Dilema Etika Aparatur Sipil Negara pada Masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Widia Afrianti Putri Krisna
BCB UI Scholars, Third Year Student of Public Administration, University of Indonesia.
Konten dari Pengguna
28 Desember 2020 14:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widia Afrianti Putri Krisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di indonesia, Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung telah berlangsung sejak tahun 2005. Hal itu didasarkan pada pasal UU No. 32 Tahun 2004 dan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara Demokratis” (Ade Kosasih,2017:37-46). Kata “Demokratis” tersebut dapat diartikan bahwa setiap masyarakat mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri dalam Pilkada.
ADVERTISEMENT
Pilkada harus dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip kejujuran, transparansi dan kehati-hatian karena jika tidak, hal tersebut dapat memicu pemanfaatan birokrasi oleh kelompok tertentu demi kepentingan politiknya. Oleh karena itu, netralitas ASN sangat diperlukan untuk menjamin berjalannya Pilkada secara Langsung, Umum, Bebas Rahasia, dan Adil (LUBERJURDIL). Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini persoalan netralitas ASN masih belum terselesaikan dengan baik. Padahal menurut Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Pasal 12, seorang ASN harus profesional, bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan atau partai politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran etika netralitas ASN karena berbagai macam faktor.
ADVERTISEMENT
Netralitas ASN
ASN memiliki asas netralitas yang sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 sebagai upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh intervensi politik, ASN dilarang untuk berpihak dalam segala bentuk pengaruh manapun dan dilarang memihak kepada kepentingan siapapun. Selain itu juga, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 ASN dilarang mencalonkan diri sebagai anggota maupun pengurus partai politik dengan tujuan untuk menjaga keutuhan dan persatuan ASN, serta agar seluruh ASN dapat memfokuskan pikiran, tenaga dan waktunya untuk melayani masyarakat Indonesia. Yang harus dilakukan seorang ASN dalam menjaga netralitasnya terutama di masa pilkada ini adalah ASN harus menjaga kerahasiaan pilihannya tanpa bertanya dan memberi informasi kepada siapapun, ASN juga tidak boleh mengikuti kampanye, mendukung calon pasangan tertentu melalui media sosial dan berbagai kegiatan lainnya yang dapat diindikasikan mendukung satu pasangan calon tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun pada kenyataannya, terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan ASN selama masa Pilkada serentak.
Gambar Data Pelanggaran Netralitas ASN di Pilkada 2020 (Sumber : Badan Kepegawaian Negara).
Berdasarkan data diatas yang dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) tertanggal 26 November 2020 terdapat 1005 kasus netralitas ASN yang dilaporkan. Jumlah tersebut menunjukan masih tingginya tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh ASN di masa Pilkada serentak tahun 2020. Lantas apa saja faktor pendorong maraknya pelanggaran netralitas ASN di masa Pilkada? Menurut hasil survey Badan Pengkajian dan Pengembangan Sistem KASN 2018, faktor penyebab terbesar pelanggaran netralitas ASN adalah adanya motif untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan atau materi yang dimiliki saat ini dengan persentase sebesar 43,4%. Angka tersebut menyebutkan bahwa ASN kita masih mencari aman dengan segala cara untuk mempertahankan posisi yang dimilikinya saat ini. Disusul di urutan kedua dengan persentase 15,45 yaitu adanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Faktor inilah yang seringkali menimbulkan dilema etika yang dirasakan oleh ASN. Pada posisi ini ASN harus berpegang teguh pada prinsip netralitas yang dimilikinya tetapi di satu sisi lainnya ada keluarga yang membutuhkan bantuan. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya pelanggaran netralitas ASN.
ADVERTISEMENT
Etika dalam Administrasi Negara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indnesia (KBBI), Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Dalam Buku Etika Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Darwin (1999) mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dalam kata lain, Etika administrasi Publik yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan tindakan jabatannya. Etika terapan dalam hal ini juga mengangkut tentang etika profesi ASN yang salah satunya diterapkan melalui kode etik dan juga kode perilaku.
Kode etik menurut Business Dictionary adalah pedoman tertulis yang dikeluarkan suatu organisasi untuk pegawai dan manajemen dalam rangka menolong mereka berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan standar etika organisasi. Prinsip-prinsip yang dimuat dalam kode etik luas dan tidak spesifik karena disusun dengan maksud untuk menyediakan pijakan bagi seseorang untuk membuat pertimbangan secara mandiri dan menentukan tindakan apa yang tepat dalam menghadapi situasi. Dalam hal ini kode etik berisikan penjelasan mengenai nilai – nilai yang dianut oleh organisasi secara umum serta penggambaran atau ciri khas instansi (Gilman, 2005). Sedangkan, kode perilaku mengatur dan memuat secara spesifik perilaku mana yang dapat diterima atau dilarang, sehingga dalam pelaksanaannya tidak memerlukan banyak penafsiran. (Mokhsen, N., Dwiputrianti, S. & Julianti, R., 2018). Kode etik dan kode perilaku ASN sendiri pada saat ini masih mengacu pada PP 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil serta PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Dwiputrianti, S., Dewi. A.F., Destiasona, S., Hutomo, N. & Juniarto, R., 2019).
