Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Partai Politik dan Konstituen
8 September 2022 21:36 WIB
Tulisan dari Wawan Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SEPERTI dilansir media massa, saat ini menjelang Pileg 2024, KPU telah mengumumkan partai yang resmi dan sah terdaftar sebagai peserta pemilu 2024 di negara Indonesia. Mereka yang sudah terdaftar dan mendaftarkan diri secara lengkap dengan persyaratannya kini sedang memasuki masa verifikasi administasi seperti verifikasi struktur perngurus, alamat kantor dan persyaratan keanggotaan partai politik.
ADVERTISEMENT
Beragam muncul persoalan dan temuan seperti adanya data keanggotaan ganda anggota partai politik yang tercantum di dua atau lebih partai politik, ada data pekerjaan dimana status pekerjaan PNS atau kepala desa menjadi anggota partai politik, ada temuan anggota partai politik dibawah umur, serta ada masyarakat yang mengadungkan ke KPU yang nama dan KTPnya dicatut sebagai anggota partai politik, sementara warga tersebut merasa tidak pernah diminta, memberi dan mendaftar sebagai anggota partai politik yang mencantumkannya di sipol data KPU
Beragam persoalan tersebut menarik untuk kita cermati. Termasuk yang menjadi inti adalah, yaitu pertama, apakah basis pendukung atau anggota partai politik itu bersifat rill atau hanya sebatas pengklaiman sesaat ketika partai politik membutuhkan data secara administrasi di KPU sebagai persyaratan pendaftaran partai politik? Kedua, bagaimana kenyataan hubungan partai politik dengan konstituen sebagai anggota atau kader partai politik tersebut yang terjadi di negara Indonesia, ketiga, Ketiga bagaimana idealnya hubungan atau formula hubungan yang baik antara konstiuen dengan partai politik? Keempat, mengapa terjadi keanggotaan partai politik dimana ada warga yang tercantum sebagai kader dan bahkan sebagai pengurus partai di partai x dan tercantum juga sebagai pengurus di partai y, mengapa demikian?
ADVERTISEMENT
Basis Pendukung Parpol
Ketika era Orde Baru, partai politik terdiri dari tiga partai politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI sebelum menjadi PDIP) dan Golkar yang tidak mau disebut partai politik tapi cara kerja dan fungsi sebagai partai politik. edangkan Golongan Karya (Golkar) saat itu tidak digolongkan sebagai partai politik dan hanya merupakan organisasi berbasis kalangan profesional, tetapi juga mendulang suara dalam pemilu. Golongan Karya berbasis pendukung dari kalangan PNS, TNI, ormas kekaryaan, pengusaha, jejaring birokrasi sampai tingkat desa dan basis keagamaan.
Dengan kekuatan TNI dan basis birokrasi, Golkar bisa memaksa masyarakat dibawah untuk memilih dan bahkan memaksa untuk dipilih. Jika tidak, sudah menjadi rahasia umum jika waktu itu tekanan demi tekanan dirasakan masyarakat kritis, khususnya di daerah pedesaan akan merasa diasingkan. Lebih dari itu mereka kerap mendapatkan perlakukan diskriminatif dalam fungsi pelayanan ketika mengurus berbagai keperluan administrasi.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan basis PPP, yang notabene banyak didominasi pendukung dari basis keagamaan termasuk juga ormas keagamaan. Mereka kerap mendapatkan tekanan disaat sedang mengadakan sosialisasi dan konsolidasi. Tidak aneh jika dalam forum-forum musyawarah internal partai PPP, calon pimpinan partai ini akan lolos menjadi calon ketua partai jika sebelumnya telah mendapatkan restu tidak tertulis dari penguasa setempat baik itu camat, bupati/walikota, bahkan sampai Presiden. Waktu itu begitu kuatnya kekuasaan terpusat seorang Presiden mengontrol kekuasaan dan pengaruhnya lewat kedua partai politik yaitu PPP dan PDI.
Jadi basis pendukung PPP, PDI dan Golongan karyai waktu itu relatif tersegmentasi walaupun sejatinya pendukung dengan kebijakan massa mengambang (floating massa), yaitu melarang adanya pengurus partai politik sampai desa oleh pemerintah Orde Baru membuat masyarakat jadi takut berbicara, atau menjadi anggota partai politik. Kebijakan massa mengambang membuat hubungan masyarakat lebih banyak diakomodor secara doktriner dan tersentra oleh Golongan Karya. Dua partai lainnya lebih cenderung sebagai pelengkap plus penderita.
