Konten dari Pengguna

Teladan Paku Alam VIII

Widihasto Wasana Putra
Aktivis Gerakan Kebangsaan. Alumni Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
11 November 2022 18:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widihasto Wasana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari Kamis 3 November 2022 pukul 10.41 WIB Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Prof. Mohammad Mahfud MD mengirimkan tautan link twitter ke group WhatsApp Sharring Keistimewaan DIY berisi informasi :
ADVERTISEMENT
Pemerintah akan anugerahkan gelar Pahlawan Nasional kpd 5 putera pejuang dan pengisi kemerdekaan Indonesia. Kpd Daerah2 dan instiusi2 warisannya dipersilahkan melakukan tahniah (syukuran). Penganugerahan gelar oleh Presiden akan dilakukan di Istana Negara tgl 7 Nov 2022.
Kelima Pahlawan Nasional tsb adl: Dr. dr. HR Soeharto (Jateng), KGPAA Paku Alam VIII (DIY), dr. R. Rubini Natawisastra (Kalbar), H. Salahuddin bin Talabuddin (Maluku Utara), dan KH Ahmad Sanusi (Jawa Barat). Semoga arwah para pahlawan negara mendapat surga-Nya.
Sontak postingan Mahfud disambut antusias anggota group. Seniman Sigit Sugito menulis "Nderek Mangayubagyo." Aktivis Sekber Keistimewaan DIY Agung Murharjanto mengucapkan "Terimakasih Prof"..
Tak lama kemudian di laman media sosial facebook juga muncul beragam komentar nitizen. Aktivis Hantoro misalnya, mengunggah postingan "Selamat atas anugerah gelar Pahlawan Nasional kagem (Alm) KGPAA Paku Alam VIII. Satu lagi Pahlawan Nasional dari Jogja."
ADVERTISEMENT
Seorang warga Bantul Agus Moncer Santoso mengunggah doa "Al Fatihah kagem KGPAA Pakualam VIII." Sedangkan seorang karyawan sebuah bank di Jakarta Agung Supriyanto mengatakan "Semoga kita semua amanah mewarisi semangat menjaga Jogja Istimewa."
Penganugerahan gelar pahlawan dari pemerintah RI kepada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Paku Alam VIII (1910 - 1998) merupakan pengakuan sekaligus penghargaan terhadap jasa almarhum bagi bangsa dan negara. Atau mengutip Prof. Mahfud diatas sebagai pejuang dan pengisi kemerdekaan. Tentunya ini membanggakan tidak hanya keluarga besar Kadipaten Pakualaman melainkan juga segenap warga Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengusulan gelar pahlawan kepada KGPAA Paku Alam VIII seingat saya sudah diinisiasi sejumlah komponen masyarakat lebih dari 5 tahun lalu. Berbagai rangkaian dialog, seminar, pameran digelar di sejumlah tempat. Setahu saya inisiatif pengusulan dilakukan masyarakat. Pihak keluarga Kadipaten Pakualaman justru enggan. Cerminan sikap rendah hati.
ADVERTISEMENT
Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X menyampaikan terimakasih kepada pemerintah, tim pengusul, para akademisi, dan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pengusulan KGPAA Paku Alam VIII sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Semoga jiwa patriot dan nasionalisme beliau dapat menjadi suri teladan bagi kita semua, serta semoga kita senantiasa memiliki integritas untuk melanjutkan perjuangan beliau, dan mengisi kemerdekaan dengan prestasi dan karya bermanfaat, ungkap KGPAA Paku Alam X.
***
Dalam banyak literasi sejarah Sri Sultan HB IX bersama Paku Alam VIII disebut sebagai "Dwi Tunggal" yang memiliki peran sangat besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Periode masa kekuasaan Dwi Tunggal berlangsung di era penuh pergolakan, khususnya era kolonialisme Belanda dan juga masa pendudukan Jepang.
