Mengapa Anggaran untuk Lembaga Pendidikan Islam Rendah?

Konten dari Pengguna
14 Maret 2018 18:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wendy Suwendy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Anggaran untuk Lembaga Pendidikan Islam Rendah?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengapa Anggaran untuk Lembaga Pendidikan Islam Rendah?
Suwendi
Alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ADVERTISEMENT
Judul tulisan di atas agaknya merepresentasikan sejumlah kegelisahan dan kegamangan berbagai pihak, baik dari kalangan birokrat maupun dari masyarakat sendiri, utamanya para penyelenggara lembaga pendidikan Islam. Hampir-hampir dalam banyak kasus, masyarakat memperbandingkan antara pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Agama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang pada kesimpulannya kurang puas atas anggaran yang diterima dari Kementerian Agama. Apakah pejabat di lingkungan Kementerian Agama berdiam diri atas kondisi demikian? Penulis berkeyakinan kuat bahwa para pejabat di lingkungan Kementerian Agama selalu berupaya sekuat tenaga agar dapat meraih anggaran yang cukup sehingga dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Jika demikian, lalu persoalannya dimana? Tulisan sederhana ini akan mengungkapkan hal itu.
Layanan Pendidikan di Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, sebagai turunan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga yang berwenang untuk menangani lembaga pendidikan Islam adalah Kementerian Agama, dalam hal ini Ditjen Pendidikan Islam. Kementerian Agama-lah yang paling otoritatif dalam melakukan penataan regulasi, rekognisi, dan fasilitasi atas layanan-layanan pendidikan Islam.
Sebelum menunjukkan sejumlah layanan pendidikan Islam, terlebih dahulu patut dikemukakan tentang sistem pendidikan Islam, terutama mengenai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Merujuk pada Undang-UndangNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama Bab VIBagian Kesatu, dalam sistem pendidikan nasional dikenal dengan terminologi jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pada pasal 13, dijelaskan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada pasal 14 dijelaskan tentang jalur formal itu terdiri atas jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi. Sementara jenis pendidikan diuraikan dalam pasal 15 yang mencakup jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
ADVERTISEMENT
Merujuk undang-undang di atas, Kementerian Agama dalam hal ini Ditjen Pendidikan Islam, menangani seluruh satuan pendidikan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan itu yang secara terinci dijelaskan sebagai berikut.
Pertama,jenis pendidikan umum yang berciri khas Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, berupa RA (Raudlatul Athfal), MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Berdasarkan data EMIS (Education Management Information System) Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016, secara keseluruhan keempat lembaga ini berjumlah 77.336lembaga, dengan jumlah guru sebanyak 820.835jiwa, dan jumlah siswa sebanyak 9.252.437 anak. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.
Data Jenis Pendidikan Umum Berciri Khas Islam
Jalur Formal Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
ADVERTISEMENT
No. Nomenklatur Lembaga Guru Siswa
1. RA/BA/TA 27.999 48.596 1.231.101
2. Madrasah Ibtidaiyah 24.560 269.460 3.565.875
3. Madrasah Tsanawiyah 16.934 265.784 3.160.685
4. Madrasah Aliyah 7.843 236.999 1.294.776
Jumlah 77.336 820.835 9.252.437
Kedua,jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenis pendidikan ini terdiri atas SPM (Satuan Pendidikan Muadalah) dan PDF (Pendidikan Diniyah Formal). Keberadaan kedua lembaga ini secara regulatif terbilang baru, namun secara faktual telah berlangsung sejak lama yang berkembang di pondok pesantren. Kedua lembaga ini didasarkan atas PMA (Peraturan Menteri Agama) nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan PMA nomor 18 tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren. Berdasarkan data sementara, jumlah lembaga ini secara keseluruhan berjumlah 112lembaga dengan jumlah ustad sebanyak 2.240 dan santri sebanyak 48.913jiwa.
