Mas Hadi Mustofa yang Tenang, Berpulang dengan Tenang

Konten dari Pengguna
20 Juli 2020 21:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wendiyanto Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pesan soal meninggalnya Hadi Mustofa. Foto: WAG New E2S Group
zoom-in-whitePerbesar
Pesan soal meninggalnya Hadi Mustofa. Foto: WAG New E2S Group
ADVERTISEMENT
Tulisan pada gambar di atas yang singgah di ponsel saya, sungguh menghentak perasaan. Saya mendapatinya di whatsapp group (WAG) Energy Editor Society (E2S), kumpulan editor sektor energi. Saat itu saya baru saja tiba di rumah usai salat Jumat. Begitu duduk, hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek whatsapp.
ADVERTISEMENT
Maklum, ini bulan keempat saya menjalani work from home. Sehingga segala komunikasi dan koordinasi urusan kantor, dilakukan secara online. Ponsel salah satu medianya. Setelah beberapa saat ditinggal ke masjid, ponsel menjadi yang pertama saya raih untuk mengecek kalau-kalau ada hal yang mendesak untuk segera direspons.
Sudah puluhan pesan yang masuk, menunggu dibaca. Tapi pesan di WAG E2S itu memaksa saya untuk mengabaikan yang lainnya dulu. Saya berpindah ke WAG Tenda Biru, isinya adalah kawan-kawan yang pernah dan masih bekerja di Metro TV. Di WAG itu juga ada Hadi Mustofa. Sudah ada belasan pesan di situ yang membahas kejadian yang dialami Hadi Mustofa.
"Saya sdh telp Mas Heri Mohammad yg satu komplek. Sudah diumumkan di masjid. Jenazah masih di rumah sakit Bhayangkari," tulis Mauluddin Anwar di WAG Tenda Biru. Keraguan saya pun sirna. Mas Hadi, begitu saya menyapa Hadi Mustofa, benar meninggal dunia.
Hadi Mustofa (berkaos merah) saat kumpul keluarga untuk makan siang menjelang Ramadhan 2019.
"Mas Hadi meninggal," kata saya agak bergumam ke istri, tak jauh dari posisi saya duduk. "Mas Hadi?!" istri saya balik bertanya, dengan suara agak menghentak penuh keraguan. Istri saya juga sangsi dengan kabar itu. Saya dan keluarga memang saling mengenal dengan Mas Hadi dan keluarganya. Dalam banyak kesempatan, kami warga WAG Tenda Biru berkumpul mengajak serta keluarga masing-masing.
ADVERTISEMENT
Terakhir kali perjumpaan saya sekeluarga dengan keluarganya, yakni saat Mas Hadi menikahkan putrinya, Dina, di Taman Mini, medio September tahun lalu. Anak semata wayang saya, sebenarnya sudah sangat susah diajak bepergian. Apalagi menghadiri undangan pernikahan yang mungkin menurutnya acara orang tua, penuh formalitas dan basa-basi. Tapi ketika ibunya mengingatkan, bahwa kali ini yang mengundang adalah Om Hadi, dia menurut untuk ikut serta ke undangan.
Awal perkenalan saya dengan Mas Hadi pada Februari 2001, saat saya bekerja sebagai reporter Metro TV. Mas Hadi sudah lebih dulu bekerja sebagai koordinator liputan (korlip), di tv berita yang belum lama on-air saat itu. Di Metro TV, Mas Hadi sempat bergeser-geser posisi. Selain sebagai korlip di news gathering, sempat juga bergeser ke news production di beberapa program. Ada saatnya saya langsung bertugas di bawah koordinasi dan supervisi dia, ada saatnya tidak.
ADVERTISEMENT
Keakraban kami sudah lagi tak hanya terikat oleh urusan pekerjaan. Demikian juga dalam hubungan dengan kawan-kawan Tenda Biru. Dan semenjak pertama kali mengenalnya hinga 19 tahun kemudian, penilaian saya tentang sosok Mas Hadi tak berubah. Pembawaannya kalem. Sebagai atasan -apalagi sebagai kawan senior- dia bukan tipe yang suka memerintah. Terlebih perintah dengan penyampaian yang meledak-ledak.
Ada sekali waktu saya bertugas bersama Mas Hadi ke Surabaya. Masih di tahun 2001. Saat itu situasi politik sedang panas, terkait upaya-upaya pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pada sisi lain, pendukungnya juga melakukan konsolidasi. Termasuk menggelar apel siaga di Surabaya. Untuk liputan dan siaran langsung itulah saya dan sejumlah kru Metro TV ditugaskan ke Surabaya, di bawah pimpinan Mas Hadi sebagai field producer.
