Konten dari Pengguna

Lingkungan Bisa Membentuk Sifat Agresif pada Anak

Najwa Manar
mahasiswi jurusan psikologi universitas pembangunan jaya
2 Juni 2023 8:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Najwa Manar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi sifat agresif di lingkungan anak; sumber: canva.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi sifat agresif di lingkungan anak; sumber: canva.com
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda melihat seorang anak SD memukul temannya dan berkata bahwa dia hanya bercanda? Melihat berita sekumpulan anak yang tawuran di jalan? Atau melihat bagaimana anak-anak melakukan kekerasan seksual kepada temannya?
ADVERTISEMENT
Pernahkah terbesit di pikiran kita, sebenarnya dari mana anak-anak mempelajari sifat agresif ini? Apakah ada yang mengajarkan atau bahkan sebenarnya mereka belajar sendiri?
Seorang psikolog terkenal Albert Bandura menjelaskan bahwa kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional melalui pemodelan yaitu dari mengamati orang lain. Kemudian hasilnya berfungsi sebagai panduan untuk bertindak. Albert Bandura menganggap setiap anak tetap bisa belajar hal baru meski tidak melakukannya secara langsung (Joan E., 1992).
Artinya, anak cenderung meniru perilaku yang mereka lihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa (Bandura, 1977).
Oleh karena itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan dan agresi cenderung meniru lingkungannya (Tentama, 2013).

Anak Menyerap Sifat Agresif dari Lingkungannya

Pernahkah Anda memperhatikan konten-konten kekerasan yang telah menyebar di banyak media sosial? Jika anak-anak memegang gadget tanpa pengawasan, konten-konten tersebut bisa sampai ke mereka yang akhirnya dapat memengaruhi cara anak-anak berperilaku (Dion Praditya et al., 1999).
ADVERTISEMENT
Ketika anak-anak melihat adegan kekerasan terus-menerus, mereka bisa menganggap hal tersebut sebagai hal yang normal untuk dilakukan. Jika hal ini terus terjadi, perilaku agresif akan tertanam dalam diri si anak yang mana akan merugikan di masa depan.
Selain konten-konten media sosial yang ditonton anak, lingkungan keluarga juga menjadi pengaruh yang besar terhadap anak yang sedang berkembang. Alasannya adalah karena anak yang sedang berkembang mudah mempelajari perilaku di sekitarnya. Jika ada konflik yang sering terjadi di antara keluarga, terutama yang mengandung kekerasan dan sifat agresif, anak-anak bisa menyalahartikan hal tersebut sebagai hal yang benar dalam mengatasi masalah dan mengekspresikan emosi (Kadir & Handayaningsih, 2020). Itulah mengapa sangat penting bagi orang tua untuk menjadi model yang baik dan mengajarkan cara yang sehat untuk mengelola emosi dan mengatasi konflik tanpa kekerasan.
ADVERTISEMENT

Lebih Baik Mencegah daripada Mengobati

Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengatasi anak yang menyerap perilaku negatif dan agresif dari lingkungan sekitar? Berikut beberapa tips yang bisa diaplikasikan:
1. Menjaga tontonan anak
Pada zaman modern seperti sekarang ini rasanya tidak afdol jika tidak memiliki gadget, hampir semua anak memiliki benda yang bernama handphone. Memberi hiburan ke anak boleh tetapi jangan terlalu gegabah, tetap awasi dan batasi penggunaan gadget si anak.
2. Atur lingkungan yang baik
Biarkan anak bersosialisasi dengan siapa saja. Namun, tetap awasi dari jauh agar anak tidak merasa dikekang.
3. Jadilah pedoman yang positif
Anak adalah peniru yang handal. Sekadar ucapan tidak akan cukup untuk mengatur sifat agresif anak, berperilakulah yang baik agar anak meniru yang baik pula.
ADVERTISEMENT
Sifat agresif adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari sepenuhnya tetapi kita bisa mencegah sifat agresif tersebut agar tidak tertanam dan tumbuh dalam diri anak. Jagalah lingkungan sekitar anak agar tidak banyak terpapar kekerasan dan sifat agresif. Jadilah pedoman yang baik dan bermanfaat untuk anak.