ADVERTISEMENT
Data Jenis Pendidikan Keagamaan Islam
Jalur Formal Jenjang Dasar dan Menengah
No. Nomenklatur Lembaga Ustad Santri
Jenjang Pendidikan Dasar
1. SPM setingkat MTs 32 640 15.058
2. PDF Wustha 10 200 1.500
Jenjang Pendidikan Menengah
3. SPM setingkat MA 49 980 27.784
4. PDF Ulya 21 420 4.571
Jumlah 112 2.240 48.913
Ketiga,jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikantinggi. Berdasarkan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terutama Pasal 30, pendidikan tinggi keagamaan terdiri atas sejumlah nomenklatur, yakni Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan Ma’had Aly. Berdasarkan data EMIS, secara keseluruhan jumlah PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) sebanyak 712 lembaga, dengan rincian sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
No Nomenklatur Jumlah
1 Universitas Islam Negeri 11
2 Universitas Islam Swasta 99
3 Institut Agama Islam Negeri 26
4 Institut Agama Islam Swasta 51
5 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri 18
6 Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta 494
7 Ma’had Aly 13
Jumlah 712
Adapun jumlah total dosen setidaknya berjumlah 440,142 orang dan mahasiswa sebanyak 747,686 jiwa.
Keempat, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal yang terdiri atas MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), pendidikan Alquran dan pondok pesantren. Dari ketiga lembaga ini, secara total jumlah lembaga berjumlah 240.387 lembaga, dengan ustad berjumlah 1.386.426 orang, dan santri berjumlah 17.385.552 jiwa.
Adapun rincian dari ketiganomenklatur itu dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan data EMIS Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016, jumlah lembaga MDT saat ini sebanyak 76.566 lembaga (MDT Ula sebanyak 72.853 lembaga, MDT Wustha sebanyak 10.330 dan MDT Ulya sebanyak 1.613 lembaga), dengan jumlah santri secara total berjumlah 6.000.062 jiwa (MDT Ula sebanyak 5.472,140 orang, MDT Wustha sebanyak 451,989 orang dan MDTUlya sebanyak 75,933 orang), dan jumlah ustad sebanyak 443.842 jiwa.
ADVERTISEMENT
Untuk Pendidikan Al-Quran, setidaknya terdapat tiga lembaga pendidikan, yakni TKA (Taman Kanak-Kanak Alquran) untuk usia 4-7 tahun, TPA (Taman Pendidikan Alquran) untuk usia -11 tahun, dan TQA (Ta’limul Quran lil-Awlad) untuk usia 11-17 tahun. Jumlah lembaga pendidikan Al-Quran ini sebanyak 134.860 lembaga, dengan ustad sebanyak 620.256, dan santri sejumlah 7.356.830 jiwa.
Berdasarkan data EMIS Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016, jumlah pondok pesantren seluruh Indonesia berjumlah 28.961 lembaga, yang terdiri atas pesantren sebagai satuan pendidikan (hanya mengaji saja) yang biasa disebut pesantren salafiyah sebanyak 15.057 lembaga (51.99%) dan pesantren sebagai penyelenggarapendidikan (di samping mengaji juga mengadakan pendidikan formal, seperti Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi dan nonformal, seperti Program Wajar Dikdas Salafiyah Ula/Wustha, Paket A/B/C dll) sebanyak 13.904 lembaga (48.01%). Adapun jumlah santri secara total berjumlah 4.028.660 orang. Dari jumlah santri tersebut, santri yang mengikuti layanan pendidikan Madrasah (MI/MTs/MA) berjumlah 1.858.352 orang (46.13%), layanan pendidikan Sekolah (SD/SMP/SMA/SMK) berjumlah 1.343.230 orang (33.34 %), layanan perguruan tinggi berjumlah 67.320 orang (1.67 %), layanan Pendidikan Kesetaraan (Program Wajar Dikdas Salafiyah Ula/Wustha, Paket A/B/C) berjumlah 82.046 orang (2.04 %), dan yang hanya mengaji kitab saja berjumlah 677.712 orang (16.82 %), dengan jumlah ustad/kyai sebanyak 322.328 orang.