ADVERTISEMENT
Jika dilihat dari kacamata etika terapan dalam bidang etika profesi, ASN sebagai bagian dari abdi negara sudah seharusnya mengedepankan netralitas mereka dalam Pilkada karena netralitas merupakan sebuah ketentuan hukum sekaligus kode etik dan kode perilaku yang harus mereka jalani atas profesi mereka. Jika mereka melanggar netralitas, maka dapat dikatakan bahwa ASN tersebut tidak bertindak secara profesional dalam menjalankan tugasnya karena mengedepankan urusan pribadi dan mencampuri pekerjaan mereka dengan urusan personal.
ASN sebagai penggerak birokrasi negara juga sudah seharusnya membantu mewujudkan birokasi negara yang bersih dan akuntabel. Birokrasi yang tidak memihak atau netral dapat mencegah korupsi politik yang nantinya justru mengubah proses pilkada diwarnai tindakan-tindakan tidak terpuji (Sutrisno, 2019). Karena seperti yang kita tau, sering kali terjadi pemanfaatan ASN dengan memobilisasi mereka sehingga mau membantu seorang calon dalam Pilkada. Mobilisasi tersebut dapat menimbulkan ketidak adilan dalam Pilkada karena merugikan calon lain yang tidak memiliki koneksi langsung terhadap birokrasi. Praktik mobilisasi dan berbagai tindakan tidak terpuji dalam Pilkada salah satunya dapat dihindari dengan sikap integritas melalui penerapan netralitas ASN. Netralitas dapat membentengi mereka dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik, sehingga pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh birokrasi netral tidak memihak, objektif (Sutrisno, 2019) dan sekaligus dapat meningkatkan kualitas pelayanan itu sendiri. Melalui pelayanan yang baik, maka akan mudah untuk mewujudkan cita-cita negara yang sebagaimana terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini tentunya berhubungan dengan sikap ASN yang ideal, yakni yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik yang meliputi pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, dan perekat pemersatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Memang pada kenyataannya menjaga netralitas sangatlah tidak mudah, apalagi pada masa-masa Pilkada. Akan banyak sekali tantangan dan dilema yang dihadapi ASN dalam menjaga integritas dan netralitasnya. Dilema tersebut umumnya merupakan pertentangan atas nilai yang dipegangnya sebagai individu dengan kewajibannya sebagai ASN yang tetap harus bersikap netral. Selain itu, ASN bisa saja menghadapi dilema antara dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi, tetapi harus mengalami pertentangan hati nurani dengan mengabaikan nilai integritasnya karena hal tersebut dapat ditakan tindakan suap-menyuap atau korupsi. Pada satu sisi, ASN adalah aparatur pemerintah yang dituntut melaksanakan tugas pemerintahan untuk memberikan pelayanan publik, sedangkan di sisi lain ASN juga anggota masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan politis maupun ekonomis yang menyangkut pilihannya dalam Pilkada (Sutrisno, 2019). Namun, hal tersebut dan berbagai dilema yang dihadapi tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk dapat melanggar etika yang berlaku untuk tetap bersikap netral. ASN tetap harus mengikuti standar etika yang berlaku dalam kode etik meskipun hal tersebut bertentangan dengan nilai yang ia pegang diluar profesinya. Karena kode etik sendiri berfungsi agar dapat menumbuhkan kesadaran moral pejabat atas kedudukan yang diperoleh dari negara atas nama rakyat. Kesadaran pejabat akan menempatkan kewajiban atas nama pemerintah di atas kepentingan-kepentingan karir dan kedudukan. Kode etik juga memberikan pegawai negeri sipil rasa tanggung jawab karena mencerminkan profesinya sebagai pelayan publik (Gilman, 2005). Hal tersebut menunjukan bahwa ASN juga sudah seharusnya memiliki kesadaran masing-masing akan pentingnya netralitas mereka karena hal itu merupakan tanggung jawab dan juga kewajiban yang sudah terpatri dalam diri mereka sebagai abdi negara.
