Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Menjadi Diplomat dan 'Temporary Single Parent'
14 April 2019 1:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Wenny Fabiomarta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang diplomat perempuan tidaklah mudah. Selain harus bisa multitasking antara pekerjaan dan keluarga, seorang diplomat perempuan juga terkadang harus siap menjadi 'single parent sementara' bagi anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
'Single parent' di sini bukan berarti tidak memiliki atau bercerai dari suami, namun simply karena suami si diplomat perempuan yang ditugaskan di luar negeri ini tidak ingin ikut penugasan sang istri dikarenakan sudah memiliki pekerjaan yang mapan di Indonesia atau memiliki usaha yang harus dikelola di Indonesia. Sehingga si suami hanya berkunjung beberapa kali dalam setahun atau tiap bulannya tergantung tempat penugasan dan kondisi keuangan.
Saya adalah salah seorang diplomat wanita yang ditugaskan di Songkhla, Thailand Selatan, selama sekitar 3 tahun dengan membawa pada saat itu satu orang anak perempuan dan sepupu perempuan yang saya ajak untuk menemani dan membantu saya di sana.
Suami yang telah memiliki pekerjaan dan karier yang cukup baik memutuskan untuk tidak ikut penugasan saya dan berkunjung ke Songkhla satu kali sebulan.
ADVERTISEMENT
Di awal tahun penugasan, saya mendapat berita bahagia kalau saya sedang hamil anak kedua. Bahagia dan juga galau karena hamil jauh dari suami, ditambah penyesuaian dengan lingkungan rumah dan kantor yang baru. Belum lagi anak perempuan saya yg juga kesulitan menyesuaikan diri dikarenakan di sekolah teman-temannya berbahasa Thailand dan Inggris yang merupakan hal baru buat dia.
Setiap hari, anak perempuan saya pasti menangis. Hal tersebut berlangsung selama hampir satu tahun. Menyesuaikan diri dengan kondisi rumah, kantor, dan hormon hamil yang membuat saya sensitif, ternyata cukup berat. Sempat berpikir untuk meminta ditarik pulang ke Indonesia, namun keluarga besar dan suami selalu menguatkan dan mendukung saya untuk bekerja di Songkhla.
ADVERTISEMENT
Sekitar 34 minggu kemudian, saya memutuskan untuk kontrol kehamilan saya ke dokter dikarenakan sudah dua hari terakhir saya mengalami flek. Saya kemudian seperti biasa akan menyetir mobil sendiri ke rumah sakit.
Sebelum masuk ke mobil, sopir kantor menawarkan diri untuk mengantar saya ke rumah sakit karena melihat kandungan saya yang sedang hamil tua. Namun tawaran supir tersebut saya tolak karena tidak mau merepotkan orang lain, sifat mandiri saya yang terlalu besar dan karena saya juga tidak merasakan sakit apapun.
Namun setelah saya pikir-pikir, saya agak khawatir juga, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk mengajak adik sepupu saya untuk menemani saya, walaupun tetap saya yang menyetir mobil dalam keadaan hamil tersebut dan saya harus menempuh jarak ke rumah sakit sekitar 45 menit. Anak perempuan saya saat itu sedang di sekolah.
ADVERTISEMENT
Setiba di rumah sakit, dokter menyuruh saya untuk melakukan berbagai macam tes untuk mengetahui kondisi bayinya. Selama sekitar 1 jam dites, saya ditemani oleh sepupu saya tersebut. Ketika dokter masuk ke kamar dan menyampaikan kalau saya harus dioperasi caesar saat itu juga, saya cukup panik karena tidak ada ibu/bapak dan suami yang mendampingi.
Sepupu saya yang tidak bisa berbahasa Inggris hanya tersenyum. Ketika saya terjemahkan, mukanya langsung panik dan pucat karena dia satu-satunya keluarga saya di Songkhla, sementara dia masih remaja yang tidak tahu apa-apa tentang melahirkan.
Saya kemudian bernegosiasi ke dokter apakah mungkin operasinya diundur keesokan harinya sehingga suami bisa mendampingi melahirkan. Dokter pun menjawab jika tidak mau operasi saat itu, dokter tidak mau bertanggungjawab jika terjadi sesuatu dengan bayi nya.
ADVERTISEMENT
Ya sudahlah, saya tidak mau ambil risiko itu dan saya menyetujui untuk dioperasi hari itu juga tanpa didampingi suami. Saya pasrahkan semua kepada Allah SWT dan saya dibawa masuk ke ruang operasi. Alhamdulilah, anak laki-laki kami lahir dalam keadaan sehat dan suami datang keesokan harinya dan langsung mengazankan si bayi walaupun telat sehari.
Saya yakin kisah ini banyak dialami oleh diplomat-diplomat wanita Indonesia yang tidak didampingi suami saat bertugas di luar negeri. Pesan moralnya adalah Allah SWT tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Harus selalu berpikir positif dan menjadi diplomat wanita yang kuat serta mandiri.
ADVERTISEMENT