ADVERTISEMENT
KGPAA Paku Alam VIII naik tahta tahun 1936 di usia 26 tahun. Sementara Sultan HB IX naik tahta tahun 1942 di usia 30 tahun. Usia yang masih sangat muda. Pada era itu gerakan kebangsaan yang mencita-citakan kemerdekaan sudah menggelinding kencang. Sebutlah sejak munculnya organisasi pergerakan Boedi Oetomo (1908),Sarekat Islam (1912), Indishe Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1925), Partai Nasional Indonesia (1927), Konggres Pemuda (1928) dan banyak lainnya.
Setelah Sultan HB IX naik tahta, Gubernur Jendral Belanda Lucin Adam langsung merangsek dan memaksakan kontrak politik. Meski sempat alot, namun akhirnya Sultan tanpa reserve mau meneken setelah mendengar bisikan ghaib Belanda akan segera menyingkir dari bumi Nusantara. Benar, tak lama kemudian Belanda bertekuk lutut dengan Jepang di Kalijati Subang.
ADVERTISEMENT
Di era pendudukan Jepang, Sultan bersiasat menahan pengiriman warga Yogyakarta yang akan dipekerjakan Jepang sebagai tenaga rodi keluar daerah. Caranya dengan membangun Selokan Mataram yang membelah Sleman dari ujung barat Kali Progo hingga ujung timur Kali Opak. Selokan Mataram dibangun untuk irigasi pertanian.
Paku Alam VIII punya kisah menyakitkan dengan Jepang. Tiga puluh ekor kuda-kuda terbaik milik Kadipaten Pakualaman, yang juga menjadi kuda-kuda kesayangan Paku Alam VIII dengan berat hati terpaksa diserahkan ke Jepang dengan dalih dipinjam untuk menyokong mobilisasi pasukan Jepang di Salatiga. Alih-alih dikembalikan, kuda-kuda malang itu, satu persatu disembelih untuk dimakan tentara Jepang. Mendengar hal tersebut Paku Alam VIII sangat sedih. Kisah ini diceritakan salah satu putranya KPH Indrokusumo pada saya beberapa tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Dwi Tunggal turut terlibat dalam proses panitia persiapan kemerdekaan RI. Baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman mengirimkan sejumlah pangeran menjadi anggota BPUPKI.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Dwi Tunggal mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Presiden RI dan menyatakan siap bergabung ke NKRI. Pernyataan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Maklumat 5 September 1945. Dua pemimpin monarki ini kompak mendukung NKRI. Kekompakan keduanya tidak goyah, kokoh sampai akhir hayat, sehingga eksistensi status Daerah Istimewa Yogyakarta tetap melekat hingga saat ini.
Lima bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, tepatnya 4 Januari 1946, Dwi Tunggal menyediakan Yogyakarta menjadi Ibu Kota RI.
Setelah pindah ke Yogyakarta, Bung Karno dan Bung Hatta bahkan sempat selama 7 pekan tinggal di dua kamar bersebelahan Bangsal Parangkarso Kadipaten Pakualaman sembari menunggu selesainya perbaikan Istana Gedung Agung. Kamar Bung Karno dan Bung Hatta di Bangsal Parangkarso dan perabotan yang dipergunakan Proklamator seperti ranjang, meja, kursi, cermin bahkan hingga toilet duduk dengan model tarikan tali masih utuh dan tersimpan rapi di Puro Pakualaman.
ADVERTISEMENT
Keputusan menyediakan Yogyakarta sebagai ibukota RI ini bukan tanpa resiko. Belanda kemudian melancarkan agresi militer l pada Juli 1947 dan diulangi dengan agresi militer ll Desember 1948 yang memborbardir Yogyakarta.
Pada periode itu, tepatnya 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo. Pesawat jatuh di Dusun Ngoto Bantul. Bangkai pesawat kini masih bisa disaksikan dan menjadi property utama Museum Angkatan Udara di Ngoto.
Setelah agresi militer Belanda ll, ibu kota RI jatuh ke tangan Belanda. Presiden dan Wakil Presiden RI serta sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke sejumlah tempat di Sumatera.