ADVERTISEMENT
Efektivitas penerapan netralitas ASN
Jika melihat data pelanggaran netralitas ASN, masih terdapat banyak kasus yang terjadi sehingga diperlukan penegakan hukum yang tegas. Penegakan netralitas ASN, pada kenyataannya dapat dibilang susah-susah gampang karena hal ini menyangkut kesadaran dari pribadi masing-masing sehingga sulit untuk dilakukan pengawasan yang optimal. Penanganan penegakan netralitas ASN sendiri saat ini masih ditangani oleh dua Lembaga yakni Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Karena pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN bermacam-macam, penegakan netralitas ASN tidak bisa dilakukan secara parsial. Harus terdapat konektivitas dan sinergitas seluruh elemen yakni antara Bawaslu, KASN, Ombudsman, Kemendagri, LPSK, dan lain-lain. Perlu adanya sistem penanganan yang terintegrasi sebagai wujud keseriusan dari penegakan netralitas ASN ini. Proses pengawasan dan penegakan hukumnya pun harus terdapat jaminan di dalamnya untuk menghindari campur tangan pihak yang tak diinginkan serta hasil yang diinginkan yakni ASN yang netral dan berkurangnya pelanggaran dapat tercapai.
ADVERTISEMENT
Netralitas ASN akan lebih mudah diwujudkan seiring dengan keefektifan implementasi reformasi birokrasi. Dikutip dari website menpan.go.id, Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi ini dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata Kelola good governance, sehingga sistem pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan selaras. Dengan adanya reformasi birokrasi sehingga menciptakan sumber daya aparatur yang baik, maka akan mudah mengatasi masalah netralitas ASN itu sendiri karena salah satu poin yang menyangkut sumber daya aparatur dalam reformasi birokrasi adalah terkait dengan integritas dan kejujuran dimana hal tersebut berhubungan dengan netralitas ASN.
ADVERTISEMENT
Hal – hal yang dapat ditempuh untuk setidaknya dapat memicu penegakan netralitas ASN diantaranya adalah dengan memberikan akses kemudahan masyarakat untuk melapor dengan jaminan keamanan/perlindungan hukum. Selain itu, dapat juga dengan penguatan jangkauan Pendidikan pemilih dan sosialisasi kepemiluan dengan melibatkan kelompok masyarakat dari berbagai latar/basis, sosialisasi dengan melibatkan berbagai latar/basis dilakukan sehingga masyarakat merasa dekat dan yakin terhadap pemilu yang LUBERJURDIL. Lalu, untuk sanksinya dapat juga dengan menggunakan pendekatan sanksi administrative ketimbang pemidaan karena sanksi administratif lebih cepat prosesnya dan dapat langsung dilakukan oleh pejabat administrasi tanpa menunggu putusan pengadilan.
Referensi :
BKN, H. (2020). Sebanyak 1005 ASN Dilaporkan Melanggar Netralitas. Jakarta: BKN (Badan Kepegawaian Negara).
Dwiputrianti, S., Dewi. A.F., Destiasona, S., Hutomo, N. & Juniarto, R. (2019). BEST PRACTICES INTERNALISASI KODE ETIK DAN KODE PERILAKU PEGAWAI ASN. Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem-Komisi Aparatur Sipil Negara.
ADVERTISEMENT
Kosasih, A. (2017). MENAKAR PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SECARA DEMOKRATIS. Jurnal Pemerintahan dan Politik IslamVol. 2, No. 1 , 37-46.
NOPYANDRI. (14). PEMILIHAN KEPALA DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM PERSPEKTIF UUD 1945. JURNAL ILMU HUKUM VOLUME 2 NO. 2 .
Nugroho, H. (2012). DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL UNTUK MEMAHAMI DINAMIKA SOSIAL-POLITIK DI INDONESIA. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , 1-15.
Sutrisno. (2019). Prinsip Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 26 , 521 - 543.
Mokhsen, N., Dwiputrianti, S. & Julianti, R. (2018). PENTINGNYA KODE ETIK DAN KODE PERILAKU UNTUK MEMBANGUN PROFESIONALITAS ASN. Policy Brief Komisi Aparatur Sipil Negara No. 2 Vol. 1.
ADVERTISEMENT
Nurazizah, Novi. (2016). Etika Sunda (studi naskah Sanghyang Siksakandang Karesian). Undergraduate (S1) thesis, UIN Walisongo.
Mahkamah Agung-Pengadilan Agama Tanjung Kelas II. Kode Etik ASN. https://pa-tanjung.go.id/tentang-pengadilan/kode-etik/kode-etik-asn.html
Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://kbbi.web.id/etika.
Triyuninigsih. (2016). Buku Ajar Mata Kuliah Etika Administrasi Publik. Program Studi Doktor Administrasi Publik FISIP Universitas Diponegoro.