Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Mengandung Spoiler: Venom bagi Saya
5 Oktober 2018 18:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Widy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat pertama kali saya "jatuh cinta" dengan Venom. Kira-kira waktu itu saya masih duduk di SMP tingkat pertama. Masa itu adalah interaksi pertama saya dengan komik Spider-Man terbitan Misurind.
ADVERTISEMENT
Musuh demi musuh, yang dikalahkan oleh Spider-Man, tidak ada yang menarik perhatian saya. Hingga suatu saat, saya lihat, pegang, dan merengek kepada orang tua untuk kembali membelikan komik Misurind ber-cover seperti ini:
Sumber foto: barangkas/carousell
Dominasi warna karakter yang hitam legam, insignia putih entah serangga apa tapi keren, mata putih namun mengintimidasi, ditambah lagi dengan lidah panjang berliur berayun liar, di antara gigi-gigi tajam; begitu sederhana tapi... sadis!
Hebatnya lagi, saat itu Venom adalah musuh pertama, yang tidak dapat dideteksi oleh spider sense-nya Spider-Man. Pertumbuhan cerita tentang Venom membuat saya semakin suka. Keberingasan dan kekejaman, yang melekat erat di karakter Venom, perlahan harus berkurang karena satu sosok yang harus dia kalahkan: Carnage.
ADVERTISEMENT
Pilihan satu-satunya untuk mengalahkan symbiote merah gila, dengan inang manusia si pembunuh berantai gila Cletus Kasady itu, adalah bekerja sama dengan Spider-Man.
Kenapa sih saya segitunya sama Venom? Ada sebuah filosofi dari karakter Venom, yang menarik bagi saya dan saya percayai ada di setiap individu manusia. Bahwa, sejahat-jahatnya orang, masih ada kebaikan yang tersimpan. Tentu saja berlaku sebaliknya. Karena itulah, dengan alasan yang sama, saya juga menyukai Darth Vader (Star Wars). Istilah yang populer dan lebih singkat untuk gambaran karakter seperti itu adalah: Anti-Hero.
Saya pun yakin yang menggilai Venom tidak cuma saya, terbukti dari banyaknya versi inang Venom, yang ditampilkan di komik-komik Marvel, seperti beberapa di antarnya adalah Punisher, Scorpion, bahkan Ann Weying (mantan kekasih Eddie Brock), dan Flash Thompson (yang suka nge-bully Peter Parker).
Marvel pun melihat hype ini, sampai mengeluarkan rangkaian baru komik khusus untuk Venom dengan judul Venomized, di mana karakter-karakter populer Marvel menjadi inang bagi simbiot Venom. Gila ga tuh?! Tapi saya tetap suka dengan yang klasik.
ADVERTISEMENT
Jadi, teman-teman sudah bisa mulai membayangkan betapa kecewanya saya dengan penampilan Venom di Spider-Man 3 versi Sam Raimi (sampai-sampai saya plintir namanya jadi Sam "Raimu", ekspresi lumayan kasar ala Jawa Timur) dan betapa saya sangat menantikan film Venom besutan Ruben Fleischer .
Saya cukup bahagia dengan pemilihan Tom Hardy sebagai pemeran Eddie Brock. Menurut saya dia aktor yang hebat dan sangat berbakat. Tampilan Venom pun membuat saya merinding. I love it! Tapi dengan sangat jujur, saya tidak pernah menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap film ini. Alasannya:
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 3 Oktober 2018, mengenakan kaos baru berwarna hitam dengan wajah Venom di bagian dada, celana jogger hitam, dan sepatu hitam (totalitas banget kan?), saya boyong istri nonton Venom di Kota Kasablanka.
Istri sih motivasi ke-dua adalah karena mau nonton Tom Hardy. Motivasi pertama? Menghargai kegemaran berlebih suaminya akan Venom. Anyway, kami menikmati Venom. Di luar komentar para kritikus dunia dan beberapa orang, bahkan teman, tentang jeleknya Venom, saya tidak peduli. Saya cukup puas, walau pun gak banget.
Foto: Foto dengan istri, sebelum nonton Venom, dan beberapa koleksi Venom saya.
Izinkan saya untuk berbagi sedikit tentang film Venom karya Ruben Fleischer ini. Saya usahakan spoiler-nya sesedikit mungkin. Dari segi cerita, ya, agak berantakan dan kesannya sangat dipercepat. Tipikal SONY.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang kalau Venom di sini terlalu cepat 'baper' dan bawel. Sedikit melenceng dari harapan saya, bahwa Venom sebaiknya beringas, ceroboh, dan tidak kenal ampun. Tapi yang saya tangkap secara garis besar adalah bahwa film ini menceritakan tentang sebuah relationship.
Eddie Brock, yang sedang ada di titik terendah hidupnya, bertemu dengan symbiote Venom, yang merasakan hal yang sama. Fisik inang memang berpengaruh terhadap kekuatan sang symbiote, tapi psikis dapat memberi kekuatan keduanya secara berlipat-lipat.
Menurut saya film ini cukup sukses menggambarkan hubungan antara Eddie Brock dan Venom, yang sudah synced. Bersama, mereka belajar untuk berkompromi, baik di antara mereka berdua, maupun dengan sekitarnya.
Eddie Brock, secara perlahan, memperbaiki hubungannya dengan orang-orang, yang pernah ia sakiti. Di sisi lain, Venom tetap dapat hidup karena inangnya oke dengan "hidup bersama" dan bersedia memberi makan. Maka dari itu, lahirlah sesosok anti-hero.
ADVERTISEMENT
Sebagai penggemar berat Venom, kecewa tidak sama filmnya? Sedikit. Apalagi yang saya takutkan benar-benar terjadi. Woody Harrelson sebagai Red (Cletus Kasady) aka Carnage. I have a bad feeling about this, but let's see how this is going to turn.
Kamu juga suka Venom? Sudah nonton filmnya? Bagaimana perasaan kamu? Bagikan ya di kolom komentar.
Live Update