ADVERTISEMENT
Dari ketiga nomenklatur dari jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal itu dapat diakumulasi jumlah lembaga sebanyak 240.387dengan ustad sebanyak 1.386.426 dan santri sebanyak 17.385.552. Adapun rinciannya sebagai berikut.
No Nomenklatur Lembaga Ustad Santri
1 Madrasah Diniyah Takmiliyah 76.566 443.842 6.000.062
2 Pendidikan Alquran 134.860 620.256 7.356.830
3 Pondok Pesantren 28.961 322.328 4.028.660
Jumlah 240.387 1.386.426 17.385.552
Kelima, pendidikan agama Islam pada sekolah. Penyelenggaran mata pelajaran PAI (Pendidkan Agama Islam) untuk semua sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK) baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia itu ditangani oleh Ditjen Pendidikan Islam, terutama pada aspek ketersediaan guru dan pengawas beserta hak-hak yang melekat padanya seperti gaji, tunjangan profesi, danpembinaan-pembinaan lainnya. Demikian juga, untuk tunjangan profesiguru PAI pada sekolah yang diangkat oleh Pemerintah Daerah dari seluruh Indonesia itu menjadi tanggungan Ditjen Pendidikan Islam. Dalam konteks ini, sebenarnya Kementerian Agama telah memberikan subsidi yang begitu besar untuk Pemerintah Daerah, setidaknya melalui penyediaan tunjangan profesi bagi guru-guru PAI pada sekolah yang diangkat oleh Pemerintah Daerah.
ADVERTISEMENT
Adapun jumlah guru dan pengawas PAI yang terdata di Ditjen Pendidikan Islam secara keseluruhan berjumlah 185.636 dengan rincian guru PAI 180.040 orang dan pengawas PAI sebanyak 5.596serta jumlah sasaran siswa yang beragama Islam pada sekolah sebanyak 34.371.621 jiwa. Adapun jumlah sekolah secara keseluruhan berjumlah 213.256 lembaga yang terdiri atas SD/SDLB sebanyak 149.310 lembaga, SMP/SMPLB sebanyak 37.439 dan SMA/SMALB/SMK/SMKLB sebanyak 26.507 lembaga.
Secara rinci diuraikan sebagai berikut.
NO NOMENKLATUR TK SD/SDLB SMP/SMPLB SMA SMK TOTAL
1 Lembaga 149.310 37.439 26.507 213.256
2 Guru PAI 3.596 127.797 29.555 11.225 7.867 180.040
3 Pengawas PAI 5.596 5.596
4 Peserta Didik Muslim 22.460.814 8.003.865 2.188.957 2.076.875 34.371.621
ADVERTISEMENT
Keenam, pendidikan kesetaraanpada Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar melalui pondok pesantren. Berdasarkan data EMIS Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016, jumlah pesantren penyelenggara program pendidikan kesetaraan berjumlah 1.461 lembaga dengan jumlah ustad 8.970 orang dan santri sebanyak 99.727 jiwa. Secara lebih rinci dipaparkan sebagai berikut.