ADVERTISEMENT
Sultan HB X dan Paku Alam VIII menjadi tahanan kota. Keduanya tidak boleh keluar dari kompleks Kasultanan dan Pakualaman. Meski demikian Dwi Tunggal tak tinggal diam. Mereka tetap menjalin kontak-kontak rahasia dengan panglima besar Jendral Soedirman yang memimpin perang gerilya di pegunungan seribu.
Sultan berinisiatif merancang sebuah serangan kejut, yang dilakukan secara terbuka pada siang hari untuk menunjukkan pada masyarakat internasional bahwa kekuatan TNI masih ada. Hal ini dilakukan saat ada kunjungan sejumlah pengamat militer dari sejumlah negara di Yogyakarta.
Atas persetujuan panglima Besar Jendral Soedirman, menjelang akhir Februari 1949 Sultan memanggil Komandan Wilayah Pertahanan lll atau Werkreise lll Letkol Soeharto datang ke kraton. Untuk menyamarkan kedatangan Soeharto diminta mengenakan busana abdi dalem. Pada pertemuan selepas tengah malam itu, Suharto mendapatkan perintah dari Sultan untuk memimpin Serangan Umum 1 Maret. Meja kursi yang menjadi saksi bisu pertemuan Sultan dan Suharto kini menjadi koleksi yang dapat disaksikan di museum Sri Sultan HB IX di Kraton Yogyakarta. Kursi yang diduduki Sultan punya sandaran tangan sementara kursi lsin tidak.
ADVERTISEMENT
Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh kekuatan TNI menjadi momentum krusial yang memukul kedudukan politik Belanda yang bersikukuh mengambil kembali wilayah jajahan Indonesia setelah Jepang menyerah pada sekutu.l
Dampak dari Serangan Umum, masyarakat internasional mendesak Belanda melalukan gencatan senjata dan duduk dalam perundingan Roem Royen dan kemudian Konfrensi Meja Bundar.
Pada fase itulah Dwi Tunggal kembali memperlihatkan kapasitasnya sebagai sosok negarawan yang piawai mengawal detik-detik eksistensi kedaulatan RI.
Sultan mendapatkan mandat kuasa penuh atau plein pouvoir dari Sukarno yang masih berada di pengasingan untuk mengawal proses transisi penyerahan kedaulalan dari Belanda. Mandat itu dalam prakteknya dijalankan bersama dengan Paku Alam.
Kiprah Dwi Tunggal menjadi benteng NKRI tampak jelas saat penarikan mundur tentara Belanda dari Indonesia. Dwi tunggal mengawal proses itu secara seksama. Sultan bahkan mengeluarkan seruan kepada para tentara dan laskar RI agar tidak boleh ada satu letusan senjatapun yang terjadi selama proses itu berlangsung.l
ADVERTISEMENT
Dwi Tunggal turun sendiri ke pos-pos penarikan mundur baik yang ada di Gunung Kidul, Bantul, Kulon Progo, Sleman dan tentu saja Kota Yogyakarta untuk memastikan penarikan mundur terlaksana sesuai kesepakatan.
Foto-foto saat Paku Alam Vlll mengawal proses penarikan mundur tentara Belanda pernah dipamerkan saat seminar pengusulan gelar pahlawan. Banyak foto memperlihatkan Paku Alam VIII mengenakan kemeja dan celana pendek model pejuang kemerdekaan.
Usai peristiwa Yogya Kembali 30 Juni 1949 KGPAA Paku Alam VIII menjabat sebagai Pemimpin Daerah Militer DIY. Saat itu Yogyakarta dan Surakarta merupakan Daerah Militer tersendiri. Sementara Sultan HB IX menjabat Menteri Pertahanan.
***
Sebagai generasi yang lahir tahun 70-an tentu saya punya rentang jarak historis dengan Dwi Tunggal. Namun demikian saya punya kenangan yang tak terlupakan dengan Paku Alam VIII.
