Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
#MARIBICARA -- TAMAN SRI BADUGA (2)
31 Maret 2018 16:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Widdy Apriandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ini pengalaman pribadi. Kalau mau coba, silakan. Kalau pun tidak, ya ngga masalah. Sebab, kata almarhum om Bob Sadino, "Bergayalah sesuai isi kantongmu". *Al-fatihah* untuk beliau.
ADVERTISEMENT
Nongkrong sambil makan jagung, malam-malam, di trotoar Taman Sri Baduga. Itu maksud saya. Gaya hidup a la kadar. Tapi, eh, kok, menyenangkan juga.
Apalagi, bertemankan pasangan. Kesenangannya berlipat ganda. Tapi, ini saran saja, harus pasangan sah, ya. Biar ber-faedah. Lebih 'teknis' lagi, amit-amit digelandang Pak RT atau Satpol - PP.
Anu, saya ingin coba mendeskripsikan perasaan nongkrong-nya. Begini ; angin berhembus sejuk. Suasana sekitar redup temaram. Tentram. Syahdu. Bonusnya, makin malam, lalu-lalang kendaraan makin jarang. Tenang.
Sungguh, itu ngeunaheun (istilah sunda yang artinya adalah "enak" atau "nyaman" ; Pen). Di situasi demikian, komunikasi jadi lebih jernih. Jauh lebih berkualitas.
Banyak hal jadi bisa dibahas. Maklum, pendengaran tak terdistorsi suara bising ngga karuan. Termasuk, pikiran tak di-interupsi gangguan macam-macam. Entah notifikasi sosial media. Entah SMS layanan sialan. Atau, chat ghibah tak perlu (tapi memang menarik) dengan kawan, seputar apa benar DJ Butterfly yang aduhai itu transgender? Mudah-mudahan hoax.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, ada spasi yang serasa lega. Penat, meski sedikit, mampu terurai. Senyum, lalu tawa, bisa merekah. Kadang, pecah.
Eh, iya, yang jauh lebih penting, biaya nongkrongnya ngga mahal. Ini esensial, lho. Perlu digaris-bawahi. Untuk seporsi jagung bakar, cukup bayar sepuluh ribu saja. Murah, sih. Ngga bikin cemas.
Dan...beringsut dari nongkrong a la trotoar-an itu, saya jadi kepikiran satu hal. Yaitu, ruang publik. Di sela banyaknya spot swasta yang belakangan tumplek di Purwakarta, entah cafe, distro, food court dan sejenisnya, rupanya kita tetap memerlukan ruang-ruang publik. Dalam bentuk taman, alun-alun dan fasilitas publik lainnya.
Kenapa? Yang paling utama, alasan ekonomis. Sebab, sementara kita membutuhkan hiburan dan keperluan bersosial, tapi kan tidak semua pihak bisa menyediakan fasilitas yang terjangkau.
ADVERTISEMENT
Beruntunglah kelas sosial menengah ke atas yang punya duit bejibun. Akses ke tempat-tempat hiburan dan wadah sosialita gampang saja dipilih. Suka-suka.
Tapi, bagaimana dengan kalangan menengah ke bawah? Ketika spot-spot hiburan dan sosial didominasi swasta, maka siap-siap saja gigit jari. Karena, buat (pengusaha) swasta, profit adalah yang utama. Hal lain belakangan.
Ngeri. Maka, secara politis, harus ada kebijakan yang berpihak kepada kalangan menengah-bawah. Siapa dia? Salah satunya ; Pemerintah.
Sebagai pengelola anggaran publik, pemerintah jelas berdaya besar menggerakkan anggaran untuk membangun fasilitas publik. Hanya, pada prakteknya, tentu butuh political will yang telaten. Konsisten. Sebab, tanpa political will yang jelas, percuma saja.
Political will itu lantas terpotret dalam kebijakan pembangunan. Parameternya, digelontorkan untuk apa saja anggaran publik tersebut?
ADVERTISEMENT
Pada konteks Purwakarta, belakangan ini baru saya tahu jika selama periode kepemimpinan Dedi Mulyadi (DM) sebagai Bupati, ada 68 taman yang dibangun Pemkab. Informasi itu saya dapat dari Hariman Budi, salah satu Kepala Bidang (Kabid) di Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Distarkim) Purwakarta.
Pada salah satu sesi wawancara, beberapa waktu lalu, dia mengatakan jika di Purwakarta ada 68 taman yang dibangun Pemkab. Namun begitu, lanjut dia, ada beberapa taman yang rusak karena ulah oknum tidak bertanggung-jawab.
"Salah satunya adalah kejadian di taman perempatan sadang. Ada ornamen yang rusak karena ulah oknum tidak bertanggung-jawab," katanya.
Miris. Political will Pemkab untuk menyediakan fasilitas publik tidak dibarengi dengan tanggung-jawab bersama yang penuh kesadaran.
ADVERTISEMENT
Padahal, untuk merealisasikan satu taman, tentu butuh anggaran yang tidak sedikit. Sayang sekali, kan, kalau dirusak. Sebab, berarti akan ada anggaran publik lagi yang dikeluarkan untuk perawatan. Pemborosan anggaran.
Barangkali, perlu ada ulasan anggaran publik untuk fasilitas publik yang dibangun. Harapannya, kesadaran kolektif bisa tumbuh. Sekurang-kurangnya, kesadaran untuk sama-sama (mau) menjaga.
Purwakarta, 30 Maret 2018
W.A