No Nomenklatur Lembaga Ustad Santri
1 Salafiyah Ula/Paket A 393 8.970 20.927
2 Salafiyah Wustha/Paket B 980 74.006
3 Paket C 88 4.794
Jumlah 1.461 8.970 99.727
Berdasarkan data-data di atas, Ditjen Pendidikan Islam mengelola, membina, dan memfasilitasi sejumlah nomenklatur pendidikan yang secara akumulatif jumlah lembaga sebanyak 533.264 dengan pendidik sebanyak 2.844.149 orang dan peserta didik sebanyak 61.905.936 jiwa, dengan rincian sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
No Nomenklatur Lembaga Pendidik Peserta Didik
A Jenis Pendidikan Umum Berciri Khas Islam (Madrasah) 77.336 820.835 9.252.437
B Jenis Pendidikan Keagamaan Jalur Formal Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (SPM dan PDF) 112 2.240 48.913
C Jenis Pendidikan Keagamaan Jalur Formal Jenjang Pendidikan Menengah (PTKI) 712 440.142 747.686
D Jenis Pendidikan Keagamaan Islam Jalur Nonformal:
1 Madrasah Diniyah Takmiliyah 76.566 443.842 6.000.062
2 Pendidikan Alquran 134.860 620.256 7.356.830
3 Pondok Pesantren 28.961 322.328 4.028.660
E Pendidikan Agama Islam pada Sekolah 213.256 185.536 34.371.621
F Pendidikan Kesetaraan:
Program Pendidikan Kesetaraan pada Pesantren 1.461 8.970 99.727
Jumlah 533.264 2.844.149 61.905.936
ADVERTISEMENT
Dari sejumlah layanan pendidikan di atas, setidaknya 3 hal yang harus dilakukan oleh Ditjen Pendidikan Islam, yakni regulasi, rekognisi, dan fasilitasi. Regulasi mencakup semua peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan, pembinaan, dan peningkatan layanan pendidikan Islam, mulai regulasi yang bersifat makro maupun implementasi di lapangan. Rekognisi meliputi pengakuan atas pelaksanaan layanan sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi itu. Demikian juga terhadap pola-pola penyelenggaraan yang terlebih dahulu ada namun belum diatur, diperlukan upaya rekognisi secukupnya sehingga dapat dirasakan keadilan yang merata. Fasilitasi adalah afirmasi penyelenggaraan demi suksesnya pendidikan, baik yang bersifat mandatory maupun afirmation action, terkait kelembagaan, sarana prasarana, ketenagaan, pesertadidik, kurikuler, maupun penjaminan mutu atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga lain terhadap layanan pendidikan, Ditjen Pendidikan Islam pun melakukan hal yang sama, tidak ada beda.
ADVERTISEMENT
Kue Pembangunan Pendidikan
Mengacu pada implementasi anggaran tahun 2015, yang bersumber dari bahan Rapat Terbatas antara Kementerian Agama RI dengan DPR RI tanggal 11 Februari 2015 dan Kemendikbud RI dengan DPR RI tanggal 25 Februari 2015, diperoleh data bahwa dari APBN sebesar Rp. 1.994,89 Titu digunakan untuk anggaran pendidikan sebesar 20.46% atau senilai Rp. 408,09 T. Anggaran pendidikan itu dibagi untuk belanja Pemerintah Pusat melalui sejumlah Kementerian/Lembaga dan belanja Pemerintah Daerah melalui Pemerintah DaerahProvinsi dan Kabupaten.
Untuk Pemerintah Pusat, alokasi anggaran pendidikan sebesar 37,5% dari 408,09 T atau senilah 153.199,5 T. itu diperuntukkan kepada 1) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar 53.278,5 T, 2) Kementerian Riset dan Teknologiserta Pendidikan Tinggi sebesar 41.507,7 T, 3) Kementerian Agama sebesar 49.409,9 T dan 4) Kementerian/Lembaga lainnya sebesar 9.003,4 T. Dari alokasi Kementerian Agama itu, dialokasikan untuk Ditjen Pendidikan Islam yang menangani semua kebutuhan layanan pendidikan Islam sebagaimana diuraikan di atas sebesar 46.398,9 T.
ADVERTISEMENT
Untuk Pemerintah Daerah, alokasi anggaran sebesar 62,5% dari 408,09 T atau senilai 254.895,5T. itu diperuntukkan untuk 1) Anggaran Pendidikan dalam DBH sebesar 1.337,7T, 2) DAK Pendidikan sebesar 10.041,3T, 3) Anggaran Pendidikan dalam DAU sebesar 134.970,3T, 4) Dana Tambahan Penghasilan PNSD sebesar 1.096,0T, 5) Tunjangan Profesi Guru sebesar 70.252,7T, 6) Anggaran Pendidikan dalam OTSUS sebesar 4.234,7T, 7) Dana Insentif Daerah sebesar 1.664,5T, dan 8) Bantuan Operasioal Sekolah (BOS) sebesar 31.298,3T.