Hadi Mustofa Djuraid. Foto: Dok. Pertagas
Sepanjang penugasan itu, semuanya dikoordinasikan dan dijalankan Mas Hadi dengan kalem. Mulai dari keberangkatan, persiapan liputan dan siaran di Surabaya, hingga kegiatan puncaknya. Siaran langsung dan live report berjalan lancar. Seusai membereskan pekerjaan, kami satu tim bahkan masih sempat wisata kuliner dulu di Surabaya, sebelum pulang kembali ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sepanjang menjadi anak buahnya, seingat saya tak pernah dia marah. Menegur mungkin ada satu dua kali. Itu pun saya sudah lupa, mungkin karena tegurannya lebih terasa sebagai obrolan. Sebagai orang yang usianya 10 tahun di atas saya, Mas Hadi lebih terasa sebagai kakak yang membimbing. Demikian juga saat bercanda ketika kumpul ramai-ramai, tak pernah tertawanya sampai terbahak-bahak.
Banyak yang menganggap orang seperti Mas Hadi merupakan pemimpin yang lemah. Seolah pemimpin yang kuat adalah yang bisa keras, terutama kepada bawahan. Bahkan kalau perlu marah atau malah marah-marah. Menurut saya anggapan seperti itu keliru. Mas Hadi tetaplah seorang leader yang berprinsip. Tak memaksakan prinsipnya kepada orang lain -apalagi dengan cara yang keras- adalah salah satu prinsipnya.
ADVERTISEMENT
Dan jika dia merasa ada yang bertentangan dengan nuraninya sementara prinsipnya tak bisa diterima pihak lain, dia dengan legowo akan memilih mundur. Ibaratnya pohon, Mas Hadi yang merupakan pendukung Liverpool itu adalah rotan. Dia lentur, tapi alot.
Hadi Mustofa (kanan) saat kumpul bersama warga 'Tenda Biru'
Setelah mundur dari Metro TV, hubungan saya dan Mas Hadi tetap terjalin. Saya berpindah dari media yang satu ke media yang lain. Sementara Mas Hadi setelah tak berkiprah di media, banyak mendampingi pejabat-pejabat negara. Mulai dari Jaksa Agung Abdulrahman Saleh, Menteri BUMN Sugiharto dan Dahlan Iskan, hingga akhirnya menjadi orang kepercayaan Ignasius Jonan saat masih menjabat sebagai Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI). Kedekatannya dengan orang-orang penting dan pejabat negara, tak mengubah sikap dan pembawaannya. Kecuali menjadi sangat sibuk,
ADVERTISEMENT
Mas Hadi juga tetaplah sosok yang bersahaja. Saya jadi ingat, bahkan mobilnya dulu saat awal-awal di Metro TV, adalah Ford Laser bekas taksi yang dia beli. Lalu didandani di sana-sini. Saya pernah meminjamnya untuk survei untuk mencari rumah tempat tinggal. Ssebelumnya saya masih kos di kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Tak jauh dari kantor Metro TV.
Seiring diangkatnya Jonan sebagai Menteri Perhubungan, lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Mas Hadi pun mendampinginya sebagai Staf Khusus. Meski saya terbilang bekas anak buahnya dan masih berhubungan dekat, Mas Hadi tak pernah memanfaatkan relasi tersebut untuk meminta atau mencegah saya menayangkan suatu berita terkait kementerian yang dipimpin Jonan.
Eks Menteri ESDM Ignasius Jonan berdoa di pusara Hadi Mustofa Djuraid. Foto: Feby Dwi Sutianto-kumparan
Demikian sebaliknya. Modal kedekatan tak membuat saya pernah bisa mengorek suatu informasi yang memang bukan untuk konsumsi media darinya. Baik terkait Pak Ignasius Jonan atau latar belakang berbagai kebijakannya di Kementerian. Padahal sebagai staf khusus, pasti dia amat sangat banyak tahu hal-hal yang tak terinformasi ke publik.
ADVERTISEMENT
Dia tidak ingin terlihat sangat banyak tahu. Kesan tenang dan kalemnya tak pernah hilang. Begitulah Allah Swt menakdirkan sosok Mas Hadi yang saya kenal. Bahkan hingga tiba saatnya berpulang, Mas Hadi berpulang dengan tenang. Tanpa pesan, tanpa pertanda. Menjelang azan salat Jumat berkumandang, di tengah keriuhan Jl. Akses UI yang tak terlalu jauh dari rumahnya di Depok, sosok Mas Hadi yang tenang berpulang dengan tenang.
Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi di-ridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jemaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!
(QS Al Fajr(89); 27-30)