Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Kemelaratan Ekonomi Modern: Pelanggaran HAM dalam Global Value Chain
27 Juni 2023 19:38 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Widi Astuti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perusahaan-perusahaan internasional banyak terlibat dalam kasus pelanggaran hak asasi pekerja. Ekspansi berujung lowongan kerja tak manusiawi. Perusahaan internasional yang beroperasi dalam sistem global value chain (rantai nilai global) memiliki tekanan dalam menekan angka produksi untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Penekanan keuntungan memang dilakukan dalam berbagai cara. Dalam sistem yang diterapkan perusahaan internasional, GVC (global value chain) adalah proses yang dapat membantu meningkatkan keuntungan melalui value adding suatu produk dari produsen baik dari bahan mentah, proses produksi, hingga biaya tenaga kerja.
Sayangnya, penekanan biaya tenaga kerja yang dimaksud bukan hanya mengenai bagaimana banyak perusahaan internasional mencari negara-negara dengan upah minimum kecil seperti negara-negara Asia Tenggara, China, dan negara lainnya, tetapi lebih dari itu muncullah banyak tren pelanggaran hak asasi pekerja. GVC yang selama ini dianggap sangat positif dan menjadi perlombaan bisnis internasional memberikan sisi keprihatinan dan seringkali disoroti karena melanggar hak asasi manusia yang mana ini merupakan masalah serius, tetapi seringkali dipandang sebelah mata karena elite-elite yang duduk sebagai pengendali hukum dan tak jarang merupakan penopang ekonomi dari beberapa negara.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran hak asasi pekerja ini mengenai bagaimana perusahaan-perusahaan internasional mengoperasikan fasilitas produksi di negara-negara dengan standar kerja yang rendah. Pelanggaran hak asasi pekerja menjadi lebih kompleks dengan pemberian upah yang tidak layak, jam kerja yang melebihi batas dengan dalih lembur, jaminan keamanan kerja yang minim, pembatasan atas kebebasan berserikat dan membentuk serikat bekerja, kesetaraan hak dan inklusivitas, beserta hal-hal lain yang dilakukan dengan merenggut hak-hak kemanusiaan para pekerjanya.
Menurut laporan dari ITUC proporsi pelanggaran 177 negara di dunia terhadap pelanggaran pekerja naik sebesar 63% pada tahun 2014 dan mencapai angka tertinggi sebesar 87% pada tahun 2022. Pada catatan yang sama, tahun 2016 lalu, terdapat lebih dari 20 perusahaan internasional yang hanya mempekerjakan pekerjanya secara layak sebesar 6% dan 94% sisanya menderita pelanggaran hak asasi pekerja.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun angka ini ditunjukkan secara data oleh perusahaan internasional, fenomena gunung es ini tidak dapat dilihat secara ril datanya karena banyak “hidden violation” atau pelanggaran tersembunyi, baik tidak dilaporkan atau akses pelaporan yang tidak merata pada para pekerja. Dalam bidang garmen sendiri, dilakukan oleh 20 perusahaan importir apparel ternama asal Amerika Serikat yang melakukan pelanggaran hingga 73% pada hak asasi pekerja dalam rentan tahun 1989 hingga 2019 di mana waktu bersamaan mereka menurunkan harga dari produk mereka.
Selama puluhan tahun retailer perusahaan fashion mengandalkan model bisnis tanpa pabrik dengan memanfaatkan kontrak dengan pabrik-pabrik garmen berupah rendah yang tersebar di Asia Tenggara untuk menekan biaya produksi. Pemasok industri tekstil terbesar biasanya berasal dari lima negara di Asia Tenggara yang menjadi pemasok bahan mentah berupa kain serta barang jadi kepada perusahaan yang meliputi Kamboja, Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.
ADVERTISEMENT
Indonesia menjadi salah satu negara dengan pemasok tekstil terbesar. Dalam menjalankan programnya telah ada upaya dari perusahaan tekstil untuk mengedepankan pemberian upah yang layak bagi seluruh pekerja di semua lini produksinya. Namun, pada kenyataannya masih terdapat pekerja yang diupah dengan tidak layak.
