Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
HMI, Kau & Aku ( Untuk "Che" Adri)
22 Maret 2018 11:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Widdy Apriandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serasa baru kemarin, che, kita sama-sama ngikuti Latihan Kader (LK) I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Pastinya, kau masih ingat pemateri idola kita, kan? Kang Saeful Bahri Binzein. Itu, yang bawain materi manajemen aksi. "Mahasiswa adalah agen perubahan," katanya. Lalu, dia juga yang memotivasi kita untuk siap turun aksi. "Kalau jalan audiensi tertutup, maka tidak ada jalan lain kecuali demonstrasi," serunya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, kuyakin kita sama-sama merinding. Orasi beliau luar biasa menghunjam jantung. Dan sejak saat itu juga bukan kita sepakat milih jalan aksi sebagai rujukan? Siapa tidak mau sesohor Binzein sang demonstran?
Lalu, ada Kang Purwanto selaku pencerah perkara tata-kelola organisasi. Dari beliau, kita jadi tahu makna ke-organisasi-an HMI. Bahwa dialektika itu biasa. Bahwa perdebatan adalah alamiah. "Kita adalah kader ummat dan kader bangsa. Berfikir inklusif. Terbuka," ujarnya.
Sungguh, aku haru. Kau tahu, sejak reformasi 1998, bendera Hijau-Hitam HMI terpatri di benakku. Waktu itu, saat mahasiswa lagi gagah-gagahnya turun ke jalan, hanya bendera HMI yang mampu menggugahku. Padahal, ada Forum Kota (Forkot). Terlepas, ada Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang konon paling keras saat itu.
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang lalu kuputuskan penuh tekad. Satu, aku harus kuliah bagaimanapun caranya. Sebab, hanya dengan cara itu aku bisa sampai pada poin ke-dua ; masuk HMI.
Jadi, sedari awal aku haqqul yaqin terlibat di HMI. Ditambah materi dari Kang Pur, aku jadi tambah semangat. Minimal, makin pe-de bahwa ber-HMI bukan salah alamat.
***
Ber-HMI berarti mengarungi jenjang pengkaderan. Di tengah jalan, che, kau dan aku bertemu rupa-rupa orang. Termasuk, rupa-rupa masalah.
Sungguh, aku adalah kader yang paling gandrung pada sosok (Alm) Fauzi Ramdhan. Menurutku, dia adalah sosok Ketua Umum (Ketum) Cabang paling luar biasa. Telaten ngurus kader. Fair nyeleksi mana yang layak dan tidak. Hingga kemudian dia tiada, aku shock. Sebab, belum lengkap rasanya aku dan kau dikader.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada sosok Dede Supendi. Kepala Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah & Hak Azasi Manusia (HAM) HMI Cabang--yang darinya aku kepincut kepingin mengisi jabatan eksternal juga. Siapa tidak mau, lagian? Sejak mahasiswa sudah banyak jaringan. Kupikir, itu lebih keren dari 'titel' banyak mantan.
Dan jangan lupa, che, si orator penuh drama bernama Maksum Kosasih. Dia Sekretaris Umum (Sekum) HMI Cabang yang teliti, antusias dan penuh semangat. Kalau bukan karena dia, kurasa aku tak akan pernah pe-de pegang TOA. Bertindak sebagai orator di kemudian hari.
Serasa baru kemarin, che. Apalagi, saat berkawan kita dengan Dendri Miftha Agustian. Ketum Komisariat STH Purnawarman. Tiada ingatan paling mengesankan selain perhelatan Musyawarah Daerah (MUSDA) Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Barat. Ada Kang Pur dan Kang Binzein saat itu di kamar kontingen Purwakarta. Dan tentu, Dendri karib kita yang jenaka.
ADVERTISEMENT
***
Ah, sungguh, waktu bergulir terlalu cepat, che. Kemarin, kita belajar manajemen konflik dan permainan peran. Kini, sering kita berkurusetra di tengah konflik dalam peran masing-masing.
Dulu, kita cakar-cakaran berebut porsi kekuasaan di Senat Mahasiswa (SEMA) yang lalu jadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Adu manuver, saling intrik. Gantian. Kalau bukan kau yang kalah, maka ya aku-lah.
Kini, dihadapan kita adalah kekuasaan betulan. 'Ruang' dimana kawan dan kenalan ada di dalamnya. Kau tahu-lah, alhamdulilah, Kang Binzein idola kita itu kini telah menjadi pengusaha sukses. Lalu, Kang Purwanto sekarang diamanati jabatan Kepala Dinas Pendidikann. Begitupun, senior-senior kita yang lain, entah Kang Dede, Kang Maksum dan Dendri sahabat kita itu. Mereka tersebar, entah di pos eksekutif maupun legislatif.
