Jawaban Mencapai Energi Berkeadilan

Widya Ayu Salsabila
Engineering Physics Student at Bandung Institute of Technology
Konten dari Pengguna
27 Februari 2022 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widya Ayu Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jaringan listrik (sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Jaringan listrik (sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memastikan seluruh rakyat Indonesia memiliki akses terhadap listrik merupakan salah satu komitmen Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dengan seluruh tantangan dan potensi yang ada, apa jawaban untuk mewujudkan energi berkeadilan?
ADVERTISEMENT
433 desa di Indonesia masih belum terjangkau oleh listrik. Mayoritas dari desa tersebut berada di daerah timur Indonesia; 325 desa berada di Papua, 102 desa di Papua Barat, 5 desa di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan 1 desa di Maluku. Jumlah tersebut sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan total sekitar 75.000 desa yang ada. Namun, upaya penyediaan listrik ke seluruh pelosok desa tetap harus dilakukan untuk memastikan energi berkeadilan terwujud. Berdasarkan data triwulan III tahun 2021, rasio elektrifikasi Indonesia berada di angka 99,4%. Tidak puas sampai di sana, Kementerian ESDM berkomitmen untuk menuntaskan 100 % rasio elektrifikasi di tahun 2022.
Dari dulu, aksesibilitas listrik sudah selalu menjadi permasalahan utama di Indonesia. Tantangan Indonesia untuk menyediakan listrik ke seluruh pelosok daerah memang besar. Bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sekitar 6.000 pulau berpenghuni. Apabila kita mengambil referensi dari negara lain, solusi yang dapat menyelesaikan permasalahan ini adalah interkoneksi. Dengan interkoneksi jaringan listrik antar pulau atau yang biasa disebut dengan supergrid, listrik dapat didistribusikan ke pulau-pulau tanpa sumber listrik.
ADVERTISEMENT
Konsep supergrid sudah mulai diimplementasikan dan masih terus dikembangkan di negara Eropa. Inggris, Denmark, Belanda, Swedia, Jerman, Belgia, dan Norwegia berencana menerapkan konsep ini untuk distribusi dan jual beli listrik antar negara. Jika kita lihat, negara-negara yang akan menerapkan konsep ini merupakan negara maju. Karakteristik dari negara-negara tersebut berbeda dengan Indonesia. Maka dari itu, apakah supergrid merupakan solusi untuk masalah aksesibilitas di Indonesia? Jawabannya, tidak dalam jangka pendek.
Pembangunan infrastruktur jaringan antar pulau membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu pengerjaan yang lama. Sedangkan, kita ingin mencapai target 100% rasio elektrifikasi secepat mungkin. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan mewujudkan kemandirian energi. Desentralisasi energi mungkin bisa menjadi jawaban. Untuk masing-masing daerah dapat dibangun sebuah microgrid sesuai dengan potensi dan kebutuhan energi listrik di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu potensi yang besar dan selalu ada di Indonesia adalah matahari. Apabila kita lihat, daerah-daerah yang memiliki rasio elektrifikasi rendah seperti NTT dan Papua memiliki potensi energi surya yang cukup besar. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hybrid. Selain permasalahan aksesibilitas listrik, pembangunan PLTS hybrid juga dapat mendukung gerakan transisi energi Indonesia ke energi terbarukan.
Dibandingkan dengan supergrid, pembangunan microgrid di daerah dengan rasio elektrifikasi yang rendah terasa lebih tepat sasaran untuk jangka pendek. Dari segi teknologi, sudah pasti Indonesia lebih siap untuk membangun PLTS dibandingkan dengan supergrid. Teknologi PLTS sudah matang dan Indonesia juga sudah sangat familiar dengan teknologi tersebut. Pembangunan PLTS dapat dibilang sangat mudah apabila dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur jaringan antar pulau yang harus melewati lautan. Dari segi biaya, investasi yang harus dikeluarkan untuk pengadaan teknologi, perancangan, hingga instalasi dari supergrid juga pasti lebih besar dibandingkan dengan PLTS hybrid.
ADVERTISEMENT
Lalu, masih perlukah Indonesia membangun supergrid? Tentu. Indonesia tetap perlu membangun supergrid untuk rencana jangka panjang. Indonesia memiliki komitmen untuk 100% beralih ke energi terbarukan yang didominasi oleh energi surya di tahun 2060. Untuk itu, Indonesia harus bisa memanfaatkan energi surya sebanyak-banyaknya di daerah yang berpotensi. Potensi surya yang cukup besar contohnya ada di NTT. Namun, sebenarnya demand listrik di daerah tersebut tidak begitu besar. Oleh karena itu, supergrid tetap harus ada untuk menyalurkan listrik tersebut ke daerah yang memiliki demand yang lebih tinggi. Pembangunan supergrid akan menjadi rencana jangka panjang untuk memastikan listrik dari pembangkit energi terbarukan dapat diakses ke seluruh pelosok daerah. Pembangunan supergrid harus sejalan dengan peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan nantinya.
ADVERTISEMENT
Energi terbarukan di Indonesia memiliki potensi melimpah, selalu terus ada, dan tersebar merata di setiap daerahnya. Teknologi pun juga terus berkembang untuk mendukung pemanfaatannya. Dari sini, tidak bisa dipungkiri bahwa energi terbarukan merupakan sebuah jawaban untuk mengatasi masalah aksesibilitas listrik. Implementasinya bisa dimulai dari pemanfaatan skala kecil untuk daerah tanpa jaringan listrik utama, hingga integrasi skala besar untuk pembangkit antar pulau.
Referensi:
Cole, Stijn, dkk. (2011). A European Supergrid: Present State and Future Challenges. Swedia: 17th Power Systems Computation Conference.
Jokowi Sebut 433 Desa Belum Dapat Aliran Listrik. www.cnnindonesia.com. Diakses tanggal 26 Januari 2022.
Triwulan III 2021: Rasio Elektrifikasi 99,40%, Kapasitas Pembangkit EBT 386 MW. www.esdm.go.id. Diakses tanggal 26 Januari 2022.
ADVERTISEMENT
Kementerian ESDM Akan Tuntaskan 100% Rasio Elektrifikasi di 2022. www.esdm.go.id. Diakses tanggal 26 Januari 2022.