari nafkah adalah karena pendapatan suaminya yang tidak menentu. Suami Siti Nurmaya bekerja sebagai tukang pijat di Ciputat, Tangerang Selatan. Kehormatan yang diterimanya tidak pasti, tergantung ada atau tidaknya "panggilan pijat". Kalaupun ada, jumlahnya jauh dari kurang. Oleh karena itu, semua kebutuhan dalam keluarga diurus oleh Siti Nurmaya, dengan penghasilan yang lebih kecil dari Siti Nurmaya yang membuka warung nasi uduk.
Hal ini juga dialami oleh Ibu Suminah juga harus melalui ini, dia menjadi pencari nafkah keluarga ketika suaminya meninggalkan kewajiban untuk mencari nafkah. Dia menceraikan suaminya karena alasan ekonomi dan memaksanya untuk membesarkan anak tunggalnya. Kehidupan sehari-harinya yang awalnya hanya seorang ibu rumah tangga, kini membuka restoran ayam suwir di rooftop rumah tempat dia bekerja sebelumnya sebelum bercerai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dua sumber, saya dapat memberikan pendapat. Ketika menghadapi sesuatu, kita sebagai manusia harus menghadapinya bersama dan masalah itu harus diselesaikan dengan kepala dingin. Perempuan pencari nafkah lahir dari berbagai faktor yang menimpa dirinya dan juga dari lingkungan yang memaksanya menjadi pencari nafkah.
Selain itu, pelajaran lain juga dapat diambil dari pengalaman para pembicara, seperti pelajaran hidup yang berharga dan pentingnya saling percaya. Dengan melihat perbedaan permasalahan yang dihadapi informan memberikan gambaran bagi rumah tangga tidak hanya sekedar menghadapi masalah kewajiban, tetapi bagaimana menghadapinya, menyelaraskan ego, tidak menyalahkan diri sendiri, menyelesaikan masalah dengan berbicara dengan niat. menemukan solusi untuk masalah, dan yang paling penting, tetap berkomitmen satu sama lain dan melihat ke masa depan.
Perempuan sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih luar biasa daripada pria. Biasanya perempuan kehilangan kesetaraannya dengan laki-laki, yaitu konflik antara subjek dan objek. Di masa pandemi Covid-19, banyak perempuan yang bekerja berkedok membantu suami. Mereka bekerja tidak hanya untuk meringankan beban suami, tetapi juga berusaha untuk menghidupkan kembali ekonomi keluarga yang berada di ambang kehancuran. Salah satu bentuk perjuangan perempuan di masa pandemi Covid-19 adalah berjualan kue, membuka warung nasi, bahkan ada yang pergi ke luar kota untuk bekerja.
Saat ini, sangat mudah untuk menemukan perempuan yang memutuskan untuk bekerja, tidak hanya mengurus rumah. Saat ini banyak terjadi pertukaran peran karena faktor-faktor yang membuat perempuan ingin menjadi pencari nafkah keluarga. Banyak faktor yang memaksa sebuah keluarga harus dihadapkan pada pilihan seperti itu. Awalnya, mungkin alasan utamanya adalah karena pembatasan, yang harus diterapkan untuk mewujudkan ekonomi.
Dari pendapat di atas menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuasaan lebih dari laki-laki. Mereka berjuang untuk hak ini, bukan hanya untuk perempuan untuk diistimewakan. Namun, kenyataannya perempuan tidak mendapatkan keadilan yang layak mereka dapatkan.
ADVERTISEMENT