Untuk alokasi anggaran pada Pemerintah Daerah tentu lebih diarahkan pada layanan-layanan pendidikan yang didesentralisasi, yakni layanan pendidikan Sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan SMK). Pemerintah Daerah dalam banyak tidak memberikan bantuan secara signifikan kepada layanan pendidikan yang di berada di bawah naungan Ditjen Pendidikan Islam. Sementara, anggaran untuk lembaga pendidikan dengan nomenklatur Sekolah itu juga telah disediakan anggarannya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, Sekolah mendapatkan 2 (dua) sumber pendanaan, yakni dari Pemerintah Daerah dan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga untuk layanan pendidikan tinggi umum, seperti universitas dan institut pada perguruan tinggi umum itu dibiayai dari Kementerian Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi tersendiri.
ADVERTISEMENT
Anggaran pada Ditjen Pendidikan Islam yang sebesar 46.398,9 T. itu diperuntukkan pada semua layanan pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, tak terkecuali untuk pendidikan tinggi. Bahkan, dari anggaran itu, Ditjen Pendidikan Islam berkewajiban untuk membiayai tunjangan sertifikasi guru PAI pada sekolah, yang meskipun diangkat oleh Pemerintah Daerah. Beban layanan yang begitu besar namun tidak diimbangi dengan beban anggaran yang cukup. Sebagai perbandingan, alokasi anggaran Ditjen Pendidikan Islam yang sebesar 46.398,9T itu jauh lebih kecil dibanding dengan hanya 1 (satu) alokasi anggaran untuk tunjangan profesi guru pada sekolah (TK, SD, SMP, SMA, SMK) yang berada di Pemerintah Daerah sebesar 70.252,7T. Sementara anggaran Ditjen Pendidikan Islam yang sebesar 46.398,9T itu, di samping untuk tunjangan profesi guru pada seluruh madrasah, guru PAI pada sekolah, dosen pada perguruan tinggi keagamaan, BOS pada Madrasah, rehab, gaji, untuk pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, dan hal-hal lainnya di seluruh Indonesia, baik untuk tingkat pusat maupun untuk daerah. Menurut hemat penulis, hal ini tidak mencerminkan proporsionalitas dan keadilan anggaran untuk layanan pendidikan. Oleh karenanya, siapapun yang menjadi pucuk pimpinan negara ini, jika skema anggaran itu masih tetap menggunakan proporsi sebagaimana diungkapkan di atas, maka sepanjang itu pula afirmasi negara untuk pendidikan Islam akan sulit dipenuhi.
ADVERTISEMENT
Jika dengan menggunakan pendekatan APK, maka pola anggaran itu pun tidak linier atau tidak sepadan dengan nilai APK. Misal, APK layanan pendidikan madrasah (RA, MI, MTs, dan MA) pada tahun itu secara nasional 2015 sekitar 22% dari APK secara nasional. Jika dengan menggunakan pola ini semestinya anggaran untuk Pendidikan Madrasah itu setidaknya sama dengan besaran prosentase APK yang diraih, yakni 20%. Namun kenyataannya, hal itu tidak pernah terjadi, setiap tahun anggaran untuk pendidikan madrasah masih jauh di bawah 10% dari alokasi pendidikan secara nasional. Kontribusi APK-nya besar, namun alokasi anggarannya minim. Kondisi ini berkonsekwensi pada status dan kontribusi pemerintah yang sedikit. Dari data EMIS yang ada, diperoleh data bahwa secara keseluruhan mayoritas madrasah itu berstatus swasta dengan persentase mencapai 91,6% dari seluruh madrasah, sementara madrasah yang negeri tidak lebih dari 8,4%. Angka ini menunjukkan bahwa kontribusi masyarakat terhadap layanan pendidikan madrasah jauh lebih besar dibanding dengan kontribusi pemerintah. Lebih-lebih untuk layanan jenis pendidikan keagamaan Islam berupa pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran. Dalam banyak kasus, anggaran Ditjen Pendidikan Islam untuk layanan pendidikan keagamaan Islam pada jalur nonformalini tidaklebihdari2,5% dari total anggaran Ditjen Pendidikan Islam untuk pusat dan daerah. Sebab, mayoritas digunakan untuk anggaran yang bersifat mandatory (kewajiban berdasarkan undang-undang), seperti BOS, sertifikasi, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Persoalannya di mana?
