Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berkali-kali Ingin Menyerah, Tanpa Sadar Sudah Melangkah Sejauh Ini
10 Juni 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Widi RH Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Aku capek banget. Rasanya enggak kuat lagi buat lanjutin hidup,” kata kawanku tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Pekan kemarin, dia tiba-tiba datang ke Jogja. Kami adalah kawan lama sejak kuliah. Sudah tiga tahun lebih kami tak pernah bertemu. Setelah lulus kuliah, Jogja sama sekali tak masuk dalam daftarnya sebagai tempat untuk mencari penghidupan.
Kata dia, Jogja itu cuma cocok buat liburan dan kuliah, tapi tidak untuk mencari duit.
Selama tiga tahun itu, dia sudah pindah ke empat kota (itu baru yang aku tahu). Bahkan beberapa di antaranya sampai di luar Jawa. Dari kota ke kota, tentu yang dia cari adalah pendapatan yang besar dengan lingkungan kerja yang suportif. Sayangnya itu tak pernah dia dapat.
Di perusahaan yang satu, teman kerjanya yang toksik. Pindah perusahaan giliran atasannya toksik. Pindah lagi, ternyata bosnya mafia kelas kakap. Giliran lingkungan kerjanya bagus, tinggal gajinya yang kecil.
ADVERTISEMENT
“Kerja bukanya kaya, malah utang yang makin banyak,” lanjutnya.
Situasinya makin berat, karena orang tuanya kini sedang sakit parah. Di saat bersamaan, pacarnya (juga keluarga pacarnya) mendesak terus untuk nikah.
“Tiga juta cukup enggak ya buat nikah?” tanya dia.
Tentu, pertanyaan itu bukan untuk dijawab. Manusia IQ 70 juga tahu kalau Rp 3 juta buat bayar katering saja kurang.
Aku menyodorkan bungkus rokok padanya. Dia ambil sebatang, menyulut, mengisap, lalu mengembuskan asapnya ke langit-langit kamar. Hal sama juga aku lakukan.
“Kau masih inget waktu kita masih sering naik gunung?” tanyaku.
“Iya, udah lama banget,” jawabnya.
“Inget enggak, berapa banyak kita ingin nyerah sepanjang perjalanan?” kataku.
“Hampir tiap langkah rasanya ingin nyerah,” jawabnya bersamaan dengan asap rokok yang keluar dari lubang hidungnya.
ADVERTISEMENT
“Dan ternyata tahu-tahu kita sampai puncak kan? Entah gimana caranya, kita cuma mikir melangkah. Selangkah demi selangkah,” kataku.
“Iya juga ya. Aku pikir-pikir, kita hidup juga gitu. Entah berapa kali rasanya ingin mati, tapi enggak kerasa udah sampai sini aja,” timpalnya.
“Waktu SD kita ingin mati gara-gara PR matematika. Waktu SMP atau SMA ingin mati gara-gara patah hati di cinta pertama. Waktu kuliah ingin mati gara-gara laporan praktikum sama skripsi. Tapi malem ini kita masih ngobrol, ngerokok bareng, belum mati,” sambungku.
“Bener, berkali-kali kita ingin menyerah, enggak sadar kita sudah melangkah sejauh ini” kata dia.
"Entah berapa kali sesuatu terjadi enggak kayak yang kita rencanakan. Bahkan lebih banyak yang enggak sesuai rencana. Tapi enggak masalah juga kan?"
ADVERTISEMENT
Kami berdua tertawa. Dalam banyak hal, kami memang sama-sama langganan gagal. Dan itu tak masalah.
Saat dia pulang, aku menyarankannya satu lagu untuk dia dengar di dalam kereta. Satu lagu yang sering membuatku tak jadi menyerah menjalani semua ini. Lagu itu dinyanyikan FSTVLST, judulnya Gas.
Sebagian liriknya akan kupakai untuk menutup cerita tak jelas ini.
....
Mengingat bagaimana ini bermula saat sudah sejauh ini jalannya
Sudah berangkat semenjak pagi merah tertelan bulat di cakrawala senja
Bergegas terburu dan tergesa menjadi hafalan diluar kepala
Rapal lirih larik-larik doa hirup dan hembuskan cita-cita
Sementara dalam rasa tak ada yang salah dan semua baik-baik saja
Sebenarnya dalam paham bukanlah ini rencananya
Berjalan tak seperti rencana
ADVERTISEMENT
Adalah jalan yang sudah biasa
Dan jalan satu-satunya
Jalani sebaik-baiknya
....