MEMAHAMI IKHTIAR LAHIRNYA REGULASI ZAKAT

Konten dari Pengguna
9 Februari 2018 2:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wendy Suwendy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
MEMAHAMI IKHTIAR LAHIRNYA REGULASI ZAKAT
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
MEMAHAMI IKHTIAR LAHIRNYA REGULASI ZAKAT
Suwendi
Alumni UIN Jakarta
Di minggu ini, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), menyatakan akan mendorong terbitnya Peraturan Presiden tentang Optimalisasi Penghimpunan Zakat Aparatur Sipil Negara (OPZ-ASN) Muslim. Regulasi ini dimaksudkan sebagai bagian dari kesungguhan Kementerian Agama yang dipimpinnya untuk memfasilitasi ASN Muslim dalam menyalurkan zakat, terutama zakat profesi, melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh ormas Islam dan kalangan profesional lainnya. Sebagai lembaga pemerintah, Kementerian Agama memiliki kewenangan, bahkan pada tingkat tertentu menjadi kewajiban, untuk membuat regulasi, memfasilitasi, dan melakukan langkah-langkah serta kebijakan strategis dalam upaya memaksimalisasi pelaksanaan ajaran agama yang diyakini oleh warga negaranya, tak terkecuali dalam penghimpunan zakat.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan, LHS menyatakan bahwa langkah kebijakan OPZ-ASN yang akan diambilnya ini tetap akan sesuai dengan koridor ajaran agama Islam, dan tidak bertentangan dengan aturan fiqh. Setidaknya, ada tiga prinsip OPZ-ASN, yakni hanya bagi ASN yang beragama Islam, ASN yang penghasilannya mencapai nishab, dan didasarkan aras persetujuan dari yang bersangkutan. Dengan prinsip-prinsip ini, LHS sesungguhnya melakukan terobosan mendekatkan layanan zakat kepada muzaki yang berprofesi sebagai ASN secara langsung, di samping mendorong penataan akuntabilitas lembaga pengelola zakat yang lebih baik.
Meskipun demikian, apa yang disiapkan oleh LHS dan kementeriannya itu sesungguhnya bukanlah barang baru. Sebab, sebelumnya telah lahir sejumlah regulasi tentang zakat, seperti UU Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian telah diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU 23 tahun 2014. Selain itu, ada Instruksi Presiden No 3 tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat Di Kementerian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Melalui Badan Amil Zakat Nasional. Atas dasar instruksi ini, sejak beberapa tahun yang lalu hingga kini sebagian besar ASN muslim di Kementerian Agama tingkat pusat telah mempraktekkan optimalisasi penghimpunan zakat profesi ini yang setiap bulan dipotong 2,5% melalui Baznas. Selain regulasi itu, Menteri Agama juga telah melahirkan Peraturan Menteri Agama Nomor 52 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks komitmen LHS dalam mendorong terbitnya regulasi tentang OPZ-ASN ini, penulis dapat memahaminya dari beberapa alasan berikut. Pertama, relasi agama dan negara yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan jalan tengah yang tepat bagi pilihan Indonesia, yang tidak menganut negara Islam secara formal atau negara sekuler. Pancasila mengandung dan selaras dengan nilai-nilai agama; dan oleh karenanya nilai-nilai agama built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dasar Pancasila, sejatinya Indonesia adalah negara yang agamis.
Sejumlah bukti bahwa Indonesia merupakan negara agamis dapat dilihat dari sejumlah norma yang diatur dalam UUD 1945 berikut. Alinea ketiga Pembukaan UUD menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung. Pasal 28J UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 31 ayat 3 UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyeleng¬garakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
ADVERTISEMENT
Meski bukan negara agama secara formal, atas dasar Pancasila, negara ini menjamin kebebasan ekspresi agama warga negaranya dan bahkan negara memfasilitasi akan kebutuhan dalam pengamalan kehidupan beragama. Kini telah lahir sejumlah aturan negara yang secara eksplisit mengakomodir nilai-nilai agama, seperti UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), termasuk regulasi yang secara implisit mengadopsi nilai-nilai agama, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain. Dalam konteks ini, komitmen LHS yang akan mendorong terbitnya Peraturan Presiden tentang OPZ-ASN ini, menurut hemat penulis, dapat dipahami sebagai bagian dari implikasi atas relasi agama dan negara yang dipilih oleh Indonesia.