Terdapat beberapa kata kunci untuk mencari “biang keladi” mengapa anggaran untuk layanan Pendidikan Islam itu sangat minim. Setidaknya melalui penelaahan atas regulasi undang-undang, baik yang menyangkut tentang pembagian keuangan pemerintah maupun undang-undang yang mengatur item-item pendidikan itu sendiri. Di samping itu, pendekatan yang digunakan dalam afirmasi anggaran.
Secara regulatif, penulis mengamati setidaknya ada 2 (dua) undang-undang yang perlu segera di-judical review atau diperbaharui untuk menghadirkan keadilan dalam persoalan anggaran, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur secara rinci tentang pembagian alokasi APBN. Pada bagian ketiga dalam UU itu diatur mengenai tentang Dana Alokasi Umum yang pada pasal 27 ayat (1), misalnya, disebutkan secara jelas bahwa “Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN”. Angka 26% dari APBN untuk dibagi ke Pemerintah Daerah jelas ini mengurangi secara signifikan atas pembiayaan pendidikan terutama yang bersifat sentralistik. Patokan prosentase ini berimplikasi atas semakin besarnya anggaran untuk Pemerintah Daerah, di satu sisi, dan semakin mengecilnya bagi Kementerian/Lembaga di Pemerintahan Pusat di sisi lain, yang pada gilirannya anggaran untuk Kementerian Agama, sebagai lembaga yang bersifat sentralistik, mendapatkan alokasi anggaran yang sangat kecil. Pemerintah Daerah yang telah mendapatkan alokasi 26% itu baru dari alokasi DAU. Belum lagi, Pemerintah Daerah dengan sendirinya mendapatkan alokasi 20% dari anggaran pendidikan dari PAD (Pendapatan Asli Daerah)-nya, sehingga Pemerintah Daerah mendapatkan alokasi anggaran pendidikan setidaknya 46%. Lebih dari itu, Pemerintah Daerah mendapatkan anggaran dari alokasi pendidikan dari DBH (Dana Bagi Hasil) DAK (Dana Alokasi Khusus) dan dana-dana lainnya. Alokasi anggaran yang ditempatkan di Pemerintah Daerah ini lagi-lagi diperuntukkan bagi layanan pendidikan sekolah (TK, SD, SMP, SMA, dan SMK), bukan untuk layanan di bawah naungan Ditjen Pendidikan Islam, semisal madrasah dan pondok pesantren. Pemerintah Daerah dapat memberikan afirmasi kepada layanan pendidikan keagamaan, jika telah ditopang dengan Peraturan Daerah atau regulasi-regulasi yang dibuat atas dasar political will pimpinan daerahnya. Itu pun dengan berbagai catatan, yakni jika tidak dihalangi dengan sejumlah regulasi atau aturan dari Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pemeriksa Keuangan atau inspektorat terkait yang melarang Pemerintah Daerah untuk membantu layanan pendidikan yang bersifat sentralistik.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen cenderung kurang memberikan porsi yang tepat terutama bagi masyarakat yang menyelenggarakan layanan pendidikan keagamaan Islam terutama pesantren, MDT dan pendidikan Alquran dan tentunya juga bagi Ditjen Pendidikan Islam. Sebagaimana dimafhumi, UU Nomor 14 Tahun 2005 ini diturunkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru yang berimplikasi pada lahirnya kesejahteraan berupa tunjangan profesi dan tunjangan fungsional bagi guru. Meski UU ini sangat baik bagi layanan pendidikan sekolah dan madrasah, tetapi tidak memberikan