Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
RESIKO PUBLIC FIGURE
31 Maret 2018 11:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Widdy Apriandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Btw, foto ini eksklusif. Saya dapat sendiri. Hasil liputan saat bertandang ke tempat yang beliau kunjungi, Rabu (28/03) kemarin. Yaitu, ke rumah mendiang Guru Enok Suhaeti yang meninggal akibat aksi penjambretan, di daerah Cikampek.
ADVERTISEMENT
Kang Dedi Mulyadi (DM) melayat ke rumah mendiang. Diiringi rombongan Asisten Pribadi (Aspri) dan Pengawal Pribadi (Walpri), dia menunjukkan empati. Betapa, kejadian yang menimpa almarhumah guru Enok memang menyayat hati.
Saya kebagian momen ketika beliau sudah keluar rumah. Dikerumuni orang. Entah oleh para sahabat wartawan. Atau, warga. Tumpah ruah. 'Meriah'.
Cermat, saya kontan membidik kamera. Momen ini harus didapat, pikir saya. Tak peduli berdesak-desakkan.
Ada impresi yang saya tangkap. Pertama, penampilan. Pada lawatannya itu, dia tak ber-ikat kepala seperti biasanya. Justru, polos. Plus, berpakaian kasual. Santai. Tak berpangsi juga seperti biasanya.
Dia tak henti berinteraksi. Pertanyaan wartawan, dia jawab. Permintaan warga, dia tanggapi.
Beberapa pernyataan beliau, saya catat. Diantaranya, penekanan bahwa peristiwa naas itu terjadi di luar wilayah hukum Purwakarta. Penuh percaya diri, dia bilang bahwa orang Purwakarta ngga akan tega melakukan aksi kriminal seperti itu.
ADVERTISEMENT
"Kalau maling ayam, mah, ada. Nah, saya pernah ngalamin kayak gitu, tuh!" katanya komikal kepada awak media. Tawa pun lepas.
Tak lama berselang, dia merunut perspektif serius. Menurutnya, potensi kriminal dapat meningkat karena dipicu padatnya pemukiman.
"Padatnya pemukiman membuat orang berebut sumber daya. Bagi yang tidak kebagian, ya ujung-ujungnya aksi kriminal. Maka, perlu upaya penataan pemukiman agar tidak terlalu padat," ungkapnya.
Kerumunan tak putus. Lepas dari wartawan, gantian warga yang merangsek ke depan. Rela berdesakan, permintaan warga ada-ada saja.
Yang paling 'standar' adalah foto bersama. Usia tak jadi batasan. Tua-muda sama, "foto bareng, dong, Pak!"
Lalu, permintaan warga tak selesai begitu saja. Kebetulan, di halaman rumah mendiang, telah berjajar rupa-rupa pedagang. Ada tukang bakso, roti dan termasuk penjual pop-ice yang tidak jauh dari situ.
ADVERTISEMENT
Sorak-sorai warga sahut-menyahut. Antusias, warga minta ditraktir oleh beliau. "Pak, mau ini, dong!" permintaan ini saya dengar dari sana-sini. Luar biasa.
Dia menjawab, "mangga wae, sok!" Artinya, silakan saja.
Saya yang melihat langsung peristiwa itu hanya bisa terperangah. Jadi public figure ternyata memang tak mudah. Sebab, ada banyak hal yang bisa saja terjadi di lapangan. Seperti 'serangan' traktiran warga yang beliau alami, misalnya.
Ada-ada saja. Tapi, dari kejadian itu, mungkin saja betul ada dimensi cinta warga kepadanya. Di sisi lain, sebagai public figure yang dikenal banyak orang, ya mau gimana lagi?
Saya simpulkan ; resiko public figure.
Purwakarta, 31 Maret 2018
W.A