ADVERTISEMENT
Adalah gerakan reformasi 1998. Yogyakarta pun turut menjadi medan pergerakan yang sangat signifikan menekan rezim otoriter Orde Baru. Pada puncak gerakan massa 20 Mei 1998, saya berada satu panggung dengan Sri Sultan HB X dan Paku Alam VIII di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Paku Alam VIII sudah tampak sepuh. Meski demikian beliau tetap tenang mengikuti proses pisowanan agung hingga usai. Saat momen itu Paku Alam sama sekali tidak berkata-kata. Ia dengan penuh wibawa mendampingi Sultan HB X yang menjadi tokoh sentral kala itu. Seingat saya beliau mengenakan batik lengan panjang dengan corak warna biru dan mengenakan peci hitam. Sementara Sultan batik lengan panjang dengan corak warna sogan.
Usai Pisowanan Agung, saya kembali satu panggung dengan Sultan HB X dan Paku Alam VIII pada bulan Agustus 1998 di halaman DPRD DIY. Saat itu kekuatan gerakan mahasiswa 1998 bersama komponen rakyat DIY menggelar Sidang Rakyat untuk mengukuhkan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY dan Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur DIY.
ADVERTISEMENT
Ribuan massa tumpah ruang di DPRD DIY dan memadati ruas jalan Malioboro dari ujung utara hingga selatan. Pedagang pasar Bringharjo pun rela meliburkan diri untuk turut mendukung aksi massa. Sebagaimana saat Pisowanan Agung, pemilik toko secara suka rela mengeluarkan minuman dan makanan untuk massa Sidang Rakyat.
Desakan massa rakyat untuk mengukuhkan Sultan dan Pakualam bertahta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merupakan keniscayaan sebagai Daerah Istimewa yang memiliki sejarah asal usul wilayah kerajaan.
Satu bulan setelah Sidang Rakyat, tepatnya 11 September 1998, Paku Alam VIII tutup usia dalam usia 88 tahun. Salah satu Adipati terbesar dalam lingkaran Catur Sagatra berpulang dalam suasana politik yang diselimuti kedamaian. Paku Alam VIII seakan hendak memastikan dan mengawal sepenuh-penuhnya proses transisi hingga Sultan HB X memiliki legitimasi kuat untuk melanjutkan kedudukan politik yang dimiliki Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
ADVERTISEMENT
***
beruntung dapat turut merasakan denyut Kadipaten Pakualam dari dekat. Meski saya tercatat sebagai abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, tapi sayadan teman-teman Sekber Keistimewaan DY kerap ditimbali berbagai acara di Kadipaten Pakualaman.
Swargi Paku Alam IX dimata saya adalah sosok yang sangat hangat, bahkan humoris. Jika kami ke kantornya di Kepatihan, kalimat pertam yang diucapkan,"Nek ora ngrokok, cukup telung menit wae terus mungkuro. Tapi nek ngrokok, sak jam rapopo".. Tentu ini sekedar gaya bercanda beliau.
Saat Paku Alam IX mangkat, saya membuntuti persis di belakang mobi ambulance yang membawa jenasah beliau dari Rumah Sakit Sarjito hingga Puro Pakualaman. Ambulance memasuki kompleks Puro Pakualaman melalui gerbang sisi barat.Perasaan campur aduk. Sedih. Saat pemakaman, ribuan masyarakat turut menghantar ke Pesarean Girigondo Kulon Progo.
ADVERTISEMENT
Di makam saya menyaksikan Gusti Putri kini permaisuri KGPAA Paku Alam X -- berdoa sangat khusuk dan tak kuasa menahan tangis di pusara Paku Alam IX.
Pun kini Paku Alam X, sosok low profile dan egaliter. Beliau menunjuk saya menjadi koordinator Kirab Agung jumeneng dalem Januari 2016 silam. Suatu kepercayaan yang sangat mengesankan.
Selamat atas penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada KGPAA Paku Alam VIII. Semoga jejak keteladanan beliau menjadi inspirasi bagi kita semua dalam memaknai dan mewarnai peradaban Yogyakarta dan Indonesia hari ini dan di masa-masa mendatang. Rahayu.
(Widihasto Wasana Putra, Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998, Ketua Sekber Keistimewaan DIY)