Kedua, komitmen LHS untuk melahirkan regulasi OPZ-ASN dan menyatakan agar dana zakat itu hendaknya dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, baik untuk mengentaskan kemiskinan, peningkatan pendidikan agama dan keagamaan, maupun berbagai persoalan keumatan lainnya, sesungguhnya dapat dimaknai sebagai upaya agar dalam memahami agama itu hendaknya dilakukan dengan pendekatan yang transformatif. Agama dilahirkan oleh Tuhan dan ditafsirkan oleh manusia yang pada hakikatnya perlu diorientasi untuk kemaslahatan manusia. Sebab, manusialah yang membutuhkan agama. Ajaran agama, termasuk zakat, perlu difahami sebagai instrumen agama dalam menjawab problem kemanusiaan, sehingga zakat yang masih berbentuk “energi potensial” itu dapat menjadi “energi aktual” guna menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Jika agama didedikasikan semata-mata untuk Tuhan, maka agama menjadi tidak fungsional dalam kontek kemanusiaan. Agama pun menjadi buntu dan menjadi isu-isu yang “melangit” semata, sehingga agama tidak mampu diterjemahkan untuk menjawab persoalan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, mengaktualisasikan zakat untuk memenuhi kehidupan hajat hidup orang banyak dan kebutuhan kemanusiaan merupakan sebuah keniscayaan. Memaknai zakat tidak hanya semata-mata berdasarkan perspektif “lagu lama” yang kurang sensitif kemanusiaan, tetapi juga zakat perlu dikoneksikan dengan fakta-fakta nyata di lapangan.
Ketiga, upaya LHS dengan ikhtiar melahirkan Peraturan Presiden tentang OPZ-ASN ini merupakan bagian dari strategi dan langkah kebijakan untuk menggali potensi zakat yang demikian besar. Diberitakan, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2017 telah berhasil menghimpun dana zakat hingga 6 triliun rupiah, yang di tahun sebelumnya hanya mencapai 5,12 triliun rupiah. Meskipun demikian, angka-angka itu masih jauh dari potensi dana zakat yang mencapai ratusan triliun rupiah. Ini artinya bahwa potensi zakat itu demikian besar dan masih belum teraktualisasi secara optimal. Pada saat yang bersamaan, selaku Menteri Agama, LHS memiliki kewajiban untuk mengoptimalkan potensi dana zakat itu dengan baik. Oleh karenanya, dapat difahami jika kemudian LHS berupaya untuk melahirkan regulasi OPZ-ASN ini.
ADVERTISEMENT
Keempat, upaya LHS untuk melahirkan Peraturan Presiden tentang OPZ-ASN ini pada gilirannya akan berdampak pada pembenahan tata kelola dan akuntabilitas lembaga zakat secara masif. Sebagaimana diketahui, pemerintah termasuk Kementerian Agama, tidak mengelola dana zakat. Dana zakat akan dihimpun dan didayagunakan oleh lembaga amil zakat, seperti BAZNAS atau LAZ yang didirikan oleh ormas Islam atau kalangan profesional lainnya. Dengan posisi ini, pemerintah sesungguhnya semata-mata bertindak sebagai regulator sekaligus fasilitator agar dana zakat yang masih berbentuk potensial itu bisa menjadi aktual. Pada sisi lain, publik belum memiliki kekuatan untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan lembaga amil zakat itu. Untuk itu, regulasi OPZ-ASN yang akan digulirkan tidak hanya mengatur tentang mekanisme penghimpunan semata, tetapi juga akan mengatur pendayagunaan dan pengawasan, sehingga publik juga mempunyai akses untuk ikut mengawasi dana zakat.
ADVERTISEMENT
Selain empat perspektif di atas, ada banyak alasan lain yang dapat memahami atas inisiasi LHS dengan regulasi OPZ-ASN ini. Yang pasti, ijtihad LHS dan Kementerian Agama ini jauh lebih transformatif dan rasional, karena memberi penguatan pada aspek kemanusiaan yang lebih kental dibanding dengan regulasi yang tidak sensitif kemanusiaan dan rasionalitas.