Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Andai Semua Orang Belajar untuk Diam
19 November 2020 16:11 WIB
Tulisan dari Widi RH Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Negeri ini semakin bising. Semua hal bisa memancing keributan. Semua isu bisa melahirkan kegaduhan. Semua orang menjadi sangat cerewet, atas apapun.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa hari, media sosial kita dipenuhi dengan cacian, makian, dan umpatan. Dari tukang obat, sampai lonte. Dari tokoh agama, selebritis, pelawak, aktivis, sampai akademisi. Semua tidak mau ketinggalan mengambil bagian dalam keributan.
Sebelum persoalan lonte dan tukang obat memenuhi beranda media sosial kita, setiap hari kita juga disuguhi dengan berbagai perdebatan tentang Omnibus Law, saling lempar kesalahan dalam penanganan pandemi, konspirasi COVID, bahkan tren bersepeda dan tanaman hias pun tak lepas dari nyinyiran berbagai piihak.
Mereka, yang tetiba hobi bersepeda serta mengoleksi dan menanam tanaman hias, dinyinyiri karena dinilai latah, ikut-ikutan tren. Padahal, bertahun-tahun lamanya kita kampanye bersepeda dan menanam tapi selalu nihil. Ketika orang-orang mulai hobi bersepeda dan menanam, justru dinyinyiri dan disinisi. Susah sekali menjadi benar di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, saya baru benar-benar merasakan kebenaran pepatah kuno, bahwa diam adalah emas. Saya baru benar-benar merasakan, bahwa diam menjadi sesuatu yang sangat bernilai, sangat berharga.
Tak semua orang memiliki keterampilan untuk diam, seperti keterampilan yang mereka miliki untuk nyinyir di media sosial siang dan malam. Tak semua orang betah untuk tetap diam, ketika semua orang menjelma pakar dadakan di segala bidang kehidupan. Tak semua orang tahan untuk berpuasa, menahan nafsu mengomentari semua yang dia dengar dan dia lihat.
Akibatnya, hari-hari sekarang terasa sangat bising. Hari-hari kita diisi dengan teriakan-teriakan kosong tanpa makna, nirmanfaat. Semua orang berlomba untuk berteriak paling kencang, merasa tahu segalanya, padahal segalanya ia tak tahu.
Teriakan kelompok yang satu akan dibalas lolongan yang lebih keras oleh kelompok lainnya, lalu dibalas lagi dengan yang lebih keras dari kelompok pertama. Begitu terus berulang kali.
ADVERTISEMENT
Satu cacian dibalas 13 hinaan, lalu dibalas lagi oleh kelompok sebelumnya dengan 27 makian, dibalas lagi dengan 41 umpatan,dan begitu terus sampai akhirnya mereka menemukan isu baru untuk dijadikan perdebatan di babak selanjutnya.
Kelompok konservatif merasa dirinya paling benar, di luar mereka, neraka. Sementara kelompok liberal dengan label open minded, melabeli pandangan yang berbeda dari mereka kolot. Sedangkan kelompok yang mengaku moderat, menuding yang tidak sepaham sebagai radikalis, tidak Pancasilais.
Ruwet, kata Pak Jokowi.
Semua ingin bicara, tapi tak ada yang mau mendengar. Diam dan mendengar adalah keterampilan paling langka yang dimiliki masyarakat kita belakangan ini. Bayangkan, jika semua orang menahan diri untuk tidak berkomentar atas apapun. Barangkali, negeri ini akan kehilangan separuh masalahnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mau berjuang melakukan hal-hal besar untuk menyelamatkan negara, jika sekadar diam atas perkara-perkara remeh saja tak sanggup.
Saya membayangkan, jika semua orang mulai belajar untuk diam. Jika saja Nikita Mirzani tak perlu berkomentar soal tukang obat, Maaher tak perlu berkomentar soal lonte, dan Rizieq Shihab tak perlu menggoreng lagi isu itu.
Saya membayangkan jika tokoh-tokoh NU tetap berpuasa, menahan diri untuk tidak mengomentari perkara-perkara remeh temeh yang membuat suasana semakin panas dan bising. Saya membayangkan jika mereka mengikuti sikap para ulama dan kyai sepuhnya, menahan diri dari perdebatan sia-sia dan fokus mengayomi umat.
Bayangkan jika semua itu terjadi, berapa banyak kebisingan hari ini yang bisa kita kurangi?
ADVERTISEMENT