efek signifikan bagi ustad-ustad pada pondok pesantren, MDT dan pendidikan Alquran. Sebab, sebagaimana didefinisikan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP 74 tahun 2008 tentang Guru, bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Yang menjadi masalah adalah pada pembatasan bahwa yang dimaksud dengan guru hanya pengajar pada layanan pendidikan pada jalur formal saja. Ini berimplikasi pada guru yang mengajar di layanan pendidikan jalur nonformal, seperti kyai dan ustad pada pondok pesantren, MDT dan pendidikan Alquran itu tidak dikategorikan sebagai guru, sehingga para ustad ini tidak mendapatkan tunjangan profesi dan tunjangn fungsional. Tegasnya, kyai dan ustad tidak mendapatkan alokasi anggaran tunjangan profesi dan tunjangan fungsional. Di sisi yang lain, UU dan PP ini menjadi dasar kebijakan mandatory yang menyerap anggaran begitu besar, tetapi tidak berdampak kepada pondok pesantren, MDT dan pendidikan Alquran. Padahal, semua masyarakat mengakui bahwa kyai dan ustad terutama pada pondok pesantren itu telah mencurahkan semua kekuatan dan konsentrasinya untuk pondok pesantren selama 24 jam. Sementara guru yang mengajar pada sekolah dan madrasah dalam kenyataannya hanya dalam durasi waktu yang lebih terbatas dibanding dengan kyai atau ustad pesantren itu. Oleh karenanya, penulis mendorong kepada komunitas pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran seperti RMI (Rabithah Ma’ahadil Islamiyah), FKPP (Forum Komunikasi Pondok Pesantren), FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah), FKPQ (Forum Komunikasi Pendidikan Alquran), dan kalanga masyarakat lainnya untuk melakukan judical review atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, setidaknya dalam mendefinisikan guru itu. Guru tidak hanya dibatasi pada pendidikan jalur formal semata, tetapi juga pada pendidikan jalur nonformal. Jika ini terjadi, maka akan berimplikasi pada turunan berikutnya yang didorong agar kyai dan ustad juga mendapatkan tunjangan yang sama sebagaimana guru pada madrasah dan sekolah.
ADVERTISEMENT
Pada aspek lain, yang perlu mendapat perhatian untuk mendorong keadilan anggaran ini adalah “rezim” APK (Angka Partisipasi Kasar) Pendidikan yang seringkali dijadikan basis penghitungan anggaran. Sebagaimana dimaklumi, APK sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemajuan bangsa itu didasarkan pada seberapa besar warga bangsa itu mampu menuntaskan pendidikan pada jalur formal. Semakin besar masyarakat menyelesaikan pendidikan pada jalur formal maka semakin besar APK yang diraih; dan itu semakin banyak pula anggaran yang harus disediakan untuk layanan pendidikan jalur formal. Rezim ini berimplikasi pada tidak berlakunya layanan pendidikan jalur nonformal sebagai pengungkit APK sehingga lemah atau kurang terafirmasinya ketersediaan anggaran pendidikan yang dialokasikan untuk layanan pendidikan nonformal itu. Lagi-lagi, dengan tegas dikatakan, anggaran untuk layanan pendidikan keagamaan Islam pada jalur nonformal seperti pondok pesantren, MDT, pendidikan Alquran itu hanya mendapatkan anggaran yang sangat minim, akibat tidak dianggap berkontribusi atas APK.