Industri fast fashion yang menekankan pada kecepatan produksi memang sering menjadi sorotan para pemerhati lingkungan dan hak-hak pekerja. Pada November 2018, para perempuan di Sri Lanka melakukan aksi protes kepada salah satu perusahaan retailer untuk menuntut pemberian upah yang layak. Aksi protes yang sama juga terjadi di New York yang menuntut kenaikan upah bagi pekerja akibat beban kerja yang semakin bertambah.
Berdasarkan sebuah survei yang dipublikasikan oleh Clean Clothes Campaign (CCC) pada tahun 2018, para pekerja di pabrik-pabrik pemasok industri tekstil di Kamboja mendapatkan upah kurang dari setengah dari standar upah yang layak menurut standar nasional.
ADVERTISEMENT
Banyak pekerja yang bekerja lembur melebihi batas waktu yang diizinkan tanpa dibayar dengan layak, sementara yang lain hanya dibayar upah minimum jika mereka bekerja lembur dan memenuhi kuota produksi yang ditentukan, yang oleh PBB didefinisikan sebagai kerja paksa, ungkap CCC.
Sebuah pabrik pemasok tas ransel di Myanmar, dilaporkan mempekerjakan buruh secara harian tanpa memberikan upah tambahan bagi para pekerja yang lembur. Para pekerja juga tidak diberikan cuti dengan diminta untuk menandatangani surat peringatan apabila tidak dapat datang ke pabrik dan akan dikeluarkan apabila telah menandatangani sebanyak 3 surat peringatan.
Lebih jauh lagi, kondisi tempat kerja yang tidak aman juga harus dihadapi oleh para buruh. Sebuah pabrik pemasok di Vietnam dilaporkan memiliki suhu yang berlebihan mencapai hingga 30 derajat celcius bersama dengan tekanan kerja yang berlebihan, sehingga menyebabkan banyak pekerja pingsan di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pekerja wanita mengalami pelecehan seksual. Berdasarkan sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Asian Fair Wage tahun 2016, pekerja dari 9 dari 12 pabrik yang disurvei di Kamboja melaporkan mengalami pelecehan seksual dengan hanya 27 dari 201 pekerja perempuan yang menyatakan memiliki pengetahuan tentang cara mengatasi pelecehan tersebut. Para pekerja perempuan juga dilaporkan mengalami pemutusan kerja secara sepihak selama masa cuti hamil.
Dilema pelanggaran hak asasi pekerja ini mengkhawatirkan, konsumen menginginkan harga terjangkau dengan kualitas terbaik, dan perusahaan mewujudkannya dengan cara kurang tepat dengan penekanan biaya yang seharusnya ditujukan kepada pekerja. Tak hanya perusahaan garmen, perusahaan teknologi salah satunya dari Korea Selatan yang digadang-gadang sebagai salah satu perusahaan penyandang lebih dari 50% ekonomi Korea Selatan juga melanggar hak asasi pekerja dari segi keamanan pekerjanya, akibat keamanan yang belum transparan, banyak radiasi teknologi dan bahan berbahaya yang mengakibatkan pekerjanya terkena berbagai penyakit seperti kanker hingga meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, perusahaan manufaktur asal Amerika Serikat dilaporkan hanya memberi upah untuk setiap produksi 1 smartphone dengan 4 USD yang dijual dengan harga eceran 649 USD, di lain sisi pemilik perusahaan mendapati jajaran orang terkaya di dunia. Paradoks era liberalisme ini semakin menjunjung kata kata moderat “yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan tetap miskin”.
Organisasi internasional sampai saat ini belum ada gerakan atau peringatan agresif kepada perusahaan-perusahaan internasional yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Perannya sejauh ini seperti ILO (International Labour Organization) masih dalam promosi dan menjaga standar minimum kerja yang adil ke seluruh dunia. Hal ini dikarenakan akibat susahnya birokrasi dan transparansi akibat kompleksitas rantai nilai global. Sehingga perlu adanya langkah agresif dalam pengawasan dan peningkatan penegakan standar kerja yang baik.
ADVERTISEMENT