ADVERTISEMENT
Era Reformasi dan Milenial ke Depan
Era reformasi tahun 1998, ketika Soeharto sebagai Presiden mengundurkan diri, jumlah partai politik yang akan mengikuti pemilu 1999 begitu membludak. Seperti arus bah yang tadinya tersumbat selama tiga puluh dua tahun oleh kekuasaan otoriter Orde Baru, menjadi liar bergerak dan muncul menjadi berbagai kekuatan partai politik. Terdapat sebanyak 48 partai politik sebagai peserta pemilu waktu itu. Tak pelak, pemilu 1999, merupakan pemilu pertama sejak rezim Orde Baru runtuh dan menghasilkan pemenangnya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai baru menjadi pemenang dengan meraih 35.689.073 suara dan 153 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Di posisi kedua ditempati Partai Golkar dengan 23.741.749 suara dan 120 kursi di DPR. Pada posisi ketiga ditempati Partai Persatuan Pembangunan dengan 11.329.905 dan 58 kursi di DPR.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan pemilu 1999, pemilu 2004 telah menghasilkan Partai Golkar keluar menjadi pemenang dengan jumlah meraih 24.480.757 suara dan 128 kursi di DPR. Lalu posisi kedua ditempati oleh PDI Perjuangan (PDIP) dengan 21.026.629 suara dan 109 kursi di DPR. Lantas Partai Kebangkitan Bangsa menduduki posisi ketiga dengan 11.989.564 suara dan 52 kursi di DPR. Kemudian diposisi ke empat diraih Partai Persatuan Pembangunan Suara: 9.248.764 (8,15 persen)
Pada pemilu 2009 konstalasi kekuatan politik berubah dimana Partai Demokrat berhasil memenangkan pileg yaitu dengan mendapatkan 21.703.137 suara (20,85 persen) diikuti berturut-turut oleh Golkar dengan 15.037.757 suara (14,45 persen) dan PDIP yang meraih 14.600.091 (14,03 persen). Posisi papan tengah diisi berurutan oleh PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, Hanura, dan PBB. Total suara sah nasional mencapai 104.099.785 suara dengan jumlah orang yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 67.058.882 suara (Demokrat Jawarai Pileg 2009 dengan 20,85 % Suara, https://news.detik.com/pemilu/d-1128844/demokrat-jawarai-pileg-2009-dengan-2085--suara)
ADVERTISEMENT
Kemudian pada dua pemilu selanjutnya, pemilu tahun 2014 dan tahun 2019, PDIP berhasil menjadi pemenang pemilu dengan meraih 23.681.471 suara (2014) dan 27.053.961 suara (2019). Disusul peraih kedua yaitu Gerinda dan Golkar yang saling menyusul dan bersaing ketat.
Pertanyaannya adalah apakah pergantian pemenang partai pemilu ini sebagai akibat basis massa yang tidak solid, tidak rigid, dan atau karena partai politik di Indonesia tidak mempunyai basis massa yang rill yang membedakan secara permanen isu-isu yang diangkat oleh partai politik? Menurut Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, mengatakan tidak ada lagi perbedaan mencolok terkait ideologi partai. Jusuf Kalla menilai partai yang mengaku religius dan nasionalis tidak lagi bisa dibedakan (https://news.detik.com/berita/d-4620290/jk-tak-ada-lagi-perbedaan-ideologi-dalam-berpolitik-di-indonesia).
. Nyaris perbedaan dan pertarungan ideologis nasionalis dan religius makin tidak kelihatan, selain tentunya partai-partai politik bersaing dengan isu-isu baru ditengah tantangan kompetisi global yang makin menekan identitas kebangsaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Peta Profil Konstituen ke Depan
Lalu apa peta ke depan jika perbedaan partai politik yang satu dengan partai politik yang lainnya nyaris tidak kelihatan mencolok sisi ideologisnya. Menurut hemat saya, ibarat sebuah institusi produksi yang menghasilkan fungsi representasi politik baik itu produk legislasi, produk pengawasan dan produk budgeting, partai politik dituntut untuk menyasar apa yang menjadi need masyarakat itu sendiri?
Perbedaan partai politik ke depan akan ditentukan oleh, pertama, seberapa cepat partai politik dan politisinya mengejar, mengakat dan mengawal isu-isu yang berhubungan dengan kebutuhan rill serta tantangan hidup masa depan. Kedua, seberapa bagus dan modern partai politik sebagai sebuah institusi modern ditata ulang infrastruktur politik, sdm, human relation dan perangkat IT yang menunjang sebuah partai disebut lebih modern dan adaptif terhadap perubahan dan tantangan jaman, Ketiga, seberapa care dan komitmen yang terjaga, baik secara organisasi dan pribadi-pribadi para politisinya bekerja dan melayani masyarakat baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
ADVERTISEMENT
Hal ini akan makin terlihat dan terkuak bagaimana perilaku, moralitas, integritas seorang politisi dimata masyarakat dengan sorotan media massa dan media sosial yang begitu gegap gempita mengawasi mereka. Masyarakat bisa secara viral menshare-kan apa yang menurut mereka kurang baik dan tidak bermoral ke penggung media sosial dan mempengaruhi kebijakan para elit politik partai politik terhadap para politisinya.
Oleh karena itu, hubungan partai politik dan konstituen di era digital dan milenial saat ini akan makin terbuka, intensif dan tetap kritis. Partai politik yang berhasil mencitrakan baik dan kinerja politik baik akan makin mendapatkan tempat dihati konstituen. Begitu juga konstituen akan makin tidak mudah mau didekati dan bergabung kader atau pengurus partai politik.
ADVERTISEMENT
Kemudian lebih dari itu, jika ada peristiwa politik yang membuat para elit dan politisinya terjerembab dalam perilaku kurang baik, baik seperti kena kasus korupsi, suap, narkoba, pelecehan perempuan dan anak, atau kasus-kasus kejahatan kerap putih yang melibatkan kejatan perusahan yang dimiliki para politisi tersebut, maka serta merta para konstituen akan menghukum partai politik dan elit politiknya dengan cara meninggalkannya.
Hukumannya akan terbukti dengan melihat hasil akhir turunnya raihan suara baik saat momen pileg, pilkada dan pilpres sebagai akibat merenggangnya hubungan konstituen dengan partai politik. Untuk itu partai politik harus senantiasa menjaga marwah dan selalu responsif terhadap perubahan yang diinginkan oleh konstituen. Semoga