ADVERTISEMENT
Pencapaian masing-masing yang luar biasa. Sementara, kita barangkali masih harus bersabar untuk berproses. Tenang saja. Seperti kau bilang, tiap orang punya jalannya sendiri-sendiri. Sekaligus, fatsun himpunan kita juga kan yang menekankan soal pentingnya proses. Tak peduli letih. Atau, jerih.
Hanya, che, suka atau tidak, persinggungan itu niscaya. Apalagi, di ruang serba dinamis bernama pergumulan sosial. Dikreasi atau tidak, bila sudah waktunya, maka ya jadi juga.
Entah persinggungan itu dengan siapa? Mungkin dengan senior satu komisariat. Atau, beda komisariat. Atau, jangan-jangan dengan kau sendiri.
Tapi, pikirku, persinggungan itu tak akan jadi turbulensi tanpa kendali. Sebab, bukankah kita diajari penyelesaian persoalan secara cerdas dan jernih?
Lalu, kita juga punya lingua franca yang sama. Rasa-rasanya, resolusi bukan sesuatu yang musykil terjadi. Sebab, dari awal, sudah biasa kita bersengketa. Beradu perspektif di panggung politik bernama Konfercab, Musda dan Kongres.
ADVERTISEMENT
Tapi, toh kita sudah membuktikan kalau kita berbeda. Jijik dengan pekik hardik. Apalagi, sampai mengacungkan badik.
Entah bagaimana perspektif orang. Sebab, sialnya, kita lebih sering jadi korban klaim. Malah, meski dibenci, toh berkali-kali kita jadi komoditi yang dikapitalisasi. Dibuang, tapi sayang.
Padahal, sebagai kader, kita hanya ingin bilang kalau ada sesuatu yang janggal. Kita kemukakan fakta dan realita, sambil ingin mengajak ayo perbaiki bersama. Kita hanya ingin rekonstruksi. Bukan destruksi.
Che, kan kita cinta pada himpunan ini. Cinta yang dalam akar sejarah dan sosial kita terbukti jauh dari kata hipokrit. Kita angkat bendera. Kita jaga marwah lembaga.
Cinta yang berarti terdepan saat benar dan salah. Duluan mendukung dan mengingatkan.
ADVERTISEMENT
Ya, entah apa kata orang. Kau dan aku sama-sama ngeuh, kita benci fanatisme buta. Kita muak dengan desas-desus yang berefek macam tetanus. Lalu, kita memutuskan turun ke gelanggang. Terpanggil untuk menjadi bagian kontra desas-desus dan propaganda.
Che, di pusaran konflik, segala sesuatu bisa terjadi. Apa yang diperjuangkan bisa saja bias seketika. Terdistorsi persepsi dan spekulasi. Dan percayalah, itu nyebelin.
Tapi, ya sudah, che, pada akhirnya biar waktu yang bicara. Apa dan siapa kita, terserah bagaimana kelak terungkap.
Aku do'akan kau dengan gerakanmu. Tapi, do'akan juga aku untuk apa yang sedang kulakukan saat ini. Sama-sama mendo'akan. Kan, adil.
***
Che, senior kita, Ketua KAHMI Jabar, Kang Dedi Mulyadi (DM), nyalon dia sebagai Wakil Gubernur (Wagub). Kau pasti tahu itu.
ADVERTISEMENT
Aku tahu, kau punya pilihan. Demikian juga aku. Apapun itu, lagi-lagi kuyakin kita punya lingua franca yang sama.
Pilihan boleh beda, tapi ya sudah. Kenapa harus jadi ribut? Preferensi politik kan urusan sendiri-sendiri. Yang repot adalah kalau dibikin jadi masalah komunal. Sebab, salah-salah suatu waktu bertransformasi menjadi hooligan.
Apalagi, kalau dikapitalisasi menjadi wacana satu mata. Buatku, itu betul-betul kejahatan paling nyata. Lebih-lebih, jika memuncak menjadi narasi "anti". Ini lebih gila lagi. Fasis luar biasa.
Sebab, ketika sampai pada pengertian "anti", maka kita sedang menempatkan orang pada koridor salah melulu. Bahkan, lebih sesat dari iblis marduk. Ini yang salah, che! Ini yang harus dilawan...
Btw, che, kau harus lihat Kang DM sekarang! Entah kenapa, aku jadi ingat cerita Cak Nun dan Gus Dur. Cak Nun emoh nyamperin Gus Dur saat masih berkuasa. Namun, toh dia yang paling duluan mbarengi Gus Dur pulang ke rumah saat pungkas di-impeach DPR-RI.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks yang paling personal, Kang DM adalah pribadi yang menyenangkan. Ngomong segaya kita. Dan...komikal.
Mungkin, suatu waktu, che, kita bisa bilang begini ke beliau, "Kang, ngopi yuk?" Akrab. Plus, tanpa background politik yang bikin jengah. Alih-alih, ngobrol sebagai sama-sama personal. Sama-sama manusia yang perlu bicara.
Purwakarta, 22 Maret 2018
W.A.