ADVERTISEMENT
Setidaknya dua regulasi, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dan rezim APK inilah yang menurut hemat penulis menjadi “biang keladi” atas minimnya anggaran untuk Ditjen Pendidikan Islam. Dengan ditransfernya anggaran pendidikan ke Pemerintah Daerah dalam jumlah yang demikian besar dan definisi guru yang hanya dibatasi kepada layanan pendidikan jalur formal itu ditengarai tidak memberikan afirmasi yang signifikan bagi Ditjen Pendidikan Islam. Demikian juga dengan pola anggaran yang didasarkan atas alat ukur APK sehingga layanan pendidikan pada jalur nonformal, seperti pondok pesantren, MDT, dan Pendidikan Alquran yang demikian besar jumlahnya dan menjadi tanggung jawab Ditjen Pendidikan Islam, tidak mendapatkan anggaran yang cukup. Jika regulasi dan rezim APK ini tetap dilanggengkan, maka dugaan kuat penulis, siapapun yang menjadi pimpinan bangsa, Menteri Agama, ataupun Direktur Jenderal Pendidikan Islam-nya tampaknya tidak akan berpengaruh terhadap anggaran untuk Ditjen Pendidikan Islam.
ADVERTISEMENT
Implikasi atas minimnya anggaran Ditjen Pendidikan Islam di antaranya adalah besarnya lembaga-lembaga pendidikan yang berstatus swasta. Untuk kasus pendidikan madrasah (MI, MTs, MA), misalnya berdasarkan data EMIS tahun 2012/2013, dari total madrasah 46.452 lembaga itu yang berstatus swasta mencapai 42.570 atau 91,6%, sedangkan yang berstatus negeri hanya 3.882 lembaga atau 8,4% saja. Rincian detailnya adalah sebagai berikut.
Lembaga Negeri % Swasta % Jumlah
MI 1,686 7.0 22,253 93.0 23,939
MTs 1,437 9.2 14,157 90.8 15,594
ADVERTISEMENT
MA 759 11.0 6,160 89.0 6,919
Jumlah 3,882 8.4 42,570 91.6 46,452
Demikian juga pada lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam yang terdiri atas Universitas, Institut, Sekolah Tinggi dan Ma’had Aly, dari total 712 lembaga itu yang berstatus negeri hanya 55 lembaga atau 7.72%, sedangkan yang yang berstatus swasta 657 lembaga atau 92.28%. Ini menunjukkan partisipasi pemerintah terhadap layanan pendidikan Islam jauh lebih kecil dibanding dengan partisipasi masyarakat itu sendiri. Tentu konsekwensi-konsekwensi lainnya atas anggaran pemerintah terhadap layanan pendidikan Islam yang sangat minim itu berpengaruh terhadap tingkat akreditasi lembaga dan persoaan-persoalan lainnya, seperti guru dan dosen yang berstatus swasta yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang berstatus negeri, dan lain-lain. Apatah lagi untuk pembiayaan pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal, seperti pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran, tentu akan menghadapi kendala yang lebih serius lagi. Oleh karenanya, persoalan-persoalan mendasar atas problematika anggaran ini patut untuk segera diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Penutup
Memahami uraian di atas, ternyata persoalan minimnya anggaran pendidikan Islam itu bukan dipengaruhi oleh Kementerian Agama, tetapi, setidaknya, justeru oleh regulasi dan rezim APK yang menjadi dasar pengalokasian anggaran yang tidak berpihak pada layanan pendidikan Islam. Regulasi dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Persoalan regulasi harus dapat segera dipecahkan, terutama oleh kawan-kawan legislatif, yang bisa jadi perlu didorong oleh masyarakat, terutama melalui judical review, atau inisiasi DPR sendiri untuk melakukan perubahan regulasi itu. Di sisi lain, pola anggaran yang dikoordinasikan melalui Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Kementerian Keuangan, dan lembaga-lembaga lainnya yang selalu merujuk pada APK (Angka Partisipasi Kasar) Pendidikan telah nyata-nyata berimplikasi pada minimnya anggaran untuk pendidikan Islam, terutama untuk layanan pendidikan pada jalur nonformal seperti pondok pesantren, MDT, dan pendidikan Alquran. Jika tidak segera dilakuakn pembenahan, hingga sampai kapan anggaran untuk pendidikan Islam akan bisa berubah lebih baik? Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT
Catatan:
*) Tulisan ini pernah dimuat di www.nu.or.id